“Penderitaan manusia adalah tempat kelahiran Allah,” terang pemikir Jerman, Ludwig Andreas Feuerbach, di dalam Kleine Schriften. Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah karena salah satu kecenderungan dari manusia kepada agama selama ini adalah meminta pertolongan kepada Allah SWT ketika menderita. sebagaimana dalam surat al-Fatihah ayat 5:
“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.” (QS al-Fatihah [1]: 5)
Namun, Feuerbach menambahkan bahwa sikap berserah diri kepada Tuhan merupakan cara pemeluk agama untuk lari dari permasalahan dunia. Di pikirannya, pemeluk agama tidak mampu berusaha untuk menghadapi masalah dalam hidupnya dan menggunakan agama sebagai pelarian dari realitas. Singkatnya, agama merupakan pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Pernyataan Feuerbach ini didasari oleh tokoh intelektual lain dari Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
Menurut Hegel, manusia harus menjadi objek bagi dirinya sendiri untuk menjadi diri sendiri. Artinya,dia harus keluar dari dirinya sendiri agar dapat menghadap dan melihat hakikatnya. Contohnya seperti seorang seniman, dia baru mengetahui dirinya seniman apabila dia berhasil memproyeksikan bakat atau hakikatnya ke dalam bentuk sebuah karya seni, ke dunia nyata, misalnya sebuah lukisan.
Setelah metlihat ciptaanya, dia dapat mengetahui dirinya sendiri. Dalam pikiran (atau, kalau menurut Hegel, juga dalam pekerjaan fisik) manusia harus membayangkan atau merepresentasikan diri, agar dia dapat melihat diri, mengenal diri, dan menemukan identitasnya. Feuerbach membangun kritiknya terhadap agama dari pemikiran Hegel tadi. Bagi Feuerbach, agama mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakikat manusia.
Melalui agama, manusia dapat melihat siapa dia, misalnya bahwa dia berkuasa, baik, berbelaskasihan, dapat saling menyelamatkan, dan sebagainya. Namun, masalah timbul ketika manusia tidak berusaha menjadi diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Bukan mencoba merealisasikan hakikatnya, ia malah secara pasif mengharapkan berkah darinya. Dengan demikian, agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.
Agama menunjukkan berbagai potensi kebaikan yang dapat direalisasikan oleh manusia. Namun, manusia malah fokus beribadah kepada Tuhan dan tidak berusaha untuk menjadi baik. Sikap menaruh perhatian penuh hanya untuk ibadah terjadi karena manusia tidak mampu menyikapi masalah dalam hidupnya. Akhirnya, mereka mencoba mencari ketenangan diri dengan khusyuk beribadah kepada Tuhan. Menurut Feuerbach, hal itu secara khusus mencegah manusia dari merealisasikan hakikatnya yang sosial.
Manusia yang hanya fokus beribadah namun tidak mampu menjadi makhluk sosial kemudian disinggung oleh Soekarno muda dengan menulis artikel berjudul Islam Sontoloyo. Artikel yang dimuat dalam majalah Panji Islam pada tahun 1940 ini mengkritik pemuka agama Islam pada masanya yang kurang memerhatikan aspek sosial atau mu’amalah dalam beragama.
Mereka cenderung hanya mengerjakan ibadah yang bersifat fikih dan mengabaikan adab (etika) sesama manusia. Pandangan seperti ini tidak didukung oleh agama Islam. Salah satu tokoh Islam nasional; KH Mas Mansur, berkata, “80% didikan Islam kepada keakhiratan dan 20% kepada keduniaan. Tetapi kita telah lupa mementingkan yang tinggal 20% lagi itu sehingga menjadi hina.”
Pernyataan KH Mas Mansur dibahas secara lebih mendetail di dalam buku Tasawuf Modern, karya Buya Hamka. Hamka menjelaskan bahwa Islam tidak mengajarkan pengikutnya untuk beribadah namun melupakan aspek duniawi seperti mu’amalah. Kemudian, Islam juga tidak mengajarkan pemeluknya untuk menjadikan ibadah sebagai pelarian dari permasalahan duniawinya.
Agama selama ini, termasuk Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk semangat berjuang, berkurban, dan bekerja. Sifat malas dan berpangku tangan merupakan dua sifat yang tidak diajarkan oleh agama Islam. Dalam Al-Quran, terdapat perintah bagi muslim untuk bekerja pada surah al-Jumu’ah yang redaksinya:
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al Jumu’ah [62] : 10)
Agama Islam menyeru kepada umatnya agar mencari rezeki dan mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsa-bangsa. Melakukan yang sebaliknya (berlebihan dalam mengajar akhirat) justru merupakan salah satu penyebab kemunduran umat Islam.
Di sisi lain, ketidakmampuan menyikapi perkara dunia dengan bijak dapat berujung pada runtuhnya kejayaan umat Islam. Sejarah Islam menjelaskan masalah ini dengan asal-usul kemunculan kaum Sufi pada masa khalifah al-Ma’mun.
Masa itu merupakan masa kejayaan agama Islam, pemeluknya semakin bertambah dan tersebar sampai di luar tanah Arab. Salah satu akibat dari kemajuan itu adalah perkembangan yang pesat pada perekonomian dan pengetahuan umat Islam.
Banyak kekayaan yang tertimbun pada masa itu sampai mahar al-Ma’mun kepada Bauran anak wazirnya mencapai lebih dari semiliun dinar. Di sisi lain, ketertarikan umat Islam dalam mempelajari filsafat membuka pembahasan pada berbagai topik di bidang agama.
Di satu sisi, kemajuan pada umat Islam membawa dampak positif seperti hilangnya kemiskinan dan meningkatkan kemampuan kritis dalam beragama. Dari masalah-masalah ketuhanan – apakah Tuhan juga menakdirkan kejahatan manusia? – hingga sifat dari al-quran yang menjadi pedoman umat Islam – apakah dia qadim atau hadis?
Namun, kemajuan ini juga diiringi oleh dampak yang negatif. Umat Islam pada masa itu mulai sibuk menimbun harta dan memperdebatkan masalah keilmuan yang sepele. Masalah seperti batalnya wudhu karena darah kutu yang melekat menjadi perdebatan yang kerap terjadi di kalangan pihak cendekiawan istana. Orang-orang yang jemu melihat konsekuensi dari kemajuan pada umat Islam akhirnya memilih untuk menyingkirkan diri.
Mereka lah asal mula dari kaum sufi. Maksud awal mereka baik; memerangi hawa-nafsu yang condong kepada harta dan perkara duniawi. Namun, jalan yang mereka tempuh semakin lama semakin melenceng dari tuntunan agama Islam.
Mereka mulai mengharamkan perkara yang dihalalkan Allah, menolak untuk mencari rezeki, hingga tidak taat kepada kerajaan. Akhirnya, umat Islam yang sudah terbagi – antara mereka yang fokus terhadap urusan dunia dan yang fokus pada urusan akhirat – tidak dapat membela dirinya ketika pasukan Mongol menyerang.
Sebagai refleksi dari sejarah, kita dapat melihat bahwa terlalu larut dalam urusan akhirat dapat membawa mudharat bagi kehidupan duniawi umat Islam. Begitu pula sebaliknya, terlena dalam segala kemajuan duniawi dapat melalaikan umat Islam dari tujuan akhirnya –akhirat.
Oleh karena itu, umat Islam harus mampu adil menyikapi perkara dunia dan akhirat agar tidak terlarut pada salah satunya. Agama yang selama ini hanya menjadi tumpuan kesulitan manusia tidak semestinya mendorong umat Islam hanya fokus beribadah melainkan menggunakan segenap kemampuan akal budinya dan ber-ikhtiar agar hal itu dapat tercapai. (AN)