Anak Kecil Jadi Imam Shalat Jama’ah? Simak Dalil Boleh Tidaknya

Anak Kecil Jadi Imam Shalat Jama’ah? Simak Dalil Boleh Tidaknya

Rubrik #tanyaislami adalah ruang berbagi pengetahuan keislaman untuk kalangan awam, menengah, maupun tingkat lanjut. Kali ini kita membahas boleh tidaknya anak kecil jadi imam shalat jamaah dan sejarah tarawih di bulan Ramadhan.

Anak Kecil Jadi Imam Shalat Jama’ah? Simak Dalil Boleh Tidaknya
Ilustrasi : Alwy (islamidotco)

Dear redaksi Islami.co…

Saya punya dua pertanyaan yang mungkin relevan dengan orang tua masa kini.

Kali, anak saya, berusia 10 tahun (menjelang 11 tahun). Dia belum akil baligh kalau ditinjau dari sudah bermimpi basar (mengeluarkan sperma). Tapi dia ingin sekali menjadi imam saat keluarga kami shalat jamaah.

Tentu saja saya melarangnya. Imamnya sudah tentu saya. Walaupun saya tahu bahwa dalam hal hapalan surah dan penguasaan bahasa Arab, dia jauh lebih pintar dari saya.

Karena sering kali meminta jadi imam, saya jadi penasaran sebetulnya hukumnya bagaimana?

Dari beberapa literatur yang saya baca, dalam shalat wajib tidak diperkenankan. Tapi ada pendapat dalam shalat sunah, diperbolehkan asal makmumnya perempuan (ibunya). Misalnya dalam shalat tarawih (di mana saya kebetulan pas tidak sedang di rumah).

Saya mau bertanya sebetulnya benar atau tidak pendapat tersebut?

Itu pertanyaan pertama.

Kedua, masih dalam hubungannya dengan shalat sunah. Saat bulan Ramadan, bolehkah kita mengganti tarawih dengan shalat qiyamul lail yang lain?

Contoh kasus. Saya sedang kecapekan sehingga tidak melaksanakan shalat tarawih. Saya tertidur.

Ketika bangun, saya merasa sayang jika tidak shalat malam. Karena masih capek, saya tidak melakukan shalat tarawih melainkan shalat tahajud dua rakaat dan shalat witir satu rakaat. Bagaimana dengan hal ini?

Terimakasih, salam hangat,

Puthut EA, Kepala Suku Mojok.co

Jawab

Teruntuk Mas Puthut atau siapa pun yang menemui persoalan serupa …

Kita mulai bahasan kali ini dari pasal paling mendasar. Pada dasarnya, kewajiban shalat hanya berlaku bagi setiap muslim yang sudah baligh. Meski demikian, tidak berarti bahwa shalatnya orang yang belum baligh itu tidak sah.

Terkait pengelompokan usia, hukum fikih mewedarkan dua istilah, yaitu baligh dan tamyiz.

Dalam kitab Safinatun Najah dijelaskan bahwa orang yang sudah baligh memiliki tiga tanda, yaitu telah sempurna berumur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan.

Adapun batasan seorang anak sudah mencapai usia tamyiz atau disebut mumayiz itu bisa diidentifikasi melalui kemampuan untuk makan, minum, dan beristinja’ secara mandiri.

Selain itu, mumayiz tidaknya seseorang juga dapat dilihat dari kemampuan membedakan hal baik dan buruk. Umumnya, seorang anak sudah dinyatakan mumayiz pada usia 7 tahun.

Tentang anak kecil yang menjadi imam shalat berjama’ah bagi orang yang sudah baligh, hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.

Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bernama ‘Amr bin Salamah pernah menjadi imam shalat jamaah, sedangkan ia masih berusia enam tahun. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari berikut:

 كان عمرو بن سلمة يؤم قومه على عهد رسول الله ﷺ وهو ابن ست أو سبع سنين

“Amr bin Salamah mengimami kaumnya di masa Rasulullah SAW, sedangkan dia masih berumur sekitar enam atau tujuh tahun”

Berpegang pada hadis di atas, para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang boleh makmum kepada anak kecil, sejauh sudah tamyiz dan mengerti syarat sah dan rukun shalat.

Meskipun demikian, ada yang menganggap shalat jama’ah dengan bermakmum kepada anak kecil sebagai perkara yang dihukumi makruh. Alasannya, mau bagaimanapun lebih utama mendahulukan orang yang sudah baligh sebagai imam.

Hukum makruh ini berdasar pada tiga mazhab, selain Imam Syafi’i.

Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Fathul Bari karya Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Katanya begini:

إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ الْفَرَائِض

“Kebolehan anak kecil (mumayiz) menjadi imam shalat merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafi’i, dan Ishaq, sedangkan Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara itu, ada dua keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad) adalah sah jika anak kecil jadi imam untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib.

Jadi, yang membolehkan secara mutlak anak kecil menjadi imam shalat adalah ulama Syafi’iyyah. Bahkan dalam pandangan mereka, keabsahan shalat berjama’ah yang diimami oleh anak kecil ini berlaku dalam semua shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunah.

Hanya saja, anak kecil tetap dilarang menjadi imam shalat Jum’at. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba’ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri sebagai berikut:

Ulama Syafi’iyah berpendapat: Orang yang sudah baligh diperbolehkan bermakmum pada anak kecil yang sudah tamyiz dalam shalat fardlu, kecuali dalam permasalahan shalat Jum’at. Maka dalam mengimami shalat Jum’at ini disyaratkan sudah baligh ketika ia termasuk dalam hitungan 40 orang yang mana shalat jum’at menjadi tidak sah tanpa bilangan ini. Ketika jumlah mereka (orang yang melaksanakan shalat Jum’at) lebih dari 40 maka boleh anak kecil yang telah tamyiz menjadi imam mereka”

Dengan demikian, pendapat yang menyebut kebolehan seorang anak kecil menjadi imam shalat adalah benar.

Dan menurut hemat kami, anak kecil tetap boleh menjadi imam shalat (lepas dari aspek gender) sejauh itu merupakan sembahyang sunnah, atau bahkan shalat wajib, dan bukan shalat Jum’at. Apalagi jika motifnya adalah untuk pendidikan karakter atau memfasilitasi tingkat kepercayaan diri seorang anak.

Mengganti Tarawih

Bolehkah kita mengganti tarawih dengan shalat qiyamul lail yang lain? Misal, tahajud.

Jawabnya, boleh.

Pertama, shalat tarawih bukan merupakan sembahyang yang wajib mutlak dilakukan umat Muslim ketika bulan Ramadhan.

Kedua, istilah “tarawih” itu sendiri baru muncul belakangan ketika Sahabat Umar bin Khattab menjadi Khalifah umat Muslim di Madinah.

Dengan kata lain, di masa Nabi Muhammad SAW belum ada istilah tarawih. Yang mafhum pada saat itu adalah sebutan “Qiyamul Lail” atau shalat malam yang dikerjakan setelah shalat isya’ hingga terbit fajar, baik dikerjakan pada bulan ramadhan atau pada selainnya.

Sebuah riwayat yang merujuk pada Sayyidah Aisyah menyebut begini:

    صَلىَّ النَّبِيُّ فيِ المَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلىَّ بِصَلاَتِهِ نَاسُ ثُمَّ صَلىَّ مِنَ القَابِلَةِ وَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ الله # فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ : قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنيِ مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنيِّ خَشِيْتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ ـ قال: وَذَلِكَ فيِ رَمَضَان

Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan shalat, kemudian orang-orang mengikuti shalatnya beliau saat itu juga, dan pada malam selanjutnya sehingga makin banyaklah orang-orang yang mengikutinya. Ketika mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat, Rasulullah SAW ternyata tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya beliau SAW berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali aku khawatir bahwa shalat tersebut akan difardukan.” Perawi hadits berkata bahwa “hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan. (HR Bukhari).

Barulah setelah Rasulullah SAW wafat, ibadah malam di bulan ramadhan dilaksanakan sendiri-sendiri oleh para sahabat.

Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, beliau memberi instruksi agar ibadah malam yang sering dilakukan sendiri-sendiri itu dirubah menjadi berjamaah dengan Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya.

Dalam pelaksanaanya, Sahabat Umar mengumpulkan jamaah shalat malam ramadhan dengan jumlah 20 rakaat yang, setiap selesai empat rakaat (dua kali salam), mereka semua istirahat dari shalat dan melakukan thawaf.

Hal itu secara kontinyu dilakukan oleh penduduk Makah kala itu, dan tidak terdengar ada sahabat yang menentang pendapat Umar ini.

Nah, istirahat dari setiap selesainya empat rakaat inilah yang kelak dikenal dengan istilah “tarwihah” atau istirahat. Demikian Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menuliskan.

Karena ada banyak tarwihah (istirahat) dalam shalat tersebut, sembahyang ini kemudian disebut dengan tarawih. Dari sinilah muncul istilah tarawih. Selebihnya shalat ini juga disebut dengan shalat malam atau, setidaknya, ia adalah bagian dari shalat malam.

Wallahu a’lam [AK/HF]