“Gua bisa yakin seandainya Gus Dur masih ada dia akan satu pihak dengan saya. Gua yakin banget.”
Begitu kutipan langsung perbincangan Ahmad Dhani dengan Deddy Corbuzier ketika membicarakan gerakan politik yang diikutinya. Ahmad Dhani juga menjelaskan bahwa Islam di Indonesia bisa dilihat dari tiga aspek: religiusitas, spiritualitas, dan stakeholder terbesar alias mayoritas.
Ingin sekali saya berbincang dan bertukar pikiran dengan Ahmad Dhani, salah satu musisi atau bahkan musisi Indonesia yang (pernah) paling saya sukai. Lagu-lagu Dewa 19 mengantarkan saya mengenal puisi-puisi roman-sufi yang begitu indah menyelami kehidupan yang serba fana ini.
Mari kita simak petikan lagu Laskar Cinta (chapter Two) ini.
Wahai jiwa-jiwa yang tenang jangan sekali-kali kamu
Mencoba jadi Tuhan dengan mengadili dan menghakimi
Bahwasannya kamu memang tak punya daya dan upaya
Serta kekuatan untuk menentukan kebenaran yang sejati
Indah, bukan? Ahmad Dhani dan Dewa 19 pada umumnya membawakan musik bukan sekadar hiburan, tetapi mengajak pendengarnya untuk menyelami kehidupan yang luas ini. Tidak hanya enak dinikmati, lagu-lagu Dewa 19 banyak yang bermakna. Ini yang membuat saya terus menjadi fans Dewa 19, khususnya Ahmad Dhani yang menjadi pencipta sebagian besar lagu-lagu Dewa.
Ketika Ahmad Dhani dan personel Dewa 19 dihujat Front Pembela Islam pada tahun 2005 karena dituduh menginjak lafal Allah, saya baru lulus SD dan bersiap untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Waktu itu saya belum mengenal Dewa. Saya mengenal Dewa mulai tahun 2007 ketika saya membaca sebuah buku yang ‘membongkar’ ke-Yahudi-an Ahmad Dhani. Kok bisa? Buku tersebut menjelaskan logo-logo yang biasa digunakan oleh Dewa 19 mulai cover kaset, simbol-simbol di video klip, dan lain sebagainya.
Dari situ saya baru mengenal bentuk lafal Allah yang membuat personel Dewa dilaporkan ke polisi. Logo yang kemudian saya sangat suka dan sering saya jadikan bahan latihan menggambar pada saat itu. Di tahun 2008, ketika ada Bala Dewa pondok pesantren yang membuat kaos bergambar cover mata satu album “Cintailah Cinta”, saya pun membelinya. Tidak peduli dengan tuduhan itu sebagai Eye of Horus dan lain sebagainya. Apalagi ada kutipan menarik di kaos tersebut: Sebarkanlah burung ababil yang pernah turun ke dunia. Lemparkanlah batu api batu api dari neraka. Hujamkanlah semuanya kepada penguasa lalim.
Ketika saya kuliah, saya baru mendapatkan banyak akses untuk mencari tahu tentang Dewa, meski waktu itu sudah bubar. Ternyata pada tahun 2005, ketika Dewa diserang habis-habisan oleh FPI-nya Habib Rizieq Shihab, ada seorang tokoh bernama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang membelanya. Saya yang awalnya hanya mengenal Gus Dur sebagai presiden keempat RI perlahan-lahan mencari tahu tentang tokoh tersebut, hingga saya mengenal komunitas Gusdurian, tempat berkumpulnya orang yang terinspirasi oleh Gus Dur.
Dari Gusdurian ini saya mulai belajar beberapa hal terkait pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Ingin sekali saya berdiskusi dengan Ahmad Dhani. Namun di podcast bersama Deddy itu Dhani terlanjur bilang enggan berdebat dengan para muridnya. Gak level, katanya. Apalagi posisi dia sebagai sahabat Gus Dur. Ia hanya mau berdebat dengan Gus Dur saja.
Kalau sama orang yang pernah bersinggungan dengan Gus Dur saja enggan berdebat, apalagi dengan pemuda yang belajar Gus Dur dari para murid dan sahabatnya seperti saya ini? Bukan langsung dari empunya? Tentu saya hanya dianggap remahan sagon. Ha yawes. Mau gimana lagi?
Ada beberapa hal menarik yang diungkapkan Ahmad Dhani di podcast itu. Termasuk soal tiga dimensi Islam. Hal itu mengingatkan saya ketika belajar ilmu tasawuf di pesantren. Ada dimensi syariat, tarekat, dan hakikat dalam Islam. Syariat diibaratkan sebagai kapalnya, tarekat adalah lautannya, sementara hakikat adalah mutiaranya.
Dimensi syariat adalah dimensi yang disebut oleh Dhani sebagai aspek religius itu. Ibarat seorang pelaut, mereka memilih mau menaiki kapal yang mana. Namun pada dasarnya para pelaut akan mengarungi luasnya samudera guna mencari mutiara. Untuk itu dalam dimensi tarekat seseorang harus menyadari bahwa kapalnya hanyalah satu di antara sekian banyak kapal lain yang tengah berlayar.
Kapal dan laut ini adalah sarana. Apa yang dituju? Di sini letak perbedaan dengan konsep Dhani. Jika Bang Dhani meletakkan aspek stakeholder (mayoritas) sebagai dimensi ketiga, para ulama sufi menyebut aspek ketiga adalah tujuan utamanya, yaitu hakikat alias mutiara. Ketiga dimensi ini saling terkait satu sama lain.
Seseorang yang mencari mutiara tanpa kapal akan tenggelam di lautan. Pun, seseorang ketika punya kapal tapi tidak pernah menyentuh laut, tidak akan menemukan mutiara tersebut. Semestinya posisi mutiara diletakkan sebagai tujuan. Gus Dur pun demikian. Kita bisa membaca buku “Sang Zahid” yang ditulis oleh Buya Husein Muhammad untuk melihat bagaimana perilaku Gus Dur dalam berislam.
Apakah Gus Dur akan satu pihak dengan Dhani terkait keterlibatannya di sejumlah gerakan politik? Jawabannya tentu wallahua’lam, karena kita tidak pernah bisa memastikannya.
Tetapi kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur semasa hidupnya. Gus Dur dikenal sebagai pembela minoritas. Namun kata ‘minoritas’ ini perlu diperjelas. Minoritas bukan melulu persoalan jumlah. Yang dibela Gus Dur adalah mereka yang dilemahkan dan dimarjinalkan atau kaum mustad’afin.
Begini. Dari percakapan singkat podcast tersebut, Ahmad Dhani masih menempatkan ketiganya sebagai hal yang terpisah. Makanya dia memetakan tokoh syariat itu Habib Rizieq dan tokoh spiritual itu Gus Dur. Dhani juga menempatkan unsur ketiganya dengan apa yang disebut “Islam kebangsaan” sehingga menyebut angka ajaib. Katanya, dulu Islam sebagai stakeholder berada di angka 90 persen. Kini, hanya sekitar 40 persen. Makanya perlu direbut kembali.
Sek. Sek… Tak ambil kopi dulu.
Pertama-tama, sejak kapan angka 90 persen ini muncul? Dalam sejarah panjang negara Indonesia, kelompok Islam kerap mendapat peminggiran secara politik, utamanya di era Orde Baru. Sekali pun jumlahnya mayoritas.
Gus Dur pernah membela masyarakat Priok yang diperlakukan semena-mena oleh Orde Baru pada September 1984. Pada saat itu Gus Dur membela kelompok muslim sebagai kelompok yang secara jumlah mayoritas, tetapi mendapat represi dari aparat. Tragedi berdarah itu merenggut puluhan nyawa.
Kelompok Islam politik mendapatkan angin segar pada akhir pemerintahan Orde Baru karena Orba sudah melihat potensi kekuatan politik Islam untuk melindungi kekuasaannya itu. Namun politik ini dalam ajaran agama Islam masih di level syariat. Ia hanya kapal. Sementara yang dimaksud ‘Islam kebangsaan’ kita bisa merujuk pada sikap-sikap yang lebih mementingkan rakyat alih-alih kekuasaan.
Bagaimana dengan gerakan politik yang diikuti Ahmad Dhani? Apakah itu murni gerakan untuk membela ‘stakeholder’ yang ‘dirampas’ haknya? Atau kepentingan segelintir orang saja? Melihat sikap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang menerapkan Islam kebangsaan saja bisa membuat kita ‘cukup tahu’ dengan gerakan politik yang terbentuk di tahun 2016 itu.
Apakah Gus Dur akan satu pihak dengan Dhani terkait keterlibatannya di sejumlah gerakan politik? Jawabannya tentu wallahua’lam, karena kita tidak pernah bisa memastikannya.
Tetapi kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur semasa hidupnya. Gus Dur adalah salah satu tokoh yang menolak politisasi agama. Ia bahkan cendikiawan muslim pertama yang mendukung penuh penerimaan asas Pancasila. Bahwa Pancasila dan agama tidak perlu dipertentangkan karena keduanya bisa saling mendukung. Gus Dur pula yang membuat Ormas Islam NU menerima asas Pancasila, diikuti oleh ormas-ormas keagamaan lainnya.
Tentu Gus Dur bukanlah Ahmad Dhani dan Ahmad Dhani bukanlah Gus Dur. Tidak perlu dipusingkan apakah keyakinannya soal dukungan Gus Dur ini bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Ndak usah baper. Lha wong kalau saya yakin David Beckham akan setuju saya mirip dia saja bebas kok. Namanya saja keyakinan. Gak bisa dihukumi.
Apelo. Apelo!