Al-Quran dan Budaya Sastra Orang Sunda

Al-Quran dan Budaya Sastra Orang Sunda

Al-Quran dan Budaya Sastra Orang Sunda

Dalam khazanah keberagamaan sunda abad ke 16 -19 M, kajian-kajian fiqh dan tafsir di tanah priangan dapat dikatakan baru muncul belakangan. Hal ini terjadi setelah munculnya pengaruh ulama-ulama syariat dari jaringan timur tengah seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (1897) yang sangat luar biasa di era tersebut.

Tetapi di masa-masa yang jauh lebih awal dari itu, orang-orang sunda justru jauh lebih senang mendalami agama melalui pintu pintu tasawuf dan sastra. Oleh karenanya karya-karya puisi sunda seperti guguritan, wawacan dan pupujian di abad 16-19-an lebih banyak berisi narasi-narasi spritual alih-alih genre romansa atau mitologi seperti yang banyak ditemukan sekarang.

Sebagian ahli yang lain mengatakan bahwa kemunculan-kemunculan puisi-puisi tersebut justru merupakan produk agama/produk manifestasi keagamaan, dimana itu semua merupakan suatu ekspresi spiritual yang digemari masyarakat sunda di kala itu. Fenomena seperti ini kemudian memengaruhi sedikit banyak dinamika akulturasi budaya dan agama yang terjadi di tanah pasundan sampai saat ini. (Ummu Salamah, 2001) 

Dalam perkembangannya di kemudian hari,  fenomena-fenomena akulturasi agama dan budaya seperti itu juga muncul di dalam naskah-naskah keagamaan seperti kitab -kitab terjemahan dan tafsir Al-Quran berbahasa sunda yang marak muncul sekitar abad ke 19 M. 

Berbeda dengan kitab tafsir kebanyakan atau kitab terjemahan, yang umumnya berbentuk prosa, sebagian tafsir sunda seperti berikut, justru menggunakan bentuk puisi sebagai suatu ‘ekspresi spiritual’-nya, khususnya dalam merenungi pesan-pesan kitab suci.

Makna Surat al-Lahab

Ieu Sundana Surat Tabbat

Jalma rugi teu mangpaat

Abi Lahab anu kasebat

Anu pegat tina rahmat

 Abi Lahab, Muawiyah

Duanana ngabarantah

Ngamusuh kabeh ka Allah

Tinggal Ibadah ka Allah

 

Salah satu contoh terjemahan puitis sunda QS al-Lahab abad 19 M hasil invetarisasi Yus Rusyana

Hal seperti ini misalnya dapat dilihat dari munculnya kitab tafsir Soerat al-Baqarah (1949) karya R.A.A Wiranata koesoemah dan R.A.A Soerimihardja yang menggunakan metode guguritan didalam metode kepenulisan tafsirnya. Selain itu, terdapat pula tafsir Nadhoman Nurul Hikmah (1980) yang menggunakan metode pupujian. Baik guguritan maupun pupujian, keduanya merupakan cerminan kesusastraan sunda.   

Banyak sekali perkawinan budaya dan agama dalam teks-teks keagamaan masyarakat Sunda kala itu. Ini pun baru tafsir, jika diluaskan lagi pada kajian Al-Quran, tentulah bentuk-bentuk terjemahan Al-Quran jauh lebih banyak lagi. Sekurang-kurangnya terdapat sembilan belas kitab terjemahan yang menggunakan metode sastra kesundaan terhitung dari era abad ke 18-sampai 20. (Jajang A. Rohmana, 2015)

Kehadiran semua karya-karya ini menunjukan bahwa relasi antara agama dan budaya di tanah priangan mengalami keeratan yang cukup hangat antara satu sama lain. Selain itu, jelaslah disini bahwa tafsir bukan lah sekedar naskah keagamaan semata, melainkan juga mewujud menjadi media akulturasi agama dan budaya.

Tafsir Berbentuk Puisi Bukanlah Hal Yang Baru Bagi Kalangan Priangan

Fenomena tafsir pupujian seperti ini mengindikasikan bahwa tafsir berbentuk puisi bukanlah hal yang sepenuhnya baru didalam sejarah tafsir Indonesia.  Sementara ini sebagian orang meyakini bahwa tafsir dengan corak tersebut baru dilahirkan semenjak maraknya kontroversi karya puisi al-Quran H.B Jassin di tahun 1980-an. Padahal di saat yang bersamaan, bahkan jauh sebelum Jassin, Tafsir berbentuk sastra seperti ini sudah hadir beberapa abad sebelumnya di tataran masyarakat sunda.

Para penulis tafsir puitis sunda di masa itu, umumnya meyakini bahwa sajian sastra dalam kajian Al-Quran yang mereka lakukan adalah dalam rangka memberikan sentuhan emosional tersendiri bagi para pembaca. Pada tahap lanjutannya bisa lebih meresapi pesan-pesan yang hendak disampaikan kitab suci tersebut. (Jajang A Rohmana, 2015) Dalam pembukaan muqaddimah kitab tafsirnya, salah satu penafsir sunda K.H.R Ahmad Dimyathi menyampaikan suatu ungkapan berikut:

كتاب البيين الاجلى والاحلى في تفسير سورة الاعلى بسا سوندا ݞݞڳو زندك تدك فرواكنتي ….دي  اتورجرا فرواكنتي تيه, سجبنا عره لوعسوݞ مجنا , كلعبرا جع مكى راوس دى دعوكن ننا تيه , ايت عره رعكس

Kitab at Tabyin ajla wa ahla fi tafsir surat al a’la basa sunda nganggo reundeuk teudak purwakanthi….. Diatur cara purwakanthi teh, sajabana ngarah langsung macana, kalangbara jeung make raos di dangukeun nana teh, eta ngarah ringkeus.

Artinya, “Kitab saya, at Tabyin ajla wa ahla fi tafsir surat al a’la (menggunakan) bahasa Sunda dengan metode purwakanthi… Diatur dengan metode purwakanti itu, agar efektif membacanya, meresapi dan nikmat untuk didengarkannya, itu (semua) agar ringkas.”

Purwakanti sendiri diketahui sebagai suatu bentuk metode penulisan kesusastraan Sunda yang banyak diminati masyarakat Sunda kala itu. Namun meskipun begitu, maraknya karya-karya sastra Sunda yang berkaitan dengan tafsir Al-Quran bukan tanpa ada tantangan dalam pembuatannya. Di satu sisi Diperlukan ketelitian yang cukup tinggi bagi mufassir sunda agar bisa menghasilkan pesan-pesan al-Quran, tetapi juga tidak meninggalkan kaidah-kaidah kesusastraan Sunda (seperti pupuh) di sisi yang lain.

Oleh karenanya, bagi salah satu peneliti tafsir Nusantara Jajang Rohmana, ia mengungkapkan bahwa persoalan tafsir puitis Sunda seperti ini adalah suatu persoalan yang cukup kompleks dan tidak mudah. Dibutuhkan keahlian tersendiri bagi sang penafsir dalam meramu kata untuk kemudian disesuaikan dengan irama, akhiran kata dan jumlah baris/larik.

(AN)