Hari-hari ini, masih hangat berita mengenai aksi para ibu-ibu petani Kendeng–dan sejumlah elemen lain–yang berjuang menuntut keadilan atas tanah dan nasib mereka dengan menyemen kaki di kawasan Monas, Jakarta, tepatnya di depan Istana Kepresidenan.
Aksi ini merupakan aksi kedua yang dilakukan oleh para petani Kendeng, setelah aksi beberapa bulan lalu. Persoalan yang dituntut para pejuang heroik ini tidak lepas dari masalah agraria. Protes petani Kendeng terhadap izin yang diberikan pemerintah terhadap pendirian pabrik semen di Rembang yang berdasarkan kajian AMDAL berpotensi merusak lingkungan hidup, khususnya air.
Problem agraria, dalam rentangan sejarah Indonesia sampai hari ini, mempunyai catatan genealogis panjang yang dimulai sejak masa pejajahan Hindia Belanda, dan dilanjutkan pada masa orde baru, dan masih berlanjut sampai hari ini. Menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama tahun 2004-2014, terdapat 977.103 kepala keluarga (KK) petani di Indonesia yang terancam kehilangan akses terhadap tanah/lahan akibat konflik agraria. Bentuk kasusnya meliputi sengketa dan penyerobotan tanah milik petani atau lahan ulayat masyarakat adat suku-suku pedalaman,yang sering kali diiringi dengan peminggiran secara paksa secara tindakan-tindakan pelanggaran kemanusiaan berat.
Ada sebuah cerita menarik mengenai masalah agraria dalam Islam yang dijelaskan oleh Gita Anggraini dalam bukunya, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria. Sahabat Umar bin Khattab pernah tidak menyetuji keputusan sahabat Abu Bakar as-Shidiq ketika memberikan kaplingan tanah yang cukup luas kepada Tolhah bin Ubaidillah. Menurut sahabat Umar, hal itu dinilai kurang adil bagi umat Islam yang lainnya, karena jumlah umat Islam bertambah banyak. Seharusnya kepemilikan itu bisa dinikmati umat secara luas. Tidak untuk dinikmati segelintir orang saja. Dan atas protes sahabat Umar itu, kemudian Abu Bakar membatalkannya.
Dalam kasus itu, yang menjadi titik tolak sahabat Umar dalam melihat masalah tersebut adalah sisi keadilannya. Dimana penguasaan ataupun penggunaan tanah harus dilihat dalam kerangka kemanfaatan umat secara luas. Tidak untuk dinikmati secara personal atau segolongan kelompok tertentu.
Seperti juga dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid, Rasullulah Saw pernah mengatakan, “Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput, dan api”. Di sini menjelaskan bagaimana kepemilikan kebutuhan dasar manusia, yang di situ dicontohkan adalah air, padang rumput dan api, seharusnya bisa dinikmati oleh umat secara luas. Hal ini, jika kita kontekstualisasikan hari ini, tanah juga menjadi bagian kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Dimana, saat ini tanah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dasar manusia, dari sanalah mereka mendapat makanan dan juga air. Ketika tanahnya hilang, akan kehilangan juga sumber dasar kehidupannya.
Konsepsi mengenai pengelolaan pertanahan sebagaimana dicontohkan oleh Rasullulah dan sahabat di atas seharusnya bisa menjadi titik tolak kita dalam membangun orientasi pembangunan nasional. Aspek-aspek keadilan haruslah menjadi pijakan dasar dalam agenda-agnda pembangunan nasional ke depannya.
Yang selama ini menjadi acuan pembangunan kita sejak Orde Baru hingga hari ini seringkali lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dan golongan-golongan elit kaya ketimbang umat dan warga negara secara luas. Seharusnya orientasi dasar pembangunan harus juga inheren dengan aspek-aspek keadilan dan juga mempunyai keberpihakan kemanusiaan terhadap rakyat kecil dan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Sehingga, diharapkan, ke depannya upaya-upaya pembangunan tidak lagi disertai dengan peminggiran paksa dan tindakan-tindakan kekerasan dalam setiap pembanguanan yang terjadi, tetapi lebih mementingkan aspek-aspek keadilan dan kemanusiaan.
Wallohu a’lam bisshowab
*) M. Fakhru Riza; Mahasiswa Psikologi UIN Jogja dan Pegiat di Gusdurian Jogja.