Pekan lalu, pemerintah Taliban di Afganistan menambahkan daftar hal terlarang yang memicu kontroversi. Perempuan di sana tidak boleh berkuliah atau bekerja di organisasi non-pemerintah (LSM). Aturan tersebut diterbitkan untuk mencegah percampuran gender di ruang publik.
Selain itu, alasan di balik larangan perempuan Afganistan bekerja di LSM karena sejumlah pegawai dianggap tidak mematuhi interpretasi tentang aturan berpakaian islami bagi perempuan.
Pemerintah Taliban juga menilai beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus melanggar prinsip Islam. Pelajaran pertanian dan teknik yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Afganistan. Taliban beranggapan jika pelajaran untuk anak perempuan tidaklah berada di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afganistan.
Sudah jadi identitas bahwa Taliban secara luas menerapkan interpretasi hukum Islam atau Syariah, yang konservatif, secara ketat kepada rakyat Afganistan. Persoalannya, penetapan hukum tersebut memicu kemunduran hak asasi manusia di sana.
Selain reduksi hak-hak perempuan di ruang publik, seperti akses keluar rumah yang wajib didampingi muhrim, cara berpakaian, sekolah, dan lainnya, pelanggaran hak asasi manusia oleh Taliban juga masuk ke soal lain.
Beberapa di antaranya adalah:
1) pembunuhan balasan atau pembunuhan tanpa proses hukum, sedikitnya ada 160 kasus pembunuhan terhadap mantan anggota Pasukan Keamanan dan Pertahanan Pemerintah Afganistan hingga Juni 2022. 2) Persekusi umat minoritas seperti etnis Hazara yang tidak menganut agama Islam. 3) Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyebutkan sekitar 9,2 juta anak menderita kekurangan gizi. Sementara banyak keluarga menerapkan cara bertahan hidup yang berbahaya, termasuk menjual anak, menikahkan anak di bawah umur, dan mempekerjakan mereka. 4) Hak untuk melaporkan berita secara independen sangat dibatasi. Peraturan semena-mena digunakan untuk menyensor, melecehkan, dan mengintimidasi jurnalis. Banyak jurnalis yang tewas dan lebih dari 100 jurnalis ditahan.
Aturan-aturan yang diterapkan Taliban banyak memunculkan kecaman di antara warga Afganistan dan berbagai organisasi internasional. Wakil kepala misi PBB di Afganistan, Potzel Markus, pada 1 Januari lalu bertemu dengan wakil perdana menteri Taliban, Maulvi Abdul Salam Hanafi, di Kabul untuk membahas larangan perempuan bekerja untuk kelompok non-pemerintah (LSM) milik asing dan pembatasan hak perempuan Afganistan untuk mengakses perguruan tinggi.
Menurut Markus, aturan pelarangan perempuan bekerja di LSM dan menolak perempuan mengenyam pendidikan dan pelatihan merugikan jutaan orang di Afganistan, serta mencegah pengiriman bantuan penting kepada masyarakat di sana, menjadikannya ‘terputus’ dari dunia internasional.
Taliban gagal memenuhi janji mereka untuk menjadi inklusif, dan menghargai hak-hak manusia. Ketimpangan hak asasi manusia yang terjadi di Afganistan membuatnya dijatuhi sanksi oleh komunitas Internasional. Sanksi tersebut, antara lain, berupa penghentian transfer bank dan pembekuan aset asing Afganistan, yang membuat perekonomian di sana tumbang.
Penghapusan Perempuan di Ruang Publik
Taliban mengeluarkan berbagai macam peraturan yang memberatkan perempuan seperti kewajiban memakai niqab, larangan ke sekolah, larangan perjalanan 75km dan harus pergi dengan muhrim, pembungkaman media, dan lain-lain. Peraturan tersebut diberlakukan, alih-alih, sebagai perintah Tuhan bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh bersama. Taliban justru menghapus peran perempuan di ruang publik Afganistan dengan menggunakan jubah agama untuk melegitimasi aturan-aturan mereka. Padahal, sejatinya Islam membawa prinsip rahmatan lil alamin yakni kemaslahatan seluruh makhluk.
Misi kemaslahatan ini hanya akan mewujud pada semua manusia dan semesta jika relasi yang dibentuk didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Manusia sebagai bagian dari alam bukanlah pusat semesta, lalu jadi rakus dominatif, dan hegemonik. Semua individu, baik laki-laki dan perempuan satu sama lain berpikir, bersikap, dan bertindah saling menghadirkan kebaikan.
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia, laki-laki dan perempuan, telah dianugerahi akal budi dan jiwa raga oleh Allah SWT yang membuatnya kompeten dan kapabel dalam mengemban peran tersebut. Seharusnya, pandangan keagamaan dan aturan yang di keluarkan Taliban, jika memang mengatasnamakan kemaslahatan umat, tidak mematik kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan.
Dari sini, aturan yang mengarah pada penghapusan peran perempuan di ruang publik bukanlah soal agama melainkan hal lain. Ini seperti diungkap Soraya Peykan, bekas professor di Universitas Kabul. Ia meyakini pertukaran informal dan terbatas antara dunia internasional dan Taliban berpotensi terputus jika pembatasan terhadap hak sipil terus dilanjutkan. Menurutnya, Taliban sengaja memberangus hak dasar seperti hak bersekolah bagi anak perempuan sebagai sandera politik. Jadi menggunakan hak-hak tersebut sebagai alat untuk memperkuat posisinya dalam negosiasi.
Perempuan di Bawah Opresi Taliban
Di bawah sistem patriarki akut yang dianut Taliban, perempuan dan anak perempuan ‘langsung’ menghilang dari segala lapisan kehidupan publik. Kemunduran hak asasi manusia di Taliban yang menyasar perempuan tentu menjadi momok bagi perempuan di Afganistan.
Pengamalan proses politik Taliban yang tidak inklusif lantaran (sama sekali) tak mengikutkan perempuan dalam kelompok pengambilan keputusan prihal aturan wilayah mereka, seolah menutup pintu bagi perempuan untuk coba ikut andil dalam kebijakan melalui jalan lembaga negara.
Sikap protes dan demonstrasi yang dilakukan pun hampir tidak memiliki signifikansi, dan malah membuat mudarat bagi warga Afganistan. Pasalnya, banyak pembela hak perempuan yang dilecehkan, ditahan, dan diperlakukan buruk karena melakukan protes, meski protes tersebut dilakukan secara damai. Lainnya menjadi korban kekerasan, dihilangkan secara paksa dan disiksa.
Hidup di Afganistan di bawah rezim Taliban bagi perempuan memang tidak mudah. Maka, tak heran jika banyak imigran yang sengaja ‘lari’ dari Afganistan ke negara tetangga, Pakistan. Meski harus menerima cap sebagai ‘pengkhianat’ dengan pertaruhan nyawa, tapi itulah salah satu perjuangan demi hidup mereka.
Mengutip perkataan Malala Yousafzei, “Bagi saya, moral dari cerita ini adalah bahwa akan selalu ada rintangan dalam hidup. Tetapi, jika Anda ingin mencapai suatu tujuan, maka Anda harus melanjutkannya”.