Kemenangan Trump, Berakhirnya Era Progresif?

Kemenangan Trump, Berakhirnya Era Progresif?

Kemenangan Trump, Berakhirnya Era Progresif?

Kemenangan Trump dan para pemimpin sejenisnya di berbagai negara menandai sebuah era. Sebagian menyebutnya sebagai krisis demokrasi liberal, sebagian lagi mengatakannya sebagai krisis kapitalisme neoliberal, dan istilah-istilah lainnya.

Apapun itu, cukup pasti sebuah era yang merayakan progresivitas tampaknya akan segera berakhir.

Dalam kamus bahasa, progresif merujuk pada ide-ide atau kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan kemajuan. Pengertian ini merangkum semua cita-cita yang pernah dan sedang terpikirkan oleh filsafat Barat modern; sesuatu yang kemudian diterjemahkan ke dalam proyek-proyek politik kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas.

Ujungnya adalah terbentuknya suatu tatanan kemanusiaan universal yang damai dan abadi selamanya.

Akan tetapi, bahkan sejak awal, progresif adalah sebuah utopia. Baik yang mengambil jalan Kiri maupun Kanan, progresif pada dasarnya adalah metafisika Barat Pencerahan yang terlihat aneh di hadapan keragaman kultural dan ketimpangan ekonomi.

Ia adalah imajinasi kaum borjuis Eropa pasca-Revolusi Perancis yang memandang dunia hanya dari obrolan kedai-kedai kopi di jalanan kota Paris atau London akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Ketika dibawa ke negeri-negeri non-Eropa, tentu melalui imperialisme dan kolonialisme, ide-ide progresif dilembagakan dalam bentuk negara-bangsa modern. Indonesia adalah salah satu contoh realiasasi sempurna dari ide-ide itu.

Seperti tercetus dalam Sumpah Pemuda 1928, Indonesia adalah sebuah entitas yang sangat progresif karena mampu melampaui primordialisme agama dan bahasa sebelumnya.

Selama berabad-abad kita belajar menerima mimpi-mimpi kemoderenan tersebut. Pada saat yang sama, fakta bahwa kita beragam secara kultural dan timpang secara ekonomi ditutupi dengan keyakinan akan adanya janji pembangunan untuk mengatasi semua hal itu.

Melalui pembangunan, progresivitas akan menemukan kebenarannya.

Belakangan kenyataan bahwa, misalnya, sebagian besar negara Barat tidak rela terhadap pendirian negara Palestina yang merdeka memperlihatkan bahwa ide-ide dan kekuatan-kekuatan kemajuan yang terkandung dalam narasi progresivitas tidak pernah dibuat untuk semua.

Orang-orang beragama yang dianggap radikal atau orang-orang miskin yang dianggap malas akan ditinggal di belakang.

Dunia harus tetap milik orang kulit putih, laki-laki, kaya, dan sekuler.