Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan tanpa alasan medis sudah dilarang oleh WHO. Namun, praktek tersebut masih banyak dijumpai, seperti yang dialami oleh seorang perempuan asal Gorontalo ini.
“Semua perempuan di Gorontalo di-khitan, termasuk saya. Ini sudah turun-temurun, katanya untuk kepentingan laki-laki. Ketika ditanya, ayah nggak tahu, dan ibu menyuruh supaya jangan bertanya karena sudah budaya”, ucap seorang perempuan dari Gorontalo dalam diskusi Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) di Jepara, 25 November 2022. Sepersekian detik setelah mendengarnya, aku terdiam dan merasakan ngeri.
Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tanpa alasan medis, atau sunat perempuan sampai saat ini masih dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia, padahal sudah dilarang oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Sunat perempuan nggak memberikan manfaat, tapi malah membahayakan perempuan. Bagaimana tidak? Pemotongan sebagian atau seluruh alat reproduksi perempuan ini mengakibatkan trauma dan masalah fatal lain, seperti infeksi, kerusakan organ reproduksi, disfungsi seksual, kecacatan, kista kulit, kemandulan, komplikasi, bahkan kematian.
“Saya menyaksikan sepupu-sepupu (perempuan) saya yang masih dua tahun disunat. Mereka belum tahu apa-apa. Nggak tahu rasa dan cara berekspresi. Saya trauma”, ungkap perempuan Gorontalo. Praktik sunat perempuan dilakukan tanpa persetujuan, melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) dan merupakan kekerasan terhadap anak.
Sayangnya, masyarakat di berbagai negara percaya kalau sunat perempuan merupakan upaya penyucian jiwa, untuk mengendalikan nafsu perempuan, kepercayaan kalau bisa melahirkan banyak anak, dan sebuah tradisi. Beragam bahaya sunat perempuan kalah dengan upaya pengaturan perilaku perempuan, narasi agama, dan tradisi yang berkembang.
Praktik Sunat Perempuan di Beberapa Negara
Indonesia
P2GP masih dilangsungkan di daerah Padang, Serang, Kutai Kartanegara, Makassar, Bone, Gorontalo, Madura, Demak dan daerah lain dengan beragam motivasi. Di Demak, Jawa Tengah sunat perempuan dilakukan secara simbolis dengan diganti menggunakan kunyit. Ini masih merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dengan membatasi perilaku. Alasannya untuk mengendalikan nafsu perempuan. Menurut saya, mengerti batasan memang penting, tapi solusi yang ditawarkan yaitu penguatan pendidikan seksualitas komprehensif, bukan malah memotong kulit kelamin perempuan.
Kenya (Afrika Timur)
Di Mombassa, Kenya, sunat perempuan dianggap sebagai ritus peralihan menjadi dewasa. Sunat perempuan dilakukan dengan silet yang sama sekali tidak higienis dan dipakai berkali-kali kepada perempuan. Aduh, bahaya sekali!
Pakistan dan India (Asia Selatan)
Khatna (sunat perempuan) dijalankan oleh Komunitas Muslim Bohra. Masyarakat meyakini bahwa organ-organ tubuh tertentu itu jelek dan tidak murni. Untuk “memurnikan” dan “membersihkan” hasrat seksual perempuan, organ klitoris dipotong.
Kolombia (Amerika Selatan)
Masyarakat Embera mempraktikkan sunat perempuan untuk mencegah alat kelamin anak perempuan tumbuh menjadi laki-laki. Mereka yakin hal itu juga upaya untuk mencegah perselingkuhan.
Rusia dan Georgia (Eropa Timur)
Dalam Komunitas Avar, mereka percaya kalau sunat perempuan dilakukan agar perempuan tidak temperamental dan tidak berselingkuh. Mereka yang belum atau tidak melakukan sunat perempuan dianggap belum menjadi muslim yang suci. Para perempuan masih dianggap lebih lemah dan harus tunduk kepada laki-laki.
Australia
Mutilasi alat kelamin dipraktikkan oleh penduduk Pitta-Patta, Australia. Ketika perempuan menginjak pubertas, anggota suku dari berkumpul dan perempuan yang dituakan dalam masyarakat akan memimpin prosedur sunat perempuan. Lubang vagina diperlebar dengan merobek dengan tiga jari tangan dan tiga sisi lain perineum dipotong menggunakan pisau batu. Ritual tersebut pun diikuti dengan hubungan seksual paksa dengan laki-laki muda.
Saat ini, masih banyak yang menganggap bahaya sunat perempuan bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Para tokoh agama dan petugas medis pun masih melancarkan praktik membahayakan ini. Ada petugas kesehatan baru di daerah yang ditekan, ia disuruh untuk melakukan sunat perempuan.
“Biasanya, sunat perempuan malah dipromosikan, dibumbui informasi menyesatkan, menyudutkan perempuan dan dijadikan satu paket dengan tindik ketika bayi lahir”, menurut beberapa peserta Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Orang tua muda pun masih bingung kalau sunat perempuan itu membahayakan. “Emang nggak boleh, ya?”, kata seorang peserta dari Bandar Lampung yang pernah meneliti mengenai sunat perempuan di daerahnya.
Lalu, Gimana Cara Mengakhiri Praktik Sunat Perempuan?
Pengetahuan mengenai bahaya P2GP atau sunat perempuan ini perlu diintegrasikan dengan kurikulum pendidikan nasional; Melakukan pendampingan untuk pemulihan korban; Melakukan pendekatan antopologis, psikologis, dan medis; Mengakhiri tradisi dengan dukungan dari antargenerasi; Edukasi kepada perempuan agar bisa mengambil keputusan untuk tubuhnya secara mandiri; Membicarakan risiko dan realita sunat perempuan yang memakan korban; Menyebarkan pemahaman kalau agama tidak menuntut untuk melakukan sunat perempuan; Mampu menjawab mitos mengenai sunat perempuan; Kerja sama kolektif, ahli medis, pemerintah, organisasi, dan masyarakat untuk mendorong penghentian sunat perempuan; dan kebijakan tegas berbasis bukti kuat dan implementasi untuk menghentikan sunat perempuan
Sunat perempuan memang masih dipraktikkan oleh berbagai negara. Ini harusnya membuat kita makin semangat untuk berjuang menghentikan tradisi yang diskriminatif, membahayakan psikis dan fisik korban. Sunat perempuan tidak memberikan manfaat, bahkan mengancam nyawa perempuan dan anak.
Kongres Ulama Perempan Indonesia II (KUPI), memutuskan bahwa P2GP atau sunat perempuan haram (terlarang) untuk dilakukan. Semua pihak bertanggung jawab untuk menolak praktik sunat perempuan dengan beragam cara. Tokoh adat, tokoh agama, tenaga kesehatan, dan negara tidak boleh sewenang-wenang menyalahgunakan kekuatan. Bagaimanapun, sunat perempuan harus dihentikan! Semoga, diskriminasi dan penyiksaan terhadap perempuan bisa segera berakhir dan semua manusia mendapatkan keadilan dan kesehatan reproduksi.