Perkembangan kaligrafi dalam peradaban Islam berkaitan erat dengan kreativitas umat muslim dan fungsi mushaf Al-Qur’an saat itu. Mushaf Al-Qur’an ditinjau dari segi fungsi ternyata meluas bukan hanya sebagai media membaca dan belajar saja, melainkan juga sebagai simbol seni yang dibanggakan.
Kaligrafi atau tulisan indah dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah khat. Secara umum, perkembangan kaligrafi era klasik lebih pada perkembangan tanda baca titik, ornamen, pewarnaan, dan lainnya. Gaya kaligrafi yang berkembang mulai era Nabi Muhammad hingga Dinasti Abbasiyah masih didominasi dengan gaya kaku dan bersudut, sampai Ibnu Muqlah mencetuskan standar kaligrafi yang lebih lentur.
Biografi Singkat Ibnu Muqlah
Nama lengkap Ibnu Muqlah adalah Muhammad Abu Ali bin Ali bin al-Hasan bin Abdullah bin Muqlah. Ia lahir di Baghdad pada tahun 272 H atau 886 M dari seorang penulis mushaf Al-Qur’an dan ahli di bidang kaligrafi. Dari didikan keluarga inilah darah seni dan kepiawaiannya menggoreskan mata pena semakin terasah. Di tambah lagi, Ibnu Muqlah hidup setelah Dinasti Abbasiyah mengalami era golden age yang terbuka di bidang ilmu pengetahuan. Kaligrafi standar yang dicetuskan olehnya terpengaruh oleh wawasannya di bidang matematika, khususnya geometri.
Ibnu Muqlah (w.328H/936M) merupakan tokoh penting dalam lanskap kesenian dan peradaban Islam. Ia dikenal sebagai imam para kaligrafer (Imam al-Khatatin) karena berhasil mencetuskan rumus standar estetika kaligrafi. Standar kaligrafi yang ia cetuskan itu benar-benar signifikan dampaknya, hingga kini semua umat muslim pun merasakannya. Dalam kitab Kasyfuz Zhunnun, Mustafa Abdullah Haji Khalifah menyebutkan bahwa diakarkannya kaligrafi kepada Ibnu Muqlah adalah lantaran ia merupakan orang pertama yang populer berkat kaligrafi.
Khat Mansub: Standar Kaligrafi Berbasis Geometri
Philip K. Hitti mencatat bahwa Baitul Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Al-Ma’mun (w. 830 M) menjadi pusat peradaban yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan, penerjemahan, hingga observatorium sains yang mumpuni. Adanya pusat keilmuan yang menandai era keemasan itu berdampak pada kemajuan diskursus ragam keilmuan. Inilah yang kemudian dirasakan oleh Ibnu Muqlah dan membentuk cakrawalanya.
Cakrawala yang dimiliki oleh Ibnu Muqlah baik di bidang seni maupun geometri didukung penuh oleh semangat pengembangan kaligrafi untuk umat Islam. Sebelum era Ibnu Muqlah ada problem yang meliputi seni tulis indah ini. Beberapa riset seperti catatan Sheila S. Blair dalam Islamic Calligraphy menunjukkan bahwa Ibnu Muqlah berhasil membuat terobosan di tengah minimnya gaya kursif/lentur dalam tradisi tulis Arab. Selain itu, ada ketidaktepatan proporsi antara goresan mata pena dan kertas/media saat itu.
Gaya kursif yang dicetuskan oleh Ibnu Muqlah adalah khat naskhi dan khat tsuluts. Dua khat ini adalah pilihan alternatif dari gaya lama yang cenderung kaku yang disebut sebagai khat kufi. Khat naskhi sendiri paling banyak digunakan dalam tradisi Islam hingga saat ini, misalnya untuk menulis mushaf Al-Qur’an, kitab-kitab klasik dan kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana namanya, khat naskhi menjadi preferensi yang unggul untuk menulis naskah apapun daripada khat lainnya. Sementara khat tsuluts, paling mudah ditemui untuk judul kitab, hiasan dinding masjid dan lainnya. Penulisan khat naskhi dominan untuk media yang kecil, sementara khat tsuluts dominan untuk media yang besar.
Dalam penerapan media besar dan kecil ini, tentu ada perhitungan yang menjadi standar ukuran proporsinya. Mudahnya, karya kaligrafi dengan media kertas yang kecil dan media apapun yang lebih besar menggunakan mata pena yang berbeda pula. Dari sini kepiawaian Ibnu Muqlah di bidang geometri pun dimaksimalkan. Ia menemukan tata cara menulis dengan ukuran huruf (mizan al-huruf) yang detail dan tepat. Melalui ukuran huruf tersebut, ragam bentuk huruf, tebal-tipis, miring-tegak, tinggi-rendah, lengkungan dan hal detail lainnya bisa digoreskan dengan sempurna.
Rangkaian dan hasil penerapan Mizan al-huruf itu kemudian disebut sebagai khat mansub atau kaligrafi berstandar. Standar ini meliputi dari standar titik, standar alif, dan standar lingkaran. Standar titik maksudnya adalah titik mata pena yang ketika digoreskan menjadi bentuk segi empat belah ketupat. Sementara standar alif merupakan patokan awal untuk melanjutkan huruf-huruf lainnya yang digores dalam suatu media. Misalnya begini, standar huruf alif adalah lima titik. Maka berapapun ukuran mata pena, baik 2 cm hingga 10 cm akan diukur dengan lima titik sesuai dengan mata pena yang digunakan. Bisa dilihat contoh berikut:
Sementara standar lingkaran yang dimaksud oleh Ibnu Muqlah adalah suatu lingkaran yang digunakan untuk mempertimbangkan panjang, lebar dan kelenturan suatu huruf. Misalnya lingkaran untuk mengukur lengkungan goresan depan dan ekor huruf ba’ berikut ini:
Selain dari standar-standar di atas, keindahan goresan juga berdampak pada tingkat kelancaran (irsal), tingkat kesempurnaan (ikmal), tingkat ketuntasan (itmam), dan tingkat kepadatan (isyba’) yang berhasil digoreskan oleh sang kaligrafer. Temuan Ibnu Muqlah tersebut kemudian menjadi bahan patokan dan terus dikembangkan oleh para kaligrafer berikutnya hingga sekarang.
Menjadi Menteri dan Korban Politik Oposisi
Kesuksesan dan nama harum Ibnu Muqlah di bidang kaligrafi sebenarnya juga diiringi karier naik turun di bidang politik, namun di akhir hayatnya ia menjadi korban lawan politiknya. Banyak sejarawan yang menulis tentang karier politiknya. Ali Fitriana dalam kajiannya menyebut beberapa penulis seperti Ahmad Syauhan dengan kitab Rihlat al-Khat al-Arab min al-Musnad ila al-Hadits, Mahmud Syakir dengan kitab at-Tarikh al-Islami, Muhammad bin al-‘Umroni dengan kitab al-Inba’ fi Tarikh al-Khulafa, dan lainnya.
Beberapa penulis itu menyampaikan bahwa Ibnu Muqlah pernah menjadi menteri di tiga era khalifah Dinasti Abbasiyah yang berbeda dan berurutan. Pertama adalah era Khalifah al-Muqtadir (w.320), di era ini Ibnu Muqlah mulai bekerja sebagai petugas pajak di salah stau wilayah Persia. Karena memiliki reputasi yang bagus, ia diangkat sebagai sekretaris pribadi oleh salah satu pejabat yaitu Ibnu al-Furat hingga di level Kementerian.
Karena bersinggungan dengan atasannya itu, Ibnu Muqlah pun dimasukkan penjara. Setelah keluar, ia juga dekat dengan orang kepercayaan Khalifah al-Muqtadir, hingga menjadi seorang Menteri dari tahun 316-318 H. Ia pun tidak menjabat lama dan dicopot oleh Sang Khalifah.
Di era khalifah berikutnya yaitu al-Qahir (w.339), Ibnu Muqlah juga diangkat sebagai Menteri. Namun, di era ini ia hanya menjabat satu tahun karena dinilai akan berlawanan dengan sang khalifah. Pemerintahan pun mencari Ibnu Muqlah dan orang-orang yang berseberangan. Beruntunhnya, ia berhasil sembunyi dari pengejaran. Hanya saja, rumahnya dibakar oleh pemerintah saat itu.
Kemudian di era al-Radhi (w.329), Ibnu Muqlah juga diangkat menjadi menteri dari tahun 322-324 H. Singkatnya, Ia dinilai turut andil dalam krisis yang melanda saat itu, tepatnya tahun 324 H. Ia dihukum dan mendapat perlakuan buruk dari lawan politiknya, Ibnu Raiq, seorang tangan kanan Khalifah al-Radhi.
Naas, Ibnu Muqlah sampai mendapatkan hukum potong tangan atas vonis tersebut. Tak tinggal diam, ia mencoba menyurati sang khalifah untuk bisa menemukan titik terang dan menyebut bahwa pendapat lisannya masih bisa berguna untuk pemerintahan. Sayangnya, khalifah justru semakin geram dan Ibnu Raiq turut memotong lidah sang kaligrafer. Dalam beberapa waktu kemudian, Ibnu Muqlah pun wafat dalam dekapan penjara. Didin Sirojuddin AR. menyebut perjalanan hidup Ibnu Muqlah dengan “Serba Tiga”: Tiga kali menjadi perdana menteri; hidup bersama tiga orang khalifah; dikuburkan tiga kali; berjasa menciptakan tiga standar penulisan kaligrafi. Wallahu A’lam
[NH]