Dewasa ini banyak sekali pemikir modern, kontemporer dan pembaharu Islam dan para aktivis Hak Asasi Manusia yang mencoba mengkritik konsep-konsep Islam. Hal tersebut dikarenakan konsep syariat Islam yang ada selama ini, jika diterapkan pada abad modern khususnya dalam hukum publik sudah tidak relevan lagi. Salah satu tokoh yang mempunyai kritikan keras terhadap konsep-konsep yang ada dalam syariat Islam yang sudah ada selama ini adalah Abdullah Ahmed An-Naim, yang terkenal dengan gagasannya yaitu dekonstruksi syariah dan evolusi syariah.
Abdullah Ahmed An-Naim adalah cendekiawan muslim asal Sudan, yang lahir pada 6 April 1946 M di daerah Mawaqier, 200 km dari Utara Khartoum. Beliau adalah nak dari Ahmad An-Naim dan Aisha Al-Awad Osman. An-Naim merupakan anak pertama dari sebelas bersaudara. Dan selama masa kanak kanak, beliau belajar di kampung halamannya sendiri dan sempat menghafal Al-Qur’an sampai 2 juz.
Setelah itu, An-Naim melanjutkan sekolah dasar di Atbara (1952-1960 M) tempat ayahnya bertugas dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di Omdurman, ketika ayahnya pindah tugas kesana (1960-1965 M). Setelah selesai menempuh sekolah jenjang menengah, An-Naim melanjutkan studinya di Universitas Khartoum (1965-1970) dengan mengambil jurusan hukum. Pada tahun 1973 M mendapat gelar M.A dan LL.M dari Cambridge University. Dan gelar Ph.D diselesaikan pada tahun 1976 M di Edinburg University, Skotlandia.
Meski tumbuh dinegara miskin dan terbelakang, An-Naim berhasil menjadi seorang akademisi bertaraf internasional yang sukses. Yang dibuktikan dengan beberapa gagasan fenomenalnya dan kontroversialnya yang terdapat dalam karya-karya seperti; Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights and International law dan lain-lain, yang di dalamnya mengupas ambiguitas pemikiran hukum Islam, baik dari metodologi maupun materi.
Karir akademiknya sendiri dimulai ketika menjadi dosen hukum di Universitas Khartoum (1976-1985 M) dan menjadi ketua jurusa hukum public Universitas Khartoum (1979-1985 M) dan dosen tamu California University (1985-1987 M) dan dosen tamu Uppala University, Swedia (1991-1992 M). Sejak tahun 1995 M sampai sekarag, An-Naim menjadi guru besar hukum di Emory University, Atalanta, USA dengan focus kajian kriminologi, Hak Asasi Manusia dan hukum Islam.
Berangkat dari aggapan bahwa syariah yang ada saat ini tidak relevan dengan nilai-nilai modern dan budaya modern, An-Naim kemudian mempunyai gagasan perlunya reformasi syariah supaya sesuai dengan perkembangan zaman. Karena syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral, atau bersifat ilahiyah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah Swt.
Gagasan-gagasan yang diusung oleh An-Naim sendiri membicarakan tentang konsekuensi–konsekuensi yang muncul dari penerapan syariah historis pada bidang publik, yaitu hukum pidana, konstitusi, hubungan internasional, dan Hak Asasi Manusia. An-Naim meyakini bahwa penerapan aspek hukum publik syariah historis, dalam kehidupan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan yang luar biasa.
Oleh karena itulah, Islam tetap dimungkinkan untuk mengembangkan alternative yang dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan tersebut atau yang bisa disebut dengan syariah modern yang sama-sama berasal dari sumber-sumber Islam yang selama ini dipake. An-Naim juga menganggap bahwa perkembangan zaman yang semakin modern, mengakibatkan tidak relevannya hukum syariah historis yang dipandang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim dalam hukum publik, sehingga memunculkan sebuah solusi berupa hukum publik sekuler untuk mengatasi masalah tersebut.
Akan tetapi dalam padangan An-Naim, solusi satu-satunya bukan hanya sekularisme untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hukum syariah tersebut. Sehingga An-Naim menawarkan sebuah pendekatan baru untuk interpretasi Al-Qur’an dan Sunnah. Yaitu pendekatan evolusioner, yang bisa menghasilkan sebuah hukum syariah modern yang tetap mempertahankan keabsahan Islam.
Pendekatan evolusi mengusulkan basis hukum Islam dari teks masa Madinah ke teks masa Mekkah yang lebih awal. Dengan arti lain prinsip evolusi yang ditawarkan An-Naim adalah membalikkan proses nasakh (penghapusan hukum suatu teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan pada masa sekarang, dengan konsekuensi penghapusan teks yang terdahulu dijadikan sebagai basis syariah.
An-Naim melihat bahwa hukum publik yang telah diimplementasikan di negara Barat, sudah selayaknya dijadikan standard ideal untuk diadopsi di dunia Islam karena merupakan hasil pencapaian tirtinggi manusia di abad modern. Sehingga supaya bisa diterima kaum muslimin, hukum publik Barat tersebut harus dicarikan basis pijakannya dari ajaran Islam.
Dan untuk mengatasi hal tersebut, An-Naim menawarkan konsep perubahan hukum pubilik di negara negara Islam yang disebut dengan evolusi syariat. Yaitu suatu pengujian secara terbuka terhadap Al-Qur’an dan Sunnah yang melahirkan dua tingkat risalah Islam, yaitu periode awal Mekkah dan periode kedua Madinah.
Gagasan-gagasan yang dibawa An-Naim berupaya untuk mendekonstruksi seluruh hasil ijtihad para fuqaha dan ulama selama tiga abad pertama. Dan pemikiran-pemikirannnya yang kontroversial juga tidak lepas dari pemahamannya tentang syariah yang berbeda dengan mayoritas para cendekiawan muslim lainnya, sehingga banyak terjadi perbedaan diantara mereka.
Akan tetapi, di sisi lain An-Naim adalah sosok intelektual yang mampu mengajak umat Islam untuk selalu berfikir, berijtihad dan berjuang demi kemajuan Islam. Oleh karena itulah, membaca pemikiran-pemikiran seperti pemikirannya An-Naim harus menggunakan nalar kritis dan akademis, bukan nalar dogmatis dan ideologis kelompok. Sehingga mampu mengambil mana yang layak untuk diambil dan difikirkan, dan mana yang tidak.