Puasa melatih kita menjadi pribadi yang bertakwa. Tetapi mengapa gelombang kebencian kepada kelompok lain, fitnah, dan hoax tidak mereda selama Ramadhan ini? Salah satu jawabannya adalah ketidakseimbangan antara basyîr dan nadzîr terkait puasa. Kita terbuai dengan banyaknya informasi keutamaan puasa (basyir) tetapi kita minim asupan ancaman (nadzir) bagi orang yang berpuasa.
Dalam mimbar-mimbar pengajian di sepanjang Ramadhan ratusan ribu penceramah menekankan bahwa Allah memberikan banyak keistimewaan kepada umat Islam yang berpuasa. Ratusan ribu riwayat, ayat, dan pendapat ulama tentang fadhilah dan keutamaan berpuasa diurai di banyak forum. Hingga pada akhirnya kita merasa yakin dan pede bahwa kita pasti termasuk golongan umat Muhammad yang mendapatkan banyak pahala dan jaminan surga.
Merasa mendapat jaminan puasa diterima, jaminan ampunan, dan kunci surga, kita pun enak-enakan menjalani puasa ini dengan berbagai hal yang terkadang bisa merusak puasa kita. Maka tidak perlu heran jika di bulan puasa ini, media sosial masih riuh dengan saling umpat dan caci maki. Hoax masih bertebaran di mana-mana. Umat Islam menjadi teledor, kurang memperhatikan pesan-pesan yang bernada ancaman dari Allah dan Rasul dengan lebih teliti terkait orang yang berpuasa.
Misalnya hadits qudsi berikut ini:
Allah berfirman, “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku akan memberikan balasannya. (Umat Islam) menjaga syahwat, makan, dan minum karena Aku. Puasa adalah perisai. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika bertemu Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah ketimbang minyak kasturi.” Hadits populer ini dengan beragam versi diriwayatkan oleh Bukhari (1904), Muslim (1151), Abu Dawud (2363), Tirmizi (766), Nasai (2214), Ibnu Majah (3823), Malik (860), Darimi (1811), dan Ahmad (7174).
Yang menarik dicermati adalah bahwa para penceramah selama Ramadhan ini menyampaikan hadits qudsi di atas secara parsial, sepenggal-sepenggal. Jarang ada penceramah yang menyampaikan hadits qudsi tersebut secara utuh-seluruh. Dari lima kalimat di atas, dua kalimat terakhir yang paling sering dikutip di sana-sini. Para penceramah senang dengan dua penggal kalimat ini. Audiens pun senang mendengar konten tersebut. Klop sudah.
Dua kalimat terakhir menegaskan bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan sekaligus. Yang satu akan didapat di dunia, yakni saat berbuka. Yang satunya pasti akan diraih kelak di hari kiamat. Ini jaminan dari Allah. Dan yes. Kita pun merasa ayem-tentrem. Penggalan kalimat selanjutnya, bau mulut orang yang berpuasa sangat istimewa di sisi Allah, meskipun kita sendiri merasa kikuk dengan bau mulut sendiri. Dan kita pun berbangga dengan dua jaminan (basyîr) ini.
Sementara itu, tiga kalimat pertama dari hadits qudsi tersebut jarang dikutip. Kalaupun dikutip, ia disampaikan dalam nada kabar baik (basyîr), bukan ancaman (nadzîr). “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya. “ Hadits ini selalu dipahami dalam kerangka balasan yang berlipat. Memang dalam riwayat Imam Tirmizi (766) hadits ini diawali, “Setiap perbuatan baik mendapatkan balasan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Dan puasa adalah untuk-Ku…”
Mayoritas penceramah menyatakan bahwa terhadap setiap amal ibadah, Allah akan memberikan balasan yang berlipat, mulai dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Maka Allah akan memberikan balasan yang tak ternilai dan tak terbatas untuk puasa. Pemahaman ini tidak salah memang. Tetapi coba kita perhatikan sekali lagi dengan lebih detil. Dalam riwayat tadi, Allah menyatakan bahwa puasa adalah hak prerogatif Allah, apakah diterima atau tidak, apakah diberi balasan atau tidak.
Hadits ini sebetulnya adalah ancaman (nadzîr) kepada orang yang berpuasa. Dalam hadits tadi Allah swt. tidak memberikan kepastian apa dan berapa balasan orang yang berpuasa. Maka hak Allah untuk memberikan sepuluh kali lipat, seratus kali lipat, seribu kali lipat, bahkan semilyar kali lipat. Tapi ingat. Allah swt bisa saja menolak puasa kita dan tidak memberikan balasan apa pun atas puasa kita. Karena itu adalah hak Allah. Dan sedihnya, kita tak bisa protes.
Dalam bahasa anak muda, Allah swt seolah-olah berfirman, “Hei… Kalian puasa yang bener ya. Jangan macam-macam saat puasa. Ntar Aku sendiri yang bakal menilai puasa kalian. Awas lho ya… Aku tahu lho kalian kumur-kumur tiga kali tapi yang keluar cuma dua kali. Aku tahu lho kamu nyebar hoax dan kabar dusta di grup WA ituh. Aku tahu lho kamu menyebar fitnah kepada si A. Ingat! Jangan macam-macam.”
Ancaman ini menemukan relevansinya dengan kalimat kedua hadits qudsi tersebut, “(Umat Islam) menjaga syahwat, makan, dan minum karena Aku.” Allah swt menegaskan bahwa puasa itu tidak hanya menahan makan dan minum, tapi juga menahan syahwat. Syahwat tidak hanya syahwat seksual, tapi juga syahwat ghibah, syahwat politik, syahwat hoax, syahwat fitnah, dan semacamnya.
Tidak hanya itu, puasa itu menuntut keihlasan total, “… karena Aku.” , firman Allah. Jadi puasa dilakukan bukan karena takut ketahuan orang lain, bukan pula karena agar tampil islami. Hal ini dipertegas dengan kalimat ketiga, “Puasa adalah perisai.” Allah mengingatkan kita sekali lagi, bahwa puasa adalah tameng yang menjadi pelindung kita.
Maka ketika kita berpuasa, kita tidak boleh membiarkan ada kotoran mengenai diri kita. Kita tidak boleh membiarkan diri kita menyebarkan hoax, fitnah, adu domba, dan kabar bohong. Kita tidak membiarkan diri ini turut menyebarkan ujaran kebencian. Jika kita melakukannya, maka kita sedang menghancurkan perisai tersebut.
Ancaman Allah swt selaras dengan ancaman Nabi yang jarang dikutip berikut, “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan tercela, maka Allah tidak butuh jerih payah mereka dalam meninggalkan makan dan minum.” Hadits sahih ini diriwayatkan oleh Bukhari (1903), Abu Dawud (2362), Tirmizi (707), Ibnu Majah (1689), dan Ahmad (10562).
Betapa pentingnya hadits sahih ini, Imam Bukhari sampai membuatkan bab tersendiri dalam kitab Sahih Bukhari-nya,”Bab orang yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan tercela saat berpuasa”.
Allah swt mengancam pembuat dan penyebar hoax dengan tidak memberikan balasan puasa apa pun kepada mereka. Karena itu adalah hak prerogratif Allah. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa “Ada lima yang membatalkan pahala puasa: dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan syahwat.” Mereka berpuasa tapi hanya dapat lapar dan dahaga.
Wal iyadz billah.
*) M. Nasruddin, pengajar di IAIN Metro Lampung.