Saat Abu Bakar al-Syibli sedang duduk-duduk santai, tiba-tiba terbesit dalam hatinya suatu ucapan, “Kamu orang yang bakhil (pelit)”. Akalnya pun mencoba menolak dan melawannya. Ia mencoba menyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang yang pelit. Namun tetap saja, hatinya mengatakan bahwa dia adalah orang yang pelit.
Hal itu lalu membuatnya bertekad bahwa suatu saat, jika ia memiliki banyak harta ia akan memberikannya kepada orang yang membutuhkan (fakir) yang ia temui pertama kali di hari itu. Hingga, suatu hari, ada seorang kawan datang kepadanya dengan membawa uang sebanyak limapuluh dinar, suatu jumlah yang tidak sedikit.
“Pakai uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu!” kata kawan itu kepada al-Syibli menawarkan bantuan.
Sebagaimana niatnya semula, maka yang ia butuhkan saat itu adalah memberi orang fakir. Tak lama setelah itu, ia pun keluar dari rumahnya untuk mencari orang fakir yang akan menerima pemberian uang darinya. Ternyata yang pertama kali ia temui hari itu adalah orang fakir yang buta. Saat itu, ia sedang potong rambut si sebuah tempat jasa potong rambut.
Ia pun memberikan bungkusan yang berisi uang limapuluh dinar yang ia bawa kepada si buta. Namun, siapa sangka, ternyata uang itu ditolaknya. Justru ia menyarankan kepada al-Syibli agar uang itu diberikan saja kepada si tukang cukur (sebagai ongkos jasa mencukur).
“Yang benar saja. Ini uang yang sangat banyak, limapuluh dinar. Masak diberikan begitu saja kepada si tukang cukur sebagai upah jasanya. Bukankah terlampau kebanyakan?” kata al-Syibli menolak permintaan itu.
Ternyata orang buta yang ada di hadapannya itu mengetahui gejolak hati yang sedang dialami al-Syibli. Ia pun kemudian berkata, “Tidak salah memang, engkau memang orang yang pelit”. Ucapan itu pun akhirnya membuat al-Syibli berkenan memberikan uang itu kepada si tukang cukur.
Namun lagi-lagi, pemberian itu tak berhasil. Si tukang cukur juga menolaknya. Ia berkata, “Sejak pertama orang itu potong rambut kepadaku, aku berjanji tak akan mengambil bayaran/upah darinya”. Karena tak ada yang mau menerimanya, uang itu pun akhirnya dibuang oleh al-Syibli ke dajlah (sungai Tigris, Irak). Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Siapa saja yang menganggamu (uang) mulia, maka ia akan dihinakan oleh Allah Swt”.
Kisah di atas bisa dibaca kitab Masalik al-Abshar fii Mamalik al-Amshar karya Ibnu Fadhlillah al-Umari. Kisah di atas agaknya mengajak kita untuk tidak merasa berat untuk memberikan apa yang kita berikan kepada pihak yang memang membutuhkan.
Berbagi harta yang kita miliki kepada sesama, apalagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini, memang terasa sangat berat. Namun di situlah “seni”-nya. Namun, bukankah pahala yang akan diterima disesuaikan dengan pengorbanan yang dikeluarkan?. Al-Suyuti dalam Al-Asybah wa Al-Nadzhair mengatakan, “Amalan yang lebih banyak pengorbanan, maka lebih banyak pula keutamaannya”.
Walhasil, memberi adalah sebuah kebaikan yang harus terus menerus dikerjakan, yang jika memungkinkan, dengan nominal yang banyak. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. (HR. Bukhari)