Pilkada DKI membuktikan bahwa agama dalam politik masih laku. Bahkan lebih daripada sebelumnya, sekarang agama diyakini banyak orang sebagai politik itu sendiri. Tesis bahwa modernisasi akan menghasilkan sekularisasi terbukti keliru.
Namun masalah pokoknya bukan pada kenyataan bahwa agama dalam politik masih laku, tetapi bagian apa dari agama yang laku dalam politik itu. Jika yang laku adalah dimensi publik agama, maka kita semua tidak akan mempersoalkannya. Namun yang laku ternyata adalah dimensi privat agama, maka persis di situlah masalah pokoknya dimulai.
Agama mempunyai dua dimensi. Dimensi publik agama berisi nilai-nilai universal yang bisa diterima oleh semua orang apapun agamanya. Sebaliknya, dimensi privat agama berisi nilai-nilai partikular yang hanya bisa diterima oleh penganut agama tertentu, bahkan seringkali lebih spesifik lagi hanya bisa diterima oleh penganut mazhab tertentu dalam agama tertentu.
Kenyataannya yang laku dalam politik sekarang adalah dimensi privat agama. Bahkan lebih buruk lagi, yang laku adalah dimensi privat agama yang bersifat sektarian. Keselamatan dianggap hanya milik kelompok tertentu dalam agamaku.
Sementara itu, dimensi publik agama tidak mendapat perhatian. Jika ada sebuah pemerintahan yang mampu membangun fasilitas kebutuhan dasar warga, maka itu tetap tidak dianggap pencapaian. Seakan-akan agama merupakan hal yang terpisah dari pembangunan.
Jakarta adalah contoh sempurna di mana modernisasi justru menghasilkan serangan balik terhadap sekularisasi. Di sini yang terjadi adalah menguatnya sektarianisme agama. Para pendukung utamanya bukan rakyat miskin kota, tetapi malahan kelas menengah kaya.
Pada tataran empiris, agama dan kapitalisme memang selalu mesra. Keduanya bergandengan tangan menegakkan yang privat di atas yang publik. Yang penting aku, keluargaku, dan teman-temanku terlebih dahulu (wa ala alihi washahbihi), baru setelah itu yang umum lainnya (ajmain).