Di masa pandemi ini, orang-orang berupaya untuk selalu produtif di rumah. Salah satu kegiatan yang amat sederhana dan kaya substansi adalah ngaji online. Tentu saja, hal ini kebanyakan didasari dengan kemauan dan tekadnya untuk mendapatkan keberkahan.
Sebenarnya, ngaji online sudah diterapkan banyak orang jauh sebelum datangnya pandemi ini. Hanya saja, ngaji melalui platform media sosial seperti Instagram, Facebook, maupun Youtube menjadi semakin massif semenjak pemerintah menerapkan pembelajaran daring dan WFH (Work From Home). Segera setelah itu, masyarakat baik dari kalangan akademisi hingga kalangan abangan, santri maupun non-santri dituntut untuk belajar dan memanfaatkan media sosial mereka sebagai media pembelajaran.
Mengaji secara virtual ini banyak diminati orang-orang, seperti halnya para akademisi yang bertujuan untuk menambah wawasan dalam penelitiannya, para santri yang harusnya belajar di pondok sekarang dituntut untuk belajar di rumah, masyarakat umum baik alumni pesantren maupun non-pesantren ingin mendapatkan asupan ilmu agama, ingin ngalap berkah atau hanya sekedar ber-nostalgia semata. Pada intinya, semua orang ingin mendapatkan keberkahan dan wawasan ilmu agama Islam.
Melihat fenomena ngaji online yang semakin “mewabah”, saya pribadi justru gelisah ketika dihadapkan dengan pertanyaan seseorang, apakah ngaji online perlu beretika (ber-adab) layaknya belajar di suatu majlis ilmu? Tentu saya jawab iya. Hemat saya, bahwa dengan ber-etika-lah akan mendatangkan keberkahan (manfaatnya ilmu).
Mengapa demikian? Sebab melihat kondisi saat ini sangat berbeda dengan keadaan masa lalu. Misalnya, metode pembelajaran masa lalu terbiasa dengan bertatap muka (muwajjahah) antara murid dan guru.
Sedangkan saat ini, ngaji online tidak perlu dengan bertatap muka layaknya dalam sebuah majlis. Ngaji online dapat dilakukan hanya dengan menyiapkan HP (handphone) atau laptop di depan kita dan dapat diakses di manapun kita berada.
Ngaji semacam ini boleh jadi merupakan fenomena baru yang belum pernah sedahsyat dan diterapkan oleh para ulama sebelumnya. Metode pembelajaran tempo dulu belum ada teknologi yang canggih seperti saat ini.
Begitu juga dengan orang yang ingin mendapatkan sanad (mata rantai keilmuan) pun wajib hadir di tempat dan bertatap muka antara guru dan murid dengan penuh ketawaduan dan penghayatan.
Terlepas dari hal itu, setidaknya penulis menemukan tiga point dalam kitab Ta’limul Muta’allim yang relevan dan signifikan untuk diterapkan oleh para pengkaji online (sebagai murid).
Pertama, bila hendak ngaji online seyogianya sang murid dalam keadaan suci alias berwudu dahulu. Demikian Syeikh al-Zarnuji mengatakan bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan wudlu juga cahaya. Sedangkan cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudu. Logikanya, apabila cahaya dipertemukan dengan cahaya, maka cahaya tersebut akan bertambah alias tambah terang benderang.
Kedua, ketika sedang ngaji online upayakan untuk meletakkan kitab dengan baik. Semisal, apabila kita duduk bersila setidaknya kitab dijauhkan dari kaki kita atau meninggikan tempatnya. Perlakuan semacam ini, terkadang orang tidak tau atau bahkan mengabaikannya.
Padahal, penghormatan terhadap kitab juga penting dilakukan, sebab dikhawatirkan si murid meremehkan terhadap kitab tersebut dan dikhawatirkan akan menghilangkan kemanfaatan ilmu yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada pepatah sufi yang mengatakan “hormatilah catatanmu (buku/kitab) sebagaimana kau menghormati mayit”.
Ringkasnya, pada point terakhir inilah yang perlu ditekankan oleh para pencari ilmu, yakni mendengarkan sang guru dengan penuh rasa hormat dan penuh penghayatan. Jangan sampai di pertengahan kita nyinyir sendiri, berkomentar dengan tidak wajar mentang-mentang tidak bertatap muka bahkan mencaci sang guru. Na’udzubillahi min dzalik.
Akhir kata, semoga keberkahan ngaji online kita sama dan sepadan seperti halnya ngaji dalam majlis ilmu. Aamiin…