Tidak banyak yang tahu, sosok Abdoel Moeis merupakan sosok pertama yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Ia dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Pendiri Republik Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno berdasarkan no SK 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959.
Abdoel Moeis atau Abdul Muis sendiri lahir pada 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Agam, Sumatra Barat.
Ia merupaan putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seorang tokoh masyarkat setempat yang dihormati.
Sedari kecil, ia tumbuh jadi seseorang yang mahir berbahasa asing, termasuk berbahasa Belanda. Ia juga sekolah di Stovia, sekolah elite kedokteran di Batavia.
Berkat keahlian berbahasa juga, ia bahkan menjadi orang pribumi pertama yang diangkat menjadi pekerja kantoran pada saat itu. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda.
Setelah kurang lebih 2,5 tahun bekerja, ia keluar dari pekerjaannya, kemudian menekuni kata hatinya untuk berjuang memerdekakan Republik Indonesia.
Ia jadi jurnalis, sastrawan, hingga aktif di pelbagai organisasi pergerakan dan politik.
Jurnalis yang Terjun di Politik Pergerakan
Karier jurnalistiknya dimulai sebagai redaksi Bintang Hindia, lalu di beberapa media hingga jadi pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda.
Ia juga bergabung dengan Serikat Islam yang dimotori oleh H.O.S Cokroaminoto. Organisasi dan partai pergerakan terbesar di zaman sebelum kemerdekaan.
“Dalam Sarekat Islam, Abdoel Moeis memperlihatkan kepintarannya. Otaknya cerdas. Ia sangat pandai berdebat. Namanya jadi masyhur. Ia pandai berpidato, hampir sama dengan Tjokroaminoto. Dalam pidatonya, Moeis menganjurkan agar rakyat berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka,” tulis buku biografinya Abdoel Moeis (1980) hal.23
Selain jadi anggota SI, ia juga anggota Indische Partij.
Waktu itu orang diperbolehkan untuk masuk lebih dari satu organisasi atau lebih dari satu partai. Indische Partij sendiri dipimpin Douwes Dekker.
Bersama dengan tokoh lainnya, ia terus berjuang menentang penjajah Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat perundingan politik.
Tulisan dan pidatonya yang keras membuat merah kuping Belanda.
Pada tahun 1926, ia dijatuhi hukuman oleh pemerintah Belanda. Ia harus diasingkan ke Garut, Jawa Barat dan tak lagi bisa berpolitik.
Di kota inilah, Abdoel Moeis menyelesaikan novel berjudul “Salah Asuhan” yang jadi salah satu karya besar miliknya.
Novel ini hingga kini jadi salah satu rujukan penting novel Indonesia tentang kehidupan warga Indonesia ketika berjumpa dengan modernitas dan budaya barat.
Abdoel Moeis meninggal dunia di usia 76 tahun pada 17 Juni 1959 di Bandung, setelah menghabiskan lebih dari setengah hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan.
Jenazahnya dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.