Lelaki itu bernama Christopher, pendiri sebuah lembaga nirlaba internasional yang berpusat di Genewa Swiss dan seorang professor kajian Etika di University of Basel. Dia dikenal sebagai seorang workaholic alias gila kerja dan memiliki kehidupan yang sangat sederhana. Jika sedang mengadakan suatu pertemuan atau rapat kerja, makanan yang terhidang selalu menu yang sederhana, yakni air mineral dan roti kering. Padahal, lembaga internasional ini gaungnya sudah bergema di banyak negara, termasuk di Indonesia dan memberikan gaji yang kompetitif kepada para karyawan, termasuk saya. Menurut pimpinan saya, sikap demikian ini dipengaruhi oleh ajaran agamanya, yakni Kristen Calvinis, yang mengajarkan untuk memiliki etos kerja tinggi dan sikap asketis (zuhud).
Di antara ajaran-ajaran tersebut adalah perkataan Santo Paulus sebagai berikut:
“Mereka yang tidak bekerja tidak berhak mendapatkan makan”
“Istirahat abadi bagi orang-orang suci adalah di dunia nanti; sedangkan manusia di bumi harus mengerjakan suatu pekerjaan dari Dia yang telah mengutusnya, sejauh itu adalah harinya.”
Christian Directory karangan Baxter, rujukan penting bagi kaum Calvinis, mengatakan bahwa membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan dosa yang paling mematikan. Menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan tidur terlalu banyak oleh aliran ini dianggap sebagai kesalahan-kesalahan moral absolut.
Pada abad ke-18 M, beriringan dengan meluasnya industri di negara-negara Eropa Barat, Max Weber dalam bukunya Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme mengungkapkan fakta yang menarik: orang-orang top, para pemiliki perusahaan, tenaga terampil bergaji tinggi, dan posisi elit lainnya diisi oleh orang-orang Protestan, terutama aliran Calvinis ini. Hidup hemat, tidak berfoya-foya, menggunakan waktu sebaik mungkin, memandang bekerja sebagai ibadah (panggilan Tuhan), dan beretos kerja tinggi tertanam dalam diri mereka ketimbang umat Katolik yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjalankan ritual keagamaan dan hidup menjadi petani di pedesaan. Weber kemudian berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara ajaran di dalam Protestan dan kemajuan ekonomi di Barat.
Islam dan Semangat Kewirausahaan
Kemajuan suatu negara di antaranya ditandai dengan jumlah pelaku usahanya. Pada 2018 jumlah entrepreneur di Indonesia berkisar di angka 3% dari seluruh jumlah penduduknya. Sebuah angka yang masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara lain semisal Malaysia (5%), Singapura (7%), Jepang (10%), dan Amerika (14%). Apakah rendahnya jumlah pelaku usaha ini berkaitan dengan agama Islam yang dipeluk oleh kurang lebih 87% penduduk Indonesia?
Di Indonesia, beberapa penulis mengatakan bahwa Muhammadiyah pada periode awal berdirinya dipenuhi oleh orang-orang dengan etos kerja tinggi sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Weber, tentu dengan beberapa perbedaan. Para pedagang batik di berbagai kota seperti Solo, Kotagede, Pekalongan, dan daerah lainnya menjadi tulang punggung gerakan Muhammadiyah. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan juga menjadi seorang pedagang kala itu. Dengan spirit surat Al-Maun mereka juga bergiat mendirikan berbagai amal usaha seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Hal serupa juga ditemukan dalam diri Kyai Haji Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal Aa Gym. Keberhasilannya dalam mendirikan pesantren dan berbagai usaha seperti perusahaan air minum, biro jasa travel haji dan umroh, radio dan televisi, swalayan, perhotelan dan sejumlah usaha lainnya tidak terlepas dari pandangan keislaman Aa Gym. Beliau, berdasarkan sebuah penelitian, berusaha meniru cara-cara Nabi di dalam berbisnis. Berbisnis berdasarkan Alquran dan Hadis. Aa Gym, lanjutnya, memaknai konsep ikhtiyar dengan lebih menekankan pada usaha yang dilakukan oleh manusia untuk meraih keberhasilan atau keuntungan di dalam usahanya, bukan semata-mata ditentukan oleh Allah. (Alkumayi, 2006).
Apakah benar pandangan keagamaan seseorang merupakan faktor penting di balik semangat kewirausahaan? Apakah pandangan keagamaan menjadi hal yang krusial dalam rangka meningkatkan jumlah pelaku usaha di suatu negara?
Dulu saya mengamini pandangan seperti ini. Namun, setelah kurang lebih tiga tahun belajar berwirausaha dan mengamati perkembangan sosial terutama di pedesaan, saya mulai merivisi pandangan tersebut.
Etos Kerja
Di kampung, para orang tua, termasuk ayah saya, menjadi jamaah tareqat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN). Setiap hari Jumat Mbah Kyai, sang mursyid tarekat, mengadakan pengajian kitab di serambi masjid yang diikuti para orang tua di dusun. Tiap selapan, 35 hari sekali, pengajian ini dihadiri oleh seluruh murid tarekat dari desa-desa lain dan mengadakan pengajian akbar setiap dua tahun sekali dengan mengundang kyai ternama seperti Gus Yusuf dari Tegalrejo Magelang, KH. Ahmad Chalwani Berjan Purworejo dan lainnya.
Pagi-pagi sekali, usai sholat Subuh, sebagian masyarakat terutama dari dusun sekitar mulai beraktivitas. Para perempuan mulai berangkat ke pasar dan sebagian lainnya pergi untuk mencari rumput dan menjadi buruh rumah tangga di daerah kecamatan sebelah. Sekitar pukul sembilan jalan utama yang membelah dusun dipenuhi orang-orang berjalan dengan berderet-deret dengan rumput di punggung mereka dan mereka yang pulang dari pasar.
Melihat kenyataan ini tentu saja tidak tepat kalau orang desa diasosiasikan dengan orang-orang yang memiliki etos kerja rendah. Bahkan, sampai saat ini, kegiatan tidur di pagi hari masih dianggap sebagai hal yang tabu, tidak pantas dilakukan. Pagi hari adalah waktu yang sepi karena hampir semua orang berkegiatan di kebun dan di sawah.
Belakangan, dengan diperbaikinya infrastruktur jalan raya, pengaspalan dan pelebaran jalan, anak-anak muda di dusun mulai membangun usaha seperti menjadi suppliyer sayuran ke berbagai daerah. Mulai dari Jogja, Kudus, Kendal, Purworejo, dan lainnya. Di beberapa titik, para pemuda itu juga membuka tempat wisata dengan menawarkan panorama keindahan alam pegunungan yang dimiliki seperti Silancur Highland, Nepal Van Java, Mangli Skyview, dan beberapa lainnya. Semua ini adalah inisiatif dari para pemuda dengan menyadari kekuatan sosial media dan perbaikan infrastruktur yang mana para investor pun sudah mulai melirik daerah kami! (ini cerita yang lain lagi).
Para suppliyer sayuran ke berbagai kota ini memiliki kemiripan dengan sejarah munculnya kelas pedagang di Indonesia terutama pedagang batik yang menjadi tulang punggung Muhammadiyah sebagaimana cerita di atas. Di pasar Gotong Royong dan pasar Muntilan, misalnya, saat waktu Subuh tiba, masjid menjadi penuh oleh para pedagang sayuran ini. Mereka bergabung dalam barisan shof sholat berjamaah dilanjutkan dengan berzikir dan kembali lagi menekuni pekerjaan masing-masing. Mereka adalah muslim pedesaan dengan segala tradisi keagamaannya mulai dari ziarah kubur, sowan kyai, yasinan, pengajian akbar dan lainnya. Pada saat yang sama, mereka menjadi golongan kelas pedadang baru, pemutar modal yang canggih, tepat waktu, pekerja keras, dan rajin menabung sebagaimana digambarkan oleh Weber.
Dari cerita-cerita dari desa ini menunjukkan bahwa untuk mendorong semangat berwirausaha kita tidak perlu merevisi keyakinan keagamaan, berpindah dari NU ke Muhammadiyah, misalnya. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah perbaikan infrastruktur, melek literasi bisnis termasuk bagaimana mendapatkan modal, kemampuan membaca peluang, dan kesetaraan terhadap akses termasuk dalam hal pendidikan. Selain itu, berbagai tradisi keagamaan ini saya kira justru sangat berguna untuk sarana bergaul, berkumpul, membangun empati, dan menghindari dari penyakit ‘kegelisahan’ dan ‘keterasingan’ yang diderita manusia modern saat ini!