Pada tahun 2006, Paus Benedictus XVI mengeluarkan pernyataan bahwa agama Islam melegitimasi kekerasan. Dalam cuplikan ceramahnya, Paus Benedictus XVI mengatakan, “Show me just what Mohammed brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached.” (Tunjukkan kepada saya apa ajaran baru yang dibawa Muhammad, dan yang Anda akan temukan hanyalah sesuatu yang jahat dan tidak manusiawi, misalnya adalah perintah untuk menyebarkan ajaran Islam dengan pedang)
Maklumat tersebut dinilai oleh para intelektual Muslim dan otoritas agama Islam sebagai sebuah serangan kepada Islam. Merespon hal tersebut, sebuah prakarsa muncul mengenai pentingnya komunitas-komunitas Islam dan Kristen untuk melawan intoleransi beragama sekaligus mencapai kata bersama tentang mencintai Tuhan dan sesama manusia. Gagasan tersebut teraktualisasi dalam wujud surat terbuka kepada para pemimpin gereja dan denominasi Kristen dari seluruh dunia pada tahun 2007 dengan judul “a Common Word Between Us and You”. Surat terbuka ini diinisiasi oleh 137 sarjana dan intelektual Muslim besar dari berbagai aliran yuridis dan teologi yang berbeda, termasuk mufti-mufti terkemuka dari Mesir, Suriah, Yordania, Oman, Bosnia, Rusia, dan Istanbul.
Surat tersebut mengutip frasa yang tertulis dalam QS. Ali Imron ayat 64:
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan
Surat terbuka tersebut seolah memugar komitmen bahwa umat Muslim dan Kristen bisa bekerjasama untuk mencapai kedamaian. Komitmen hidup berdampingan secara damai tersebut didasarkan pada dua perintah fundamental yang sama yang ditemukan pada kedua agama, yaitu Love of God (Mencintai Tuhan) dan Love of Neighbor (Mencintai Tetangga).
Surat tersebut mengutip sumber-sumber dari Qur’an dan Hadits untuk ajaran Islam, serta Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk ajaran Kristen dalam membincang kedua perintah tersebut. Misalnya, tentang Keesaan Tuhan, “Kata Bersama” mengutip QS. al-Ikhlas: 1-2. Tentang perlunya cinta kepada Allah, “Kata Bersama” mengutip QS. al-Muzzammil: 8. Tentang perlunya cinta kepada tetangga, “Kata Bersama” mengutip sabda Nabi Muhammad “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga kamu mencintai sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.”
Dalam konsep keesaan Kristen, “Kata Bersama” mengutip Perjanjian Baru, di mana Yesus Kristus berkata, “Dengarlah, hai Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.” Dalam konteks mengasihi Tuhan, Kata Bersama juga mengutip sumber serupa, “Dan kamu harus mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu.’ Ini adalah perintah pertama.” Dalam hal mengasihi tetangga, “Kata Bersama” mengutip Injil Markus pasal 12 ayat 29-31, “Dan yang kedua, seperti itu, adalah: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
Mudahnya, ‘Kata Bersama” merupakan sebuah ikhtiyar untuk mencari titik temu antara agama Islam dan Kristen sehingga umat masing-masing tidak saling sinis melihat satu sama lain karena pada dasarnya Kristen dan Islam, dalam tataran tertentu, memiliki banyak kesamaan. Meskipun relatif masih berumur singkat, “Kata Bersama” berhasil menorehkan sejarah signifikan dalam mempengaruhi kehidupan banyak umat Islam dan Kristen di seluruh dunia. Konferensi-konferensi internasional yang bertajuk “dialog Islam-Kristen” di Universitas Yale dan Universitas Cambridge dan pertemuan penting di Vatikan pada November 2011 tentang topik yang sama membuktikan dampak nyata dari prakarsa “Kata Bersama”.
“Kata Bersama” memang dipahami sebagai dokumen penting historis yang ditujukan kepada para pemuka agama Kristen untuk membuka ruang dialog dengan Islam. Namun, Zainal Abidin Bagir memilih menafsirkannya secara lebih luas. Dalam tulisannya, Kata Bersama dan Risalah Amman Sebagai Advokasi Muslim Bagi Keragaman Indonesia, Bagir menegaskan bahwa “Kata Bersama” tidak hanya dialamatkan kepada pemimpin Kristen, tetapi juga kepada sesama Muslim. Artinya, “Kata Bersama” dalam tataran tertentu bisa dipandang sebagai upaya “pendefinisian (ulang) Islam”. Bukan Islam dengan wajah yang baru, melainkan Islam yang otentik yang berakar kuat dalam teks dan tradisi.
Bagir mencoba mencari benang merah antara dokumen “Kata Bersama” (dikeluarkan pada 2007) dan “Risalah Amman” (dikeluarkan pada 2004). Risalah Amman merupakan dokumen percakapan internal Islam yang berisi tentang respon-respon terkait hubungan dengan komunitas non-Muslim di Yordania pada 2004. Kedua risalah tersebut merupakan upaya konsensus ratusan ulama Islam yang belum ada presedennya di dunia Muslim modern. Menurutnya, dokumen tersebut relevan bagi Muslim Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, kedua dokumen ini bisa ditafsirkan seolah berbicara kepada dua kelompok Muslim Indonesia, kelompok toleran (yang masih diakui sebagai mayoritas hingga kini) dan kelompok intoleran (yang cenderung kecil dari segi kuantitas namun efektif dalam bergerak). Tantangannya jelas terlihat ketika “Kata Bersama” ditawarkan kepada kelompok intoleran yang secara agresif menawarkan perspektif yang bertentangan. Perlu diingat bahwa kelompok kedua ini juga mengklaim sebagai Islam yang otentik, mereka menjustifikasi pandangan mereka sebagai Islam yang berakar dalam tradisi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok Muslim intoleran sangat menutup diri dari semua perspektif keagamaan. Alih-alih mencari titik temu dan kesamaan antar keyakinan dan pandangan, Muslim radikal cenderung suka memproblematisasi perbedaan. Perbedaan sepele, semisal tentang fashion, selalu menjadi pintu masuk penghakiman mereka antara mengikuti kaum “kafir” Barat atau mengikuti sunnah Nabi.
Namun, menurut Bagir, yang paling penting adalah adanya gagasan tandingan dengan perspektif yang berbeda. Memang kita tidak mungkin berharap bahwa gagasan konseptual “Kata Bersama” akan menjadi satu-satunya yang hidup, akan tetapi gagasan “Kata Bersama” paling tidak mampu menjadi inisiatif baru perimbangan sudut pandang mengenai relasi antar agama di Indonesia.
Dokumen tersebut menampilkan suatu etika-etika menghadapi perbedaan dengan tidak menegakkan semangat superioritas dan eksklusifitas, tetapi mencari dasar bersama untuk hidup berdampingan secara damai. Dalam konteks Indonesia, upaya realisasi dan pengembangan “Kata Bersama” ini bisa dilanggengkan oleh dua organisasi besar Islam, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. “Kata Bersama” memang harus dimaknai secara fleksibel dan tidak kaku, itulah yang membuat nilai-nilai etis ini relevan diaplikasikan oleh siapapun dan di manapun.
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dan Jaringan Nasional Gusdurian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama