Petinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja, ditangkap polisi di wilayah Lampung. Penangkapan tersebut dipimpin langsung oleh Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi. Melalui CNN Indonesia, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan mengkonfirmasi penangkapan itu pada Selasa (7/6).
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pimpinan cabang Khilafatul Muslimin atas dugaan penyebaran berita bohong dan percobaan makar yang dilakukan melalui aksi konvoi di wilayah Brebes, Jawa Tengah pada Senin (6/6).
Menurut CNN Indonesia, Nama Khilafatul Muslimin mencuat usai melakukan konvoi “Kebangkitan Khilafah” di wilayah Cawang, Jakarta Timur. Amir Khilafatul Muslimin DKI Jakarta, Abudan, mengatakan bahwa konvoi serupa telah terjadi sejak 2018 lalu. Namun, ormas yang identik dengan jubah hijau putih ini sebenarnya sudah familiar di kalangan masyarakat ketika agen-agennya menyebarkan brosur Khilafatul Muslimin di pasar-pasar untuk mempromosikan visi misi khilafah.
Kepolisian menilai ormas ini memiliki latar belakang dan juga kedekatan dengan sejumlah organisasi teroris. Polisi juga menduga mereka berpotensi menimbulkan kejahatan tersebut, misalnya makar dan penggulingan kekuasaan yang sah. Namun, semua tuduhan itu dibantah oleh Amir Khilafatul Muslimin wilayah Jakarta Raya, M Abuddan.
“Kalau misalnya benar, tunjukkan buktinya. Mana buktinya, mana faktanya kami pernah merebut kekuasaan, kami pernah meledakkan bom, membunuh orang, mengganggu ideologi negara, mengganggu Pancasila, mengganggu NKRI, mana buktinya? Ga pernah ada.” Ujar Abuddan dikutip tvOneNews.
Pernyataan tersebut tetap tidak membuat BNPT mafhum. Hal itu karena rekam jejak pendirinya, Abdul Qadir Hasan Baraja, yang lekat dengan aksi terrorisme.
Abdul Qadir Hasan Baraja merupakan mastermind di balik berdirinya Khilafatul Muslimin. Baraja lahir pada tanggal 10 Agustus 1944 di Taliwang, Sumbawa. Ia juga yang mendirikan Darul Islam di Lampung pada tahun 1970, dan salah satu pendiri Pondok Pesantren Ngruki, bersama dengan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.
Baraja telah mengalami 2 kali penahanan; pertama pada Januari 1979 berhubungan dengan Teror Warman, ia ditahan selama 3 tahun. Kemudian ditangkap dan ditahan kembali selama 13 tahun, berhubungan dengan kasus bom di Jawa Timur dan Borobudur pada awal tahun 1985.
Pasca bebas, Abdul Qadir Hasan Baraja mendirikan Khilafatul Muslimin pada tahun 1997, sebuah organisasi yang bertujuan untuk melanjutkan kekhalifahan Islam yang terhenti karena keruntuhan Turki Utsmani. Ia juga ikut ambil bagian dalam mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia pada bulan Agustus 2000, tetapi tidak aktif menjadi anggota MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Beberapa tokoh Khilafatul Muslimin membantah bahwa track record seseorang di masa lalu tidak bisa dijadikan landasan untuk menghakimi seseorang di masa sekarang. Saya sepakat dengan pernyataan ini. Nabi tidak pernah menghakimi seorang Umar bin Khattab atas masa lalunya ketika ia masuk ke dalam Islam. Umar bahkan bisa menjadi orang terdekat \Rasulullah hingga dijamin penjadi penghuni Surga.
Akan tetapi, “khilafah” masih menjadi term yang problematis. Banyak kelompok Islam menunggangi istilah luhur ini untuk merealisasikan kepentingan politiknya. Dalam konteks luar negeri ada al-Qaeda, ISIS dan Jabhat Nusrah. Indonesia pun tidak kalah mentereng, kita dulu punya Negara Islam Indonesia, di era orde baru ada Hizbut Tahrir Indonesia, di era reformasi muncul Majelis Mujahidin Indonesia.
Lagi pula, latar belakang Baraja seperti membantah semua prasangka-prasangka baik yang mengarah kepadanya dan agenda-agendanya. Ditambah, Abdul Qadir Hasan Baraja pernah menjadi salah satu tangan kanan Abu Bakar Ba’asyir, salah satu pendiri Pondok Pesantren Ngruki juga, untuk merealisasikan misi yang sama, penegakkan khilafah. Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengatakan bahwa khilafah perlu ditegakkan secara paripurna dan harus menjadi dasar ideologi dan praktik pemerintahan suatu negara, tidak boleh ada paham lagi di atas khilafah, khilafah harus berada pada tingkatan tertinggi.
Ali Imran, salah satu mantan teroris besar di Indonesia, mengatakan bahwa salah satu ciri teroris adalah berusaha untuk merealisasikan syariat Islam dan gencar mengkampanyekan khilafah. Tanpa latar belakang kekerasan dan gerakan politik, Khilafatul Muslimin bisa jadi sedang menggaungkan Islam dengan cara yang lebih lunak dan ramah, sehingga banyak orang yang tertarik dan menjadi pengikutnya. Namun, embel-embel “khilafah”, yang dinarasikan oleh faksi-faksi Islam fundamental radikal sekelas HTI bahkan ISIS, selalu bermasalah di setiap negara yang mereka singgahi.
Di sini, kerja BNPT sebagai badan yang bertanggungjawab menanggulangi terorisme patut diapresiasi berkat gerak cepat menangkap Abdul Qadir Hasan Baraja. Negara perlu untuk mengevaluasi apa dan bagaimana “khilafah” versi Khilafatul Muslimin. Menurut saya, apa yang dinarasikan oleh Khilafatul Muslimin itu masih dalam bingkai radikalisme beragama, belum sampai terrorisme. Namun jika pada akhirnya “khilafah” yang dicanangkan Baraja mengancam stabilitas nasional dan rawan memecah belah umat, maka Khilafatul Muslimin perlu ditindak lebih lanjut.
Jika yang diinginkan Khilafatul Muslimin adalah Persatuan Islam di dunia, maka itu akan terwujud ketika Islam mampu menjadi ajaran yang menjamin perdamaian dan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya, bukan malah menebar teror dan propaganda.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT