Problematika Awal Mula Puasa dalam Islam

Problematika Awal Mula Puasa dalam Islam

Problematika Awal Mula Puasa dalam Islam

 

Tidak banyak diketahui oleh kebanyakan kaum muslim bahwa syariat (ketentuan) puasa pada masa awal Islam sangat ketat. Tidak sebagaimana yang kita jalani seperti sekarang ini. Pelaksanaannya tidak hanya dimulai dari terbitnya fajar shadiq (thulu’ al-fajr) sampai tembenamnya matahari (ghurub al-Shamsh), melainkan memandang dua hal lain; pertama masuknya waktu Isya’ sampai terbenamnya matahari. Kedua, bangun tidur setelah terbenamnya matahari meski belum masuk waktu Isya’. Dalam rentetan waktu yang demikian panjang juga berdampak pada larangan melakukan sesuatu yang membatalkan puasa.

Dalam Ma’alim al-Tanzil (Vol I: 206-207) karya Imam al-Baghawi, disebutkan bahwa tidak sedikit para sahabat yang ‘kewalahan’ dalam melaksanakannya. Tidak terkecuali sahabat Umar bin Khattab. Beliau pernah menerjang larangan puasa dengan menggauli istrinya selepas shalat Isya’. Selesai mandi besar beliau menangis dan mendatangi Nabi saw. “Ya Rasulallah, saya meminta maaf kepada Allah dan kepada engkau atas kesalahan yang telah saya perbuat. Selepas shalat Isya’ saya mendangi keluarga. Dan saya mencium aroma harum istri saya kemudian menggaulinya, lantas apakah saya akan mendapat keringanan (rukhsah)”. Seketika Nabi saw. menjawab “Sungguh engkau tidak pantas berbuat seperti itu!”. Kemudian tidak lama dari pengaduan Umar, berdirilah seorang laki-laki dengan pengaduan yang sama.

Problem yang muncul bukan hanya dalam masalah biologis, tercatat seorang sahabat pemuda Ansar bernama Qais bin Surmah atau biasa disebut dengan Abu Surmah bin Qais bin Surmah. Namanya banyak diabadikan dalam kitab-kitab tafsir saat menjelaskan asbab al-nuzul Q.S. al-Baqarah 187. Qais bin Surmah adalah seorang petani. Aktifitasnya dari pagi pergi ke ladang sawah dan menjelang terbenamnya matahari kembali kerumah. Ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau tetap melaksanakan aktifitas seperti biasa. Sebab lazimnya para sahabat selalu mentaati dan melaksanakan syariat yang telah diperintahkan. Ketika masuk waktu maghrib Qais bin Surmah memanggil istrinya dan bertanya “hari ini kamu masak apa?”, “Belum ada yang dimasak, tapi jika kamu menginginkan sesuatu, saya akan memasak” jawab sang istri.

Sambil menunggu hidangan yang dimasak sang istri ternyata Qais bin Surmah tertidur. Selesai memasak, sang istri terkejut saat melihat suaminya, sambil berkata “wallahi, engkau telah tertidur!”. Mendengar suara sang istri, Qais bin Surmah bangun dari tidur. Qais bin Surmah sebagai sahabat yang taat dalam menjalankan syariat, beliau tidak mau memakan makanan yang telah dihidangkan.

Kesokan paginya, Qais bin Surmah kembali menjalani aktifitasnya sehari-hari. Sampai pertengahan hari beliau pingsan sebab tubuhnya terlalu lemas. Ketika beliau sadar, Rasulullah saw mendatanginya dan bertanya “Ya Aba Qays, kenapa engkau terlalu lemas?” . Kemudian beliau menceritakan apa yang dialami. Merespon problem yang dialami para sahabat, turunlah ayat QS al-Baqarah 187 yang berbunyi:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُون (187)

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Demikian sekelumit kisah awal sejarah disyariatkannya puasa. Pada mulanya sangat ketat. Tidak sedikit umat Islam bahkan dari kalangan sahabat besar yang cukup “kewalahan” menjalankannya.

Wallahu A’lam bi as-Shawab

*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Purwoasri Kediri