Sunat Perempuan adalah Tindakan Kriminal, Ini Sejumlah Alasannya

Sunat Perempuan adalah Tindakan Kriminal, Ini Sejumlah Alasannya

Sunat Perempuan adalah Tindakan Kriminal, Ini Sejumlah Alasannya
Ilustrasi perempuan menyembelih qurban

Jakarta – Khitan perempuan, sebuah tradisi yang masih dipraktikkan di berbagai daerah, kerap memunculkan perdebatan panjang antara nilai budaya, agama, hingga hak asasi manusia. Di balik praktik ini, muncul pertanyaan mendasar: benarkah Islam membolehkan sunat terhadap perempuan?

Ruang diskusi demikian, muncul dalam seminar nasional Puan Amal Hayati yang mentengahkan soal “Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak Pencegahan pemotongan dan pelukan Genetalia Perempuan (P2GP) Sunat Perempuan dan Perkawinan anak di Hotel Grand Kemang Jakarta di Ruangan Magzi Ballroom, pada Jum’at (27/12/2024).

Nyai Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid selaku pimpinan Puan Amal Hayati melaporkan hasil survei dan sosialisasi terkait khitan perempuan. Temuan survei menyebutkan, nyaris 50 persen praktik penyunatan perempuan itu dilakukan oleh kalangan medis.

“Kami mendapatkan gambaran bahwa khitan perempuan banyak dilakukan oleh bidan, perawat dan paramedis sebanyak 45,8% dan oleh dukun bayi sebanyak 27,7%,” jelasnya saat mengisi sambutan di acara seminar tersebut.

“Mengingat bahayanya khitan perempuan, bagi anak-anak perempuan kita yang nantinya juga akan menjadi seorang ibu juga,” imbuhnya.

Baca juga : Yayasan Puan Amal Hayati Gelar Dialog Pencegahan Sunat Perempuan, Dibuka Ulama Sinta Nuriyah Wahid

Fakta ini jelas memberikan sinyal bahwa perjuangan menuntaskan penyunatan perempuan menempuh jalan terjal yang panjang. Tidak mudah. Perlu kiranya, sinergi antara pemerintah, pemuka agama, hingga di sektor-sektor lain.

Sebelumnya, Puan Amal Hayati pada pertengahan tahun 2024 bekerjasama dengan UNFPA telah melakukan kajian kritis terhadap masalah ini. Terutama mengoreksi dan menelisik kembali teks-teks keagamaan tentang dalil pembolehan penyunatan terhadap perempuan.

Kabar baiknya, setelah perjuangan panjang menuntut hak dan jaminan atas hal-hal yang melukai tubuh perempuan membuahkan hasil. Pemerintah menurunkan PP PP No.28/2024 yang isinya adalah “Pelarangan untuk melakukan Khitan Perempuan”. Tentu ini kabar baik, tetapi apakah perjuangan berhenti sampai di sini?

Hukum Penyunatan Perempuan ?

“Dalam Islam hukum khitan laki-laki dan perempuan hukumnya berbeda-beda. Khita laki-laki wajib sebagaimana disepakati ulama fiqh. Tapi kalau perempuan ada perbedaan mazhab”. ujar Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar.

Menag meminta untuk memutuskan mata rantai penyunatan terhadap anak. Penyunatan perempuan sama halnya menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Padahal laki-laki dan perempuan sama setara.

“Khitan perempuan ini sangat tidak manusiawi, padahal perempuan juga berhak menikmati kenikmatan biologis, tidak ada beda antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kepuasan,” ujarnya.

Sementara Moqsith Gozali menyampaikan hasil keputusan lembaga fatwa Keagamaan Mesir, yang dengan tegas melarang khitan perempuan.

“Bahwa Rasulullah tidak pernah menkhitankan anak-anak perempuannya,” ujarnya tegas.

Bahkan ia melanjutkan, praktik khitan terhadap perempuan adalah tindak kriminal. Khitan melukai tubuh perempuan dan merampas hak asasinya sebagai manusia. Ini sangatlah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dengan maqosid syariah.

Baca juga : Khitan Perempuan: Ditinjau dari Dalil Agama dan Tradisi

“Praktik khitan terhadap perempua adalah tindakan kriminal, karenanya maka wajib untuk ada tindakan membayar diyadh atau sangsi hukum bagi orang yang mengkhitan perempuan,” tutur Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta tersebut. Tak hanya itu, lembaga Fatwa Mesir juga melarang tegas agar praktik-praktik khitan perempuan tidak terlaksana.

Menurutnya, ulama Indonesia saat ini belum memiliki keberanian untuk memfatwakan haram hukumnya khitan kepada perempuan karena masih merujuk kepada ulama-ulama klasik.

Acara seminar nasional tersebut dihadiri oleh Menteri Agama KH Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA) Veronica Tan, KH Ulil Abshar Abdalla, KH Abdul Moqsith Ghazali, dan Sekretaris Bidang Politik Kedutaan Besar Belanda Zilla Boyer.