Konflik Tanah di Indonesia, Ini Sikap dan Pandangan Islam

Konflik Tanah di Indonesia, Ini Sikap dan Pandangan Islam

Nabi Muhammad SAW sangat tegas dengan konflik tanah yang ada sejak zamannya

Konflik Tanah di Indonesia, Ini Sikap dan Pandangan Islam

Konflik tanah seperti yang terjadi di Desa Wadas merupakan satu dari banyaknya kasus sengketa agraria di Indonesia. Permasalahan yang terjadi dalam konflik tersebut bukan hanya tegangan antara masyarakat yang setuju dengan kelompok masyarakat yang kontra (konflik horisontal), namun juga melibatkan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat (konflik vertikal).

Konfik tanah yang menimbulkan tindakan represif juga terjadi di Pakel, Banyuwangi. Dilansir dari situs resmi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jawa Timur, Konflik yang terjadi di Pakel, Licin, Banyuwangi merupakan upaya pendudukan lahan kembali (reklaiming) lahan warga pakel yang selama ini telah dirampas oleh PT Bumi Sari.

Menurut keterangan LBH, aparat kepolisian sering kali melakukan tindak kekerasan fisik kepada petani setempat tanpa disertai adanya surat tugas yang jelas. Kejadian tersebut menyebabkan 4 orang mengalami luka-luka, bahkan sebelumnya sekitar 13 orang warga Pakel juga menjadi korban kriminalisasi dalam 2 tahun terakhir.

Kasus serupa juga dialami oleh Ibu-ibu di Seluma, Bengkulu. Warga setempat yang menolak pertambangan di Seluma ditangkap, direpresi, dan diusir secara paksa. Padahal, warga Seluma tengah berjuang mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang baik di tanahnya.

Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak konflik tanah yang terjadi di Indonesia. Beberapa kepentingan yang mengatasnamakan pembangunan serta percepatan pertumbuhan ekonomi seringkali diasumsikan ikut melancarkan beberapa proyek besar pemerintah. Dalam hal ini, setuju atau tidak, mau tidak mau, masyarakat setempat yang mendapat dampaknya.

Konflik Tanah dalam Islam

Dalam Islam, persoalan agraria merupakan hal yang sangat penting. Pernyataan tersebut tercermin dari nada Nabi Muhammad SAW yang tegas dan keras saat melihat perampasan tanah secara represif terhadap tanah milik orang lain yang dilakukan dengan cara bathil.

Terdapat sebuah hadist yang artinya: “Barang siapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (HR Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa sedari awal, Islam telah menyentuh ranah materiil kehidupan sosial masyarakat, termasuk persoalan terkait tanah yang merupakan prasyarat kehidupan. Untuk itu, Islam secara materialis sudah berhadapan langsung dengan realitas bahwa persoalan tanah dapat berlangsung dengan tidak adil (bathil) dan sarat akan konflik.

Tegas sikap Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa konflik tanah telah ada sejak zamannya, yang kemudian terus terjadi di masyarakat bahkan hingga hari ini. Menurut Muhammad Al-Fayyadl (cendekiawan muda NU) dalam buku “Islam dan Agraria” yang ditulis oleh Gita Anggraini (2016), beberapa abad setelah zaman Nabi Muhammad SAW, konflik tanah semakin bermunculan dan menjadi persoalan serius dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam.

Kemunculan konflik tanah secara historis-materialis dapat dilihat dari konfigurasi sosial yang dinamis sepanjang periode pewahyuan Nabi Muhammad SAW.

Fakta sosial di kota Makkah terkait ketimpangan pemilikan tanah dan kelas sosial antara para elite Arab dan kaum budak, pengusiran terhadap Rasulullah SAW beserta pengikutnya dari Mekkah, migrasi ke Ethiopia, hijrah ke Madinah hingga terbentuknya al-sabiqun al-awwalun sebagai generasi pertama di antara kaum Muhajirin dan Anshor yang mempunyai tanah dan yang tidak, serta peristiwa alih kepemilikan umat Islam dengan penduduk asli Madinah dari Nasrani dan Yahudi.

Konfigurasi tersebut berjalan dinamis dengan munculnya berbagai polemik seiring meluasnya wilayah umat Islam. Hal tersebut kemudian memunculkan permasalahan mengenai pemanfaatan dan distribusi tanah, peran pemerintah dalam penanganan konflik tanah, serta konflik tanah yang diakibatkan konsentrasi kepemilikan oleh elite-elite baru di dalam masyarakat Islam.

Menurt Ira M. Lapidus (1988), dalam bukunya yang berjudul: “A History of Islamic Societies”, faktor tanah selalu menjadi faktor penting dalam konfigurasi sosial umat Islam. Sistem kepemilikan tanah menjadi penentu dalam perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan umat Islam, yang kemudian menimbulkan gejolak sosial seperti perlawanan rakyat hingga pemberontakan.

Untuk itu, tanah merupakan faktor penting  dalam suatu tatanan sosial serta stabilitas umat Islam. Namun, hingga sekarang, persoalan agraria hanya dianggap sebagai persoalan sekunder yang hanya perlu dibahas sewaktu-waktu yang kemudian kembali terlupakan dalam wacana keislaman kehidupan sehari-hari.

Urgensi Reforma Agraria

Islam mengizinkan setiap manusia untuk memiliki tanah dan memanfaatkannya. Namun, penulis sepakat dengan apa yang dijelaskan Gita Anggraini dalam buku ‘Islam dan Agraria’ (2016), bahwa persoalan tanah harus selalu didasarkan pada dua prinsip, yaitu:  Pertama, dalam kepemilikan seseorang terdapat milik orang lain.

Kedua, Islam menentang keras adanya akumulasi, dominasi, dan konsentrasi dalam persoalan tanah. Seperti tertuang dalam QS. Al-Hasyr ayat 7 yang artinya: “…supaya harta itu jangan sampai beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah reforma agraria. Pembaruan politik agraria dengan tidak berdasar pada produksi kapitalisme, namun terhadap produksi yang berpihak pada rakyat. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS. An-nisa’ ayat 75 yang artinya: “dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah”.

Pada dasarnya, Islam mendukung penuh agenda reforma agraria. Lebih dari itu, secara akidah, Islam memiliki konsep terkait tanah dan berbagai persoalannya. Manusia tidak memiliki hak memiliki tanah secara private ownership, karena pada dasarnya tanah tersebut merupakan pinjaman dari Allah SWT sebagai pemilik sebenarnya. Selain itu, keadilan agraria juga merupakan perhatian yang serius dalam Islam.

Islam telah mengatur bahwa tanah, air dan energi lainnya untuk seluruh umat manusia, bukan hanya millik sekelompok atau segelintir orang saja (privatisasi). Keadilan Agraria tidak hanya tentang kehidupan Kemarin dan saat ini, namun untuk kemashalatan masyarakat secara secara berlanjut.

Sebagai penutup, dalam Islam terdapat kaidah “kebijakan pemimpin harus disandarkan pada kemaslahatan rakyatnya” yang harus dipegang teguh oleh pemerintah. Bukan justru terdistorsi dengan kepentingan-kepentingan yang berdampak buruk terhadap masyarakat, tak terkecuali warga desa Wadas, Pakel, Seluma, dan di tempat-tempat lain yang mengalami kasus serupa. (AN)