Salah satu cerita yang paling berkesan dan membekas di pikiran saya ketika datang ke Maroko adalah cerita kitab Mudawwanah, begitu berkesannya hingga beberapa kitab, membahas keabsahan kisahnya secara detil dan menyertakan riwayat-riwayatnya. Salah satunya kitab al-Tanbiihaat al-Mustanbithah ‘ala al-Kutub al-Mudawwanah al-Mukhtalithah, karangan al-Qadhi ‘Iyaadh. Melalui kitab tersebut, lalu dosen, senior, dan kitab lainnya, saya coba uraikan di tulisan ini.
Pertama kali saya mendengar cerita Mudawwanah, adalah dari salah satu senior saya di Maroko, untuk perkenalan singkat, Mudawwanah adalah salah satu kitab induk di madzhab Maliki sebagai rujukan dalam fikih selain kitab Muwatha’, al-Wadhihah, al-‘Utbiyyah, dan, al-Muwazanah. Saat itu, saya masih belum paham dan tidak terlalu tertarik dengan cerita seperti itu, hingga cerita itu disampaikan lagi, langsung oleh dosen beberapa tahun kemudian saat saya sudah memasuki S2.
Syahdan, memori saya memutar ulang ingatan saat senior saya menceritakan kisah yang sama, dan ini adalah sedikit dari yang saya tahu tentang kebenaran kisah Mudawwanah riwayat Sahnun.
Penulisan Kitab Mudawwanah
Mudawwanah, menurut saya termasuk karya yang pertama kali menggunakan sistem antologi atau kumpulan tulisan pengarang dalam satu karya. Ya, kitab ini ditulis dan diisi dengan pemikiran empat ulama, yaitu: Malik ibn Anas (w. 179 H), Sahnun ibn Sa’id at-Tunuukhi (w. 240 H), ibn al-Qasim (w. 191), dan Asad ibn Furat (w. 213 H). Karena itu pula, penamaan kitab ini bermacam-macam, seperti al-Mudawwanah, al-Mukhtalithah, dan al-Mudawwanah Sahnun. Metodologi penulisannya mengacu pada metode pertanyaan dan jawaban.
Asad bin Furat adalah orang yang pertama kali berkontribusi dalam penulisan kitab ini, dia adalah murid Imam Malik yang berasal dari Tunisa (Imam Malik berada di Madinah), seperti murid Imam Malik yang lain, Asad adalah murid biasa, tapi yang membuatnya berbeda adalah ia memiliki banyak pertanyaan dan hipotesa suatu masalah. Pertanyaan dan hipotesa itu selalu disampaikan kepada Imam Malik di setiap majelis.
Dikatakan, bahwa murid Imam Malik lainnya lah yang membuatnya banyak bertanya, jika Imam Malik menjawab pertanyaan Asad, maka murid yang lain memintanya untuk kembali bertanya “jika begini dan begini …”, hingga akhirnya Imam Malik dongkol di suatu hari, dan berkata kepada Asad, “Hadzihi silsilatun bintu sulaisilah (ini adalah rangkaian pertanyaan yang memiliki rangkaian pertanyaan lainnya)”, lalu melanjutkan, “ jika begini ya begini … jika begitu ya begitu, kalau kamu mau ingin tahu jawabannya (hipotesa dari masalah yang belum pernah terjadi), maka pergilah ke Iraq”.
Singkat cerita, Asad bertemu Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani di Iraq dan dia bermadzhab Hanafi. Ia kemudian berdiskusi dan belajar darinya, lalu menuliskan hasil diskusinya di karangan, ia menetap di Iraq hingga mendengar kabar bahwa Imam Malik telah wafat, kabar itu membuatnya sedih, karena menyesali kepergiannya ke Iraq dan tidak menimba ilmu lebih lama kepada Imam Malik. Saat itu pula, Asad bertekad pergi ke Mesir untuk menemui murid-murid dari Imam Malik untuk menyelesaikan karangannya.
Saat itu, bertepatan dengan tahun 188 Hijriah, Asad bertemu dengan salah satu murid senior Imam Malik, yaitu Abdullah ibn Wahb (w. 191 H). Ia pun bertanya dan berdiskusi tentang beberapa masalah dan dijawab dengan menggunakan riwayat (jawaban yang berlandaskan silsilah sanad).
Ketika Asad bertanya mengenai hipotesa, Ibn Wahb berkata, “Cukup bagimu, kami telah menyampaikan riwayat.” Asad pun pergi dan mencari orang lain yang pernah menjadi murid Malik, ia pun bertemu dengan Ayshab (w.204 H). Namun ia tidak puas karena Asyhab berijtihad sendiri, bahkan dianggap bersilang pendapat dengan Imam Malik. Ketika ditanya suatu masalah, Asyhab menjawab, “perkataanku.” Saat itu pula Asad pergi dan mencari sumber lain.
Ibn al-Qasim adalah orang terakhir yang dapat membantah sekaligus menjawab semua pertanyaan dan hipotesa Asad mengenai permasalahan orang-orang Iraq, sampai-sampai Ibn al-Qasim berkata padanya, “Zid yaa Maghribii (teruskan pertanyaanmu wahai orang Maghrib).” Saat itu Asad langsung berdiri menghadap masyarakat yang berada di Masjid dan berseru, “Wahai semuanya, jika Imam Malik telah wafat, maka ini (Ibn al-Qasim) adalah Malik (penggantinya)”.
Diriwayatkan dari Asad pula, bahwa Ibn al-Qasim berkata padanya “aku biasanya mengkhatamkan al-Quran dengan dua kali khataman sehari semalam, dan saat ini aku hanya mengkhatamkan sekali demi berdebat denganmu untuk menghidupkan keilmuan. Asad pun menulis hasil diskusinya dengan Ibn al-Qasim dalam 60 kitab.
Semua kitab itu lah yang kemudian dikenal dengan ‘Asadiyyah’ dinisbatkan ke nama Asad, dan kitab itu pula yang menjadi draf pertama dari terbentuknya Mudawwanah riwayat Sahnun. Metodologi yang digunakan dalam penulisan Asadiyyah juga sekadar tanya jawab yang berisi ijtihad, tanpa koreksi, klasifikasi bab, dan penyertaan sumber-sumber seperti al-Quran dan as-Sunnah. Imam ibn al-Qasim menjawab sesuai apa yang dia ingat dari perkataan Imam Malik, jika ragu maka ia menggunakan kata ‘Saya kira, saya duga, saya berasumsi’ di setiap jawabannya.
Pengoreksian Kitab Mudawwanah
Ketika Asad kembali ke Qairawan (kota di Tunisia), ia mendirikan yayasan dan mengajarkan apa yang ia hasilkan dari karangannya, tetapi Asad lebih condong kepada fikih Hanafi ketika menyampaikan pelajaran fikih (sedangkan Tunisia bermadzhab Maliki), lalu salah satu muridnya yang bernama Sahnun ingin menulis ulang kitab Asadiyyah untuk di-tashih oleh ibn al-Qasim di Mesir. Namun, Asad menolak dan tidak memberikan kitabnya itu. Atas keinginan kuat, Sahnun berusaha mencari cara agar bisa menulis ulang kitab Asadiyyah.
Dalam Nuur al-Bashar karangan Ahmad ibn Abd al-Aziz al-Hilaliy, diceritakan bahwa Sahnun bersama beberapa sahabatnya menginap di rumah Asad dalam rangka menulis ulang kitab itu, dengan siasat ingin meminjam dan membacanya saja. Dalam satu malam, Sahnun dan beberapa temannya berhasil membuat salinan kitab Asadiyyah sebelum matahari terbit. Bersama salinan Asadiyyah, Sahnun kemudian bertolak menuju Mesir untuk menemui Ibn al-Qasim.
Setelah Sahnun membacakan kitab Asadiyyah di Mesir, Ibn al-Qasim kemudian berkomentar bahwa banyak hal di dalam kitab yang perlu revisi, dan terdapat kesalahan di beberapa masalah. Hal ini terjadi karena dulunya Asad menulis jawaban dengan metode imla’ (mendikte) dari Ibn al-Qasim. Setelah itu, Ibn al-Qasim mengoreksi dan merevisi salinan Asadiyyah, dan kemudian dikenal dengan Mudawwanah Mushohhahah ‘ala Ibn al-Qasim.
Ketika Sahnun kembali ke Qairawan, Ibn al-Qasim menitipkan surat kepada Asad yang berisi ajakan untuk meninjau ulang kitabnya dengan kitab Mudawwanah Sahnun, untuk mendiskusikan kembali permasalahan yang diduga keliru. Asad membalas suratnya dengan marah dan menolak ajakan itu, ketika kabar itu sampai, Ibn al-Qasim kemudian berdoa “Allahumma laa tubaarik fii al-Asadiyyah (Yaa Allah, jangan engkau berkahi Asadiyyah)”. Imam asy-Syirozi berkata dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, bahwa kitab itu ditolak di kalangan madzhab Maliki hingga sekarang.
Penyempurnaan Kitab Mudawwanah Riwayat Sahnun
Mudawwanah yang sudah di-tashih itu masih perlu penyempurnaan, karena semua bab belum diklasifikasi, semua masalah belum terdapat judul dan latar belakang, dan semua pendapat belum ada sumber dari al-Quran maupun as-Sunnah. maka Sahnun mengerjakan semua proses editorial itu hingga wafat, dan masih tersisa beberapa bab di akhir yang belum terklasifikasi dan tercampur dengan masalah lainnya. Bab-bab tercampur ini kemudian dikenal dengan al-Mukhtalithah.
Qadhi al-Iyaadh meyebutkan bahwa yang pertama kali mengklasifikasi bab tercampur itu adalah Abu Sulaiman ibn Abdullah ibn Mubarak.
Dan begitulah Kitab Mudawwanah dengan riwayat Sahnun lebih dikenal dan tersebar ke seluruh penjuru Afrika dibanding kitab Mudawwanah Asad, dikatakan bahwa kitab Asadiyyah tertolak di kalangan Maliki hingga tak ditemukan salinannya hingga hari ini, karena Allah telah mengabulkan doa Ibn al-Qasim.
Menanggapi hal itu, Qadhi ‘Iyadh menolak jika ada yang berkomentar bahwa doa adalah sebab padamnya api penyebaran kitab Asadiyyah. Qadhi ‘Iyadh menegaskan bahwa menyangkut-pautkan masalah terhadap perkara ghaib itu tidak boleh, bahwa alam ghaib dengan segala misterinya hanya Allah yang tahu. Sehingga, kitab Asadiyyah tertolak bukan karena doa, melainkan karena Mudawwanah Sahnun sudah di-tashih oleh Ibn al-Qasim, diklasifikasi, direvisi, dan memiliki sumber-sumber berupa al-Quran dan al-Sunnah, sedangkan Asadiyyah hanya berupa kumpulan ijtihad dari Ibn al-Qasim saja.
Alasan lainnya adalah, bahwa Mudawwanah Sahnun merupakan draf terakhir dari penulisan kitab mudawwanah, sehingga ulama Maliki tentu lebih memprioritaskan naskah ini daripada draf awalnya, yaitu Asadiyyah.
Dan terakhir, murid-murid Sahnun sangat banyak dan berperan penting dalam penyebaran kitab ini di negeri-negeri asalnya, sedangkan Asad hanya memiliki segelintir murid karena dia merupakan seorang Qadhi, dan berurusan dengan perkara Jihad di Qairawan.
Begitulah, hingga akhirnya Mudawwanah riwayat Sahnun dikenal hingga sekarang, dan menjadi kitab induk madzhab Maliki. Saya sendiri tidak memiliki niat tertentu dalam menuliskan kisah ini kecuali untuk menyebarkan hikmah dan wawasan salah satu sejarah dari dataran al-Ghorb al-Islamiy (keislaman di negara-negara barat). Semoga, melalui demonstrasi ulama-ulama maghrib ini, mereka dapat dikenal luas seperti halnya ulama Masyriq dikenal. Aamiin. (AN)