Kisah-kisah mengenai kontribusi Azyumardi Azra dalam geliat pemikiran Islam di Indonesia sudah banyak tersiar di berbagai media dan karya-karya ilmiah. Integritas dan daya kritis beliau sudah melahirkan banyak karya fisik maupun non-fisik dalam diskursus nasional maupun internasional. Meski demikian, intelektual Azra yang megah itu tetap terbungkus dalam satu sosok sederhana dalam laku keseharian.
Dalam buku Cerita Azra, Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra, cerita-cerita tentang Azyumardi Azra banyak bertebaran. Ada kisah Azra telat masuk sekolah. Gara-garanya dia dianggap belum cukup umur. Azra tidak bisa menjangkau ujung telinganya. Ada pula tingkah naif yang biasa dilakukannya di kala sakit. Jika terkena migran, kepalanya diikat dengan sapu tangan atau ikat pinggang. Ini dilakukan untuk menahan rasa sakit yang sangat. Satu per satu trajectory kehidupan beliau tersusun menjadi sosok Azyumardi Azra yang sederhana namun gagasannya dikenal dunia.
Seorang peneliti agama dari Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat, James B Hoesterey, dalam acara peluncuran buku Karsa untuk Bangsa: 66 Tahun Sir Azyumardi Azra, CBE, menyebut betapa harum nama Azyumardi sebagai cendekiawan Muslim di luar negeri. Pendapatnya selalu dikutip dalam penelitian ataupun pemberitaan di media massa. Di kalangan peneliti pun ada anggapan bahwa jika sedang meneliti persoalan Islam di Indonesia, mereka harus sowan kepada Azyumardi Azra.
Di tengah kesibukannya belajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai seorang aktivis, beliau menyempatkan diri bekerja sebagai wartawan di majalah Panji Masyarakat (Panjimas) tahun 1979- 1985 yang dirintis oleh Buya Hamka. Di situlah Azra muda kemudian mulai aktif untuk mempertajam pemikiran-pemikirannnya. Ia rajin menulis di berbagai kolom, khusunya artikel. Azumardi juga pernah menempuh karir di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN), yang sekarang LIPI, pada tahun 1982-1983.
Sepotong obituari ini tidak hendak mengkompilasi seluruh kontribus pak Azra di Indonesia maupun di skala global. Karena jika hendak demikian, obituari ini akan berubah menjadi buku karena saking melimpahnya peran-peran beliau.
Salah satu kontribusi penting beliau adalah soal pendidikan nasional. Pak Azra terus mempromosikan pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam yang ramah dan adaptif di tengah arus teknologi informasi menjelang milenium ketiga. Dalam salah satu magnum opus-nya, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, ia mengatakan bahwa dasar-dasar pendidikan Islam secara prinsipil diletakkan pada ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya.
Pak Azra menegaskan bahwa dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah al-Quran dan Sunnah. Menurutnya, al-Quran, salah satunya, memberikan prinsip yang sangat esensial bagi pendidikan, yaitu penghormatan kepada akal manusia, tidak menentang fitrah, serta memelihara relasi sosial.
Saya banyak mempelajari pemikiran-pemikiran beliau. Salah satu benang merah yang saya dapatkan dari dawuh pak Azra tersebut adalah mengenai pemeliharaan relasi antara Islam dengan agama lain. Ia senantiasa mendorong kaum muslimin, khususnya bangsa Indonesia, untuk menciptakan hubungan multinasional dengan menempatkan perdamaian sebagai fundamen utama.
Kerajaan Inggris yang melihat Azra pada waktu itu sebagai tokoh representatif yang menjembatani hubungan antar keyakinan dan peradaban, khususnya antara Indonesia dan Inggris, kemudian memberikan gelar Commander of the Most Excellent Order of British Empire (CBE) kepadanya pada 2010. Gelar CBE diberikan Kerajaan Inggris kepada individu untuk menghargai kontribusi positif yang telah dilakukan di bidang pekerjaan mereka.
“saya itu lebih tinggi dari David Bekcham, karena David Beckham itu gelarnya OBE, Officer of the Most Excellent Order of British Empire. Jika David Beckham adalah prajurit, maka saya adalah panglimanya.” guyon pak Azra di banyak wawancara ketika disinggung soal gelar kehormatan dari Ratu Elizabeth II itu.
Dengan demikian, Prof. Azra pun berhak memakai gelar ‘Sir’ di depan namanya hingga bebas keluar-masuk Inggris tanpa visa. Beliau pun hingga saat ini tercatat sebagai individu pemegang gelar ‘Sir’ pertama dan satu-satunya di Indonesia.
انا لله وانا اليه راجعون
Turut berdukacita atas wafatnya Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Dewan Pers & Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998-2006) pada hari Ahad, 18 September 2022.
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه
له الفاتحة#nahdlatululama #nuonline #profazyumardiazra pic.twitter.com/ltvi5DMOl7— NU Online (@nu_online) September 18, 2022
Saya juga mengenal Pak Azra sebagai satu figur yang terus menanamkan optimisme terhadap umat Islam Indonesia di tengah hegemoni kultur dari dunia Barat. Dalam kaitannya dengan demokrasi, misalnya, beliau menegaskan bahwa Islam di Indonesia lebih mempunyai masa depan dibanding dengan Islam di negara-negara lain.
Secara kultural, Islam Indonesia itu lebih memungkinkan untuk tumbuhnya demokrasi, memungkinkan bagi kedudukan perempuan yang lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan Islam di Saudi Arabia, Islam di Afghanistan, India, Bangladesh, dan Pakistan.
Sosok Azyumardi Azra yang saya tahu juga merupakan tokoh yang concern terhadap isu neo-konservatisme yang muncul di Indonesia belakangan ini. Menurutnya, munculnya para fundamentalis itu tidak akan bisa mengubah watak Islam Indonesia yang pada dasarnya ramah terhadap keberagaman.
Demikian adalah cara Azyumardi Azra terus membuka mata bahwa umat Muslim Indonesia adalah umat yang istimewa. Terakhir, yang membuat saya kagum dengan beliau adalah, beliau tidak hanya terus memberikan gambaran masa depan yang cerah kepada Muslim Indonesia, namun juga turut serta membenahi sebab-sebab mengapa Islam menjadi mundur belakangan ini.
Pak Azra, dengan demikian, tidak hanya menjadi teladan intelektual bagi para penuntut ilmu, namun juga teladan bangsa sebagai sosok yang rendah hati dan peduli terhadap masa depan umat. Berpulangnya Azyumardi Azra ke pangkuan Sang Maha Kuasa tidak serta merta membunuh gagasan dan visi beliau di Indonesia. Justru, beliau meninggalkan bekal intelektual dan pengalaman yang cukup bagi kita untuk melanjutkan perjuangan beliau.
Selamat jalan pak Azyumardi Azra. Lahul fatihah…