“Apa yang terjadi jika tetangga, teman-teman, dan orang-orang terdekat yang kamu kenal di hidupmu di suatu waktu tiba-tiba berkonflik, saling membenci, dan bahkan saling membunuh satu sama lain?”
Kamu mungkin menganggap situasi ini terlalu absurd untuk benar-benar terjadi karena mana mungkin seorang teman bisa berubah menjadi seseorang yang sangat bengis?
Kamu tahu bahwa pertemanan selain memberikan perasaan senang juga bisa menghasilkan “tangis” oleh sebab kekecewaan terhadap si teman yang melakukan kesalahan atau lupa bayar utang, namun, jika seorang teman tiba-tiba bersikap “bengis”, hingga berani melakukan kekerasan, rasa-rasanya itu terlalu ekstrem dan berlebihan.
Nyatanya, situasi yang terdengar ekstrem dan berlebihan ini benar-benar terjadi.
Amartya Sen, seorang ekonomi dan peraih nobel adalah salah satu saksi mata kejadiannya. Dalam bukunya yang berjudul “Identity and Violence: The Illusion of Destiny” (2006), Sen menceritakan pengalaman masa kecilnya ketika terjadi kerusuhan antara kelompok Hindu-Muslim di India di tahun 1947.
Sen kecil menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarnya tiba-tiba saling membunuh akibat konstelasi politik yang saat itu sama sekali tidak ia pahami. Kata Sen, “di bulan Januari, kami adalah warga India yang hidup rukun, tetapi di bulan Juli, kami tiba-tiba dilihat sebagai seorang muslim-hindu yang saling membenci satu sama lain”.
Rupanya, apa yang disaksikan Sen kecil disaksikan juga oleh anak-anak lain di Rwanda dalam konflik sipil antara suku Hutu-dan Tutsi yang menyebabkan terbantainya 800 ribu orang suku Tutsi di bulan April 1994.
Tetangg, teman, dan sahabat yang awalnya adalah seorang warga negara Rwanda biasa, dalam 100 hari tiba-tiba bukan lagi seorang warga Rwanda, melainkan seorang Hutu yang merupakan etnis mayoritas, atau seorang Tutsi minoritas yang harus dibantai dan kalau perlu, ‘dihabiskan’.
Tanpa harus berkaca jauh ke India dan Rwanda, Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang terkait konflik kekerasan akibat identitas yang berbeda. Jika kamu ingat, Indonesia pernah punya sejarah berdarah yang sangat brutal seperti kerusuhan 1998 yang melibatkan penjarahan, perkosaan, dan pembunuhan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia oleh kelompok yang mengatasnamakan pribumi.
Ada juga konflik Poso di tahun 1998-2001 antara pemeluk agama islam dan Kristen, konflik Ambon, konflik Sampang, konflik Sambas, dan masih banyak konflik lainnya, you name it!
Di tahun 2023 ini, mungkin sudah jarang kita dengar konflik identitas yang pecah menjadi kekerasan. Namun begitu, bukan berarti konflik identitas sudah hilang sama sekali.
Jika kita perhatikan, masih ada konflik identitas yang terlihat terjadi di sana-sini, juga ada konflik yang sifatnya masih laten—tidak nampak, tersembunyi, seakan-akan tidak ada konflik, padahal sangat ada!
Salah satu konflik identitas yang nampak sekaligus laten di Indonesia adalah konflik identitas agama. Di tahun 2022 saja, menurut laporan yang dirilis oleh SETARA Institut, tercatat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Itu yang nampak. Yang tidak nampak, bisa jadi lebih banyak lagi, melihat masih ada sentimen/stigma/prasangka negatif yang dimiliki oleh pemeluk agama berbeda di Indonesia
Kenapa Identitas Keagamaan di Indonesia Menimbulkan Konflik?
Jeremy Menchik, seorang Associate Professor di Universitas Boston pernah menulis mengenai Indonesia dalam sebuah makalah akademik berjudul “Productive intolerance: Godly Nationalism in Indonesia” (2014).
Menchik menganggap Indonesia sebagai negara unik. Sebagai sebuah negara demokrasi yang sekuler, Indonesia tidak mengeksklusikan agama dari ruang publik seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat.
Di Indonesia, agama dianggap sebagai sumber moral yang baik bahkan diakui sebagai bagian integral dari pembentukan Republik. Tetapi, meskipun agama penting di negeri ini, agama tidak serta merta ditetapkan sebagai pedoman utama dalam kehidupan seperti yang diterapkan oleh negara-negara yang menganut teokrasi seperti Iran dan Arab Saudi.
Dalam pandangan Menchik, Indonesia seperti living contradiction, sekuler tapi kok ngurusin agama (utamanya agama islam sebagai mayoritas). Konsekuensi logisnya, agama menjadi identitas yang tidak kalah penting.
Malahan, sering kali identitas agama justru tampak setara dengan identitas kebangsaan. Misalnya, pemerintah dengan menyengaja membranding Indonesia sebagai “negara dengan populasi muslim terbesar” di dunia.
Tak jarang juga, identitas keagamaan ini bersaing dengan identitas kebangsaan ketika bangsa Indonesia vokal terhadap kemerdekaan Palestina atas Israel. Dukungan ini sering kali digambarkan sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama muslim, bukan sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa yang sama-sama pernah dijajah oleh bangsa lain.
Di Indonesia, saking pentingnya posisi agama, meskipun tidak semua orang relijius, dalam tingkat tertentu mereka akan bersatu jika menghadapi isu yang melibatkan masalah-masalah agama. Contoh bercandanya, meskipun tidak salat dan sering minum miras, pantang hukumnya untuk makan babi! Apalagi rendang babi! Itu adalah sebuah penistaan!
Tapi serius, deh, dalam dua dekade terakhir, sudah banyak riset yang menunjukkan semakin pentingnya identitas keagamaan di Indonesia yang terlihat dari menguatnya religiositas dan tren konservatisme agama khususnya di kalangan kelas menengah muslim perkotaan.
Dalam pandangan Vedi Hadiz, Professor Kajian Asia di Universitas Melbourne, di Indonesia sudah mulai ada upaya untuk menjadikan agama sebagai solusi segala permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya masalah pembangunan dan kesejahteraan.
Kelompok populis membingkai Islam sebagai identitas yang dapat menjadi alternatif menyelesaikan masalah ketidakadilan yang terus berlangsung, untuk kemudian menggunakan narasi umat Islam yang terpinggirkan untuk bisa menyatukan berbagai perbedaan identitas seperti kelas, gender, dan ras.
Retorika terkait kesamaan identitas, khususnya identitas agama memang dapat memperkuat ikatan dan membuat umat agama mau melakukan apa pun untuk satu sama lain, melampaui sifat alamiah manusia yang egois.
Kita sering melihat bagaimana satu komunitas bahu-membahu saling membantu ketika menghadapi kesulitan. Tetapi, tidak banyak dibicarakan bahwa, kesamaan identitas, di saat yang bersamaan juga dapat menghasilkan permusuhan dengan kelompok yang berbeda. Kelompok yang sangat religius dan dermawan di negeri ini bisa menjadi kelompok yang sama yang memusuhi dan menolak eksistensi kelompok lain di wilayah mereka.
Upaya Mendamaikan Perbedaan
Sadar nggak sih kalau konflik-konflik identitas terjadi karena individu hanya dilihat berdasarkan satu identitas tunggal, entah itu identitas kesukuan, identitas agama, atau bahkan identitas politik?
Pandangan bahwa individu hanya punya satu identitas ini adalah pandangan yang mengerdilkan identitas manusia yang kompleks—individu sebagai anggota dari berbagai kelompok agama, etnis, budaya, bangsa, selera. Padahal, kita bukan hanya bagian dari satu, melainkan bagian dari keseluruhan kelompok-kelompok tersebut.
Ilusi bahwa manusia hanya punya identitas tunggal membuat kita dikotak-kotakkan ke dalam kotak agama/kotak suku/kotak bangsa saja. Ilusi ini membuat kita terjebak dalam dikotomi “us” vs “them”; kelompok kita vs kelompok liyan.
Dalam konteks identitas agama, ilusi mengenai identitas agama sebagai identitas tunggal seseorang membuat individu menjadi eksklusif. Hal ini tentu menjadi berbahaya jika dibiarkan begitu saja karena dapat membuat individu memiliki sifat fanatik. Orang fanatik menolak untuk berkompromi dan melihat segala hal dalam padangan hitam dan putih. Orang yang fanatik juga berpikiran tertutup dan meremehkan pandangan yang tidak mereka setujui.
Selama ini telah banyak cara digunakan untuk mendamaikan perbedaan identitas keagamaan di Indonesia. Salah satu yang paling populer adalah melakukan upaya dialog lintas-iman, dialog yang melibatkan anggota komunitas-komunitas keagamaan yang ditujukan untuk saling memahami sehingga tidak muncul kebencian di antara satu sama lain.
Ya, betul, dialog lintas iman meningkatkan pemahaman dan hubungan baik di antara kelompok dengan cara memanusiakan kelompok berbeda dengan mempertamukan kelompok yang berbeda secara tatap muka dan dengan memberikan ruang untuk bernegosiasi terkait masalah-masalah yang menyebabkan konflik.
Solusi yang digagas dari kegiatan ini adalah pemahaman bahwa kita, meskipun berbeda, tetap bisa saling co-eksisten, hidup bersama, menghargai perbedaan dan menghormati satu sama lain.
Tetapi, ada satu masalah dalam cara-cara ini yaitu: dialog lintas iman tetap melekatkan identitas agama sebagai identitas tunggal individu tanpa memerhatikan bahwa orang yang berbeda agama, adalah orang yang memiliki kesamaan lain seperti kesamaan ekonomi, sosial, budaya, selera, atau kebiasaan lainnya.
Hal itu membuat kerangka yang digunakan untuk mendamaikan perbedaan sering kali terlalu berfokus pada pemahaman-pemahaman terkait ajaran agama (bagaimana suatu agama memandang agama lain, dst) dan sering kali tidak memasukkan masalah-masalah sistemik, yang sebenarnya menjadi pemicu utama terjadinya konflik di antara kelompok yang berbeda.
Dalam kerangka dialog lintas iman, konflik sektarian di Ambon dan Poso, persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah dan kelompok minoritas lain, akan dibaca sebagai konflik yang disebabkan oleh perselisihan agama.
Dialog antar anggota kelompok agama tentu akan memberikan pemahaman yang lebih baik di antara satu sama lain, dan mendorong untuk hidup saling berdampingan. Tetapi, dialog ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah utama yang sebenarnya mendorong (dan memelihara) konflik agar terus terjadi yaitu: perebutan sumber daya alam, kecemburuan sosial, marginalisasi, perasaan diperlakukan tidak adil, atau hal-hal lain yang menyebabkan seseorang kehilangan martabat/harga diri.
Dari Retorika Co-eksisten menjadi Co-Resisten
Saya pikir sudah saatnya kita bergerak dari narasi-narasi yang menjadikan co-eksistensi sebagai solusi karena co-eksistensi adalah solusi sementara. Co-eksistensi berhenti pada ajakan untuk kelompok-kelompok berbeda agar dapat saling menerima dan mau hidup bersama dalam sistem/status quo yang sebenarnya menguntungkan mayoritas dan tidak memiliki keberpihakan terhadap kelompok yang minoritas.
Sudah saatnya kita bergeser dari ajakan co-eksisten (hidup bersama) menjadi co-resisten (melawan bersama). Co-resisten mengajak kita untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi-kondisi/situasi yang menyebabkan permusuhan.
Dengan melakukan co-resisten, kita akan menyadari bahwa kelompok berbeda bukanlah musuh yang sebenarnya. Sebaliknya mereka yang berbeda dengan kita justru merupakan sekutu dalam upaya perlawanan terhadap musuh bersama/perlawanan untuk mencapai tujuan bersama.
Emangnya apa sih yang bisa kita ‘lawan’ bersama?
Kamu nanyea apa yang bisa dijadikan tujuan buat co-resistensi di Indonesia?
Banyak! Sebut saja korupsi, kekerasan seksual, krisis iklim, diskriminasi, marjinalisasi, dan pemenuhan hak-hak kelompok marginal.
Ada banyak hal yang bisa menjadi kepentingan bersama atau common interest dari berbagai pihak yang berbeda identitas. Co-resistensi mendorong eksklusivisme yang secara alamiah dibentuk oleh kelompok menjadi sebuah upaya untuk mencapai inklusivisme. Dan yang paling penting, co-resistensi bicara soal aksi nyata untuk melakukan sebuah perubahan yang berdampak baik pada semua pihak.
Coba bayangin deh jika anak-anak muda di Indonesia melupakan perbedaan-perbedaan identitas yang mereka punya, berdiri bahu membahu sambil berpegangan tangan untuk melawan ketidakadilan. Kalau kata Soekarno 10 anak muda aja bisa mengguncangkan dunia, coba bayangkan apa yang bisa dilakukan 68.820.000 anak muda Indonesia?