Pemimpin Khilafatul Muslimin Ditangkap, Pernah Terlibat Aksi Bom Borobudur 1985

Pemimpin Khilafatul Muslimin Ditangkap, Pernah Terlibat Aksi Bom Borobudur 1985

Buntut konvoi motor kampanye khilafah pada 29 Mei 2022 di Cawang, Jakarta Timur, pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, diamankan oleh polisi pada Selasa 6 Juni 2022 pagi.

Pemimpin Khilafatul Muslimin Ditangkap, Pernah Terlibat Aksi Bom Borobudur 1985
Abdul Qadir Hasan Baraja

Buntut konvoi motor kampanye khilafah pada 29 Mei 2022 di Cawang, Jakarta Timur, pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, diamankan oleh polisi pada Selasa 6 Juni 2022 pagi. Hasan Baraja diamankan di Lampung, dan dijadwalkan akan tiba di Polda Metro Jaya pada sore harinya. Lalu, seperti apa sosoknya? Dan, bagaimana rekam jejaknya?

Abdul Qadir Ahmad Baraja adalah pendiri sekaligus pemimpin Khilafatul Muslimin, ia dilahirkan pada 10 Agustus 1944 di Taliwang, sebuah daerah di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski dilahirkan di Sumbawa, ia tumbuh besar di Lampung. Menurut salah satu informasi, Hasan Baraja pernah mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo.

Hasan Baraja memiliki catatan hitam dalam sejarah Indonesia, khususnya terkait dengan gerakan terorisme. Namanya memang tidak se-terkenal Abu Bakar Ba’asyir, namun kiprahnya dalam gerakan terorisme tidak bisa dianggap remeh. Sebagaimana keterangan dari Brigjen Ahmad Nurwakhid, Direktur Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), bahwa Hasan Baraja pernah dipenjara dua kali sebelumnya.

“Dia telah mengalami dua kali penahanan. Pertama, pada Januari 1979 tekait dengan terror Warman, ditahan selama tiga tahun. Kedua, ditangkap dan ditahan kembali selama 13 tahun, terkait kasus bom di Jawa Timur dan Borobudur pada awal tahun 1985.” Tuturnya, sebagaimana dilansir laman detik.com. Lalu, seperti apa peran Hasan Baraja hingga membuatnya ditahan?

“Kiprah”-nya dimulai pada sekitar tahun 1970-an. Saat itu, Hasan Baraja memimpin organisasi Darul Islam cabang Lampung, dan ia sukses membuat organisasi itu cukup berkembang di sana. Selanjutnya, ia mengarang buku Hijrah dan Jihad dan menyebarkannya. Buku tersebut dinilai sebagai upaya Hasan Baraja untuk mengikis ideologi Pancasila.  Selain itu, bersama Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar, ia mengajar di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. (Zulkifli dan Fikri, 2005)

Puncaknya, pada 1979, terjadi tragedi kekerasan yang menewaskan Parmanto, MA., Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo. Kekerasan tersebut dilakukan oleh kelompok Komando Jihad, serangannya dipimpin oleh Marwan, oleh karena itu tragedi tersebut dikenal sebagai “Teror Marwan”. Pasca tragedi, Hasan Baraja ditangkap karena dituduh terlibat di dalamnya dan dipenjara selama 3 tahun.

Setelah bebas dari penjara, Hasan Baraja masih belum jera. Tidak tanggung-tanggung, ia terlibat dalam dua aksi pengeboman sekaligus. Pertama, di sebuah gereja di Malang, Jawa Timur. Kedua, di candi Borobudur, Magelang. Di sini, ia berperan sebagai penyedia bahan peledak. Ia memberi informasi kepada pimpinan aksi teror, yakni Husein Ali Al-Habsyi, bahwa di daerah Teluk Betung, Lampung, terdapat bahan-bahan peledak. Atas dasar itu, Hasan Baraja harus kembali mendekam di penjara selama hampir 13 tahun. (A.N. Pratama et. al., 2019)

Hukuman selama itu nampaknya membuat Hasan Baraja sedikit lebih berhati-hati dalam menyebarkan ideologi yang dianutnya, ia mencoba menempuh jalan lain: mendirikan organisasi. Dan, hal itu terbukti saat ia mendirikan organisasi Khilafatul Muslimin (KM) pada tahun 1997. Ia pun diangkat sebagai pemimpinnya hingga saat ini. Berselang 25 tahun kemudian, yakni tahun 2022, Hasan Baraja harus kembali ditangkap sebagai buntut aksi konvoi motor kampanye khilafah.

Melihat rentetan perjalanan Abdul Qadir Hasan Baraja tersebut, satu hal yang patut diwaspadai adalah bahwa paham radikalisme sangat mungkin masih eksis di sekitar kita. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada organisasi maupun individu tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Meski aksi terorisme sudah tidak banyak terjadi lagi, paham radikalisme sebagai akar dari aksi tersebut tidak akan pernah mati.