Keterlibatan wacana agama dalam penyelenggaraan Piala Dunia Qatar 2022 bisa dibilang memiliki porsi yang cukup besar. Sejak dibuka dengan pembacaan ayat dan pertunjukan model pengajaran baca Al-Quran di awal pembukaan, Piala Dunia Qatar terus diramaikan dengan beragam hal terkait agama hingga hari ini. Pemerintah Qatar pun turut memberlakukan aturan keras hingga penyelenggara juga menyebarkan berbagai atribut bertuliskan hadis Nabi Muhammad di sekeliling negeri.
Media massa dan layanan jejaring sosial, seperti Instagram dan Tiktok, pun tak ketinggalan. Bahkan, platform media sosial berbasis video cukup aktif menjadi corong narasi agama, yang tampil di perhelatan sepakbola paling akbar sedunia ini. Postingan demi postingan hingga kepsyen demi kepsyen yang berseliweran menghadirkan (kembali) agama yang ada di lapangan hijau.
Alasan paling awal yang saya jumpai adalah pertama kali diselenggarakan di negara mayoritas Muslim, maka Piala Dunia tahun ini menjadi ajang menunjukkan dan menghadirkan Islam di tengah publik sepakbola. Belakangan, ditambah tim-tim asal negara yang juga memiliki penduduk sebagian besar memeluk Islam, turut menghadirkan Islam di ruang publik dengan beragam model, dari sujud syukur timnas Arab Saudi dan Maroko, hingga pembacaan salah satu surah di Al-Quran oleh timnas Maroko sebelum melakukan adu tos-tosan dengan tim Spanyol.
Apakah Islam adalah satu-satunya wajah dalam sepakbola? Tentu saja tidak.
Sebenarnya agama tidak pernah absen di setiap penyelenggaraan ajang empat tahunan ini. Jauh sebelum pelaksanaan sepakbola di Qatar, beragam wajah dan model keberagamaan terus bersisian dengan sepakbola, dari pendukung timnas Meksiko menyewa jasa dukun untuk memberikan kemenangan kepada tim berjuluk tricolore tersebut, hingga koin keberuntungan penjaga gawang timnas Paraguay, Jose Luis Chilavert.
Sebelum pose berdoa dari Paul Pogba, punggawa timnas Prancis, dan Mesut Ozil, pemain asal Jerman, viral di media sosial, Kaka dan Javier Hernandez, keduanya pemain asal Amerika Latin dan Amerika Utara, juga memiliki gaya khas terkait agama yang mereka peluk. Selain itu, ada kasus perseteruan antara Zinadine Zidane dengan Marco Materazzi yang disebut-sebut ada tautan dengan agama.
Bahkan, di sebuah media lokal Belanda menyebutkan bahwa beberapa punggawa timnas Oranye, Belanda, juga memanggil pendeta dan mengadakan upacara pemberkatan untuk meminta kemenangan bagi mereka. Terbaru, pembacaan surah al-Fatihah oleh timnas Maroko tersebut.
Terus, emang kenapa? Apakah salah agama hadir di sepakbola?
Kelindan agama dan sepakbola sudah tidak bisa dibantah atau dipungkiri lagi. Sebagai bagian dari unsur terdalam dalam kehidupan sehari-hari manusia, agama tentu tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari sepakbola. Namun, di tengah euforia tersebutlah agama bisa menjadi bumerang bagi kehidupan manusia, karena wacana keagamaan malah digunakan untuk menyudutkan atau meminggirkan kelompok agama lain.
Awalnya, mungkin, kita rentan sekali tergoda untuk cocoklogi atau menghubung-hubungkan permasalahan agama atas kekalahan tim-tim asal dari negara mayoritas penduduknya beragama non-muslim. Di Piala Dunia Qatar 2022, sikap ini beberapa kali terlihat di media sosial, seperti waktu kekalahan Argentina atas Arab Saudi dan Spanyol atas Maroko. Pada tingkat selanjutnya, kita mulai mengglorifikasi agama yang kita peluk dan meminggirkan narasi agama lain untuk muncul di ruang yang sama.
Penggunaan agama untuk memanaskan tensi pertandingan bisa jadi bumerang bagi kita semua. Sebab, kekalahan bisa berujung sikap-sikap destruktif, kekerasan, hingga bentrok antar-suporter. Pernah terjadi penusukan salah seorang pendukung tim sepakbola, karena sebelumnya para pendukung tersebut menggunakan dendam dan memori buruk masyarakat dari tim lawan.
Mungkin kita perlu melihat kembali ajang sepakbola Tarkam (baca: antar Kampung), sebutan khas untuk ajang sepakbola non-profesional, untuk lebih memahami dinamika kompleksitas agama sesungguhnya di lapangan hijau. Sebab, agama di Tarkam jauh lebih kompleks dari penyelenggaraan sepakbola di industri modern hari ini. Beragam ekspresi keberagamaan muncul bersamaan, saling bertautan, bertarung, hingga beririsan, seperti penggunaan Basal, semacam jimat di masyarakat Banjar, atau pemakaian kaus yang telah dirajah, ritual penulisan unsur mistik di kaus khas masyarakat Banjar, pada saat sepakbola.
Bahkan, saat masih pesantren, saya pernah melihat dua tim dari kelas yang berbeda mengamalkan amalan yang sama, seperti baca surah Yasin bersama-sama mengelilingi air dalam sebuah tempat yang nanti diminum bersama. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi keberagamaan di Tarkam bisa saling bertabrakan namun tetap menempatkan agama di ruang privat untuk tidak saling menihilkan.
Sewaktu pembacaan al-Fatihah sebelum adu tos-tosan oleh seluruh pemain dan official timnas Maroko viral, saya pun berseloroh dalam hati, “Semoga ini menjadi awal Tahlilan dan Haulan tidak lagi dianggap bid’ah.” Sebab sebagian yang cukup aktif membagikan adalah kelompok yang selama ini menganggap bacaan al-Fatihah di kedua ritual tersebut adalah perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad.
Perhelatan Piala Dunia masih berlangsung. Agama (tentu) masih akan terus hadir, dan tak hanya Islam. Bergeloranya Islam di tengah pelaksanaan Piala Dunia Qatar 2022 ini harus “benar-benar” menjadi rahmat bagi agama lain, dengan tidak menghalangi dan memberikan ruang yang luas agama lain untuk berekspresi. Dengan ini, ayat yang dibacakan pada pembukaan kemarin akan benar-benar terwujud.
Aksi bersih-bersih dari pemain dan pendukung timnas Jepang telah memperlihatkan kepada kita, bahwa aksi nyata seperti itu akan memberikan nilai positif secara langsung kepada mereka. Ekspresi keberagamaan yang baik dan dapat berdampak langsung kepada Islam tentu akan menjadi elemen bagus untuk melawan Islamophobia, yang dianggap sebagai penghalang kejayaan Islam hari ini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin