“Kita hidup di sebuah dunia yang di dalamnya terdapat semakin banyak informasi tetapi semakin sedikit makna,” Jean Baudrillard.
Bayi yang menangis tidak selalu berarti haus. Begitu pula judul berita atau beragam radiasi informasi tentang Covid-19 yang merangsek ke medsos kamu, mereka tidak selalu mencerminkan isi yang sesungguhnya. Di dalam praktik representasi, itu semua disebut simulasi.
Berapa waktu lalu saya membaca berita dengan judul cukup ngehe setamsil “Waduh! Tim Pemakaman di Klaten, Mengubur Peti Kosong Tanpa Jenazah” (13/7); lalu, “Tim Covid di Klaten Kubur Peti Kosong, Kok Bisa?” (12/7); dan, “Kacau betul, peti Mati Kosong dikuburkan, Kepala Desa: Diantar Oleh Kepala Desa Rumah Sakit” (14/7).
Untuk diketahui, tiga berita itu memuat kejadian yang sama dengan nama media dan jadwal tayang yang berbeda-beda. Dua di antaranya termasuk media (daring) arus utama di Indonesia. Dari sisi ekonomi politik, berita itu—jika masih layak disebut berita—secara benderang dimaksudkan untuk menarik pembaca dan khotmilnya adalah untuk menggaet pengiklan.
Setelah saya membaca utuh, isinya sebetulnya biasa saja, yaitu mis-koordinasi di level lapangan. Walakin, tiga berita dengan judul sensasional itu bisa saja memiliki makna lain di tengah merebaknya “hoaks ambulans kosong”. Di sini, pertanyaan yang relevan adalah: siapa yang bisa menjamin orang akan membacanya secara utuh dan tidak berhenti di judul?!
Melihat rendahnya tingkat literasi di Indonesia kok saya jadi pesimis. Lebih dari itu, tiga berita tersebut saya dapat dari WA Grup yang berbeda-beda dengan kepsyen yang tak kalah bedebah.
Di belahan platform media baru lainnya, nama Lois Owien, seorang dokter yang surat tanda registrasi (STR) nya sudah tak berlaku sejak 2017, mendadak jadi perbincangan publik. Pemantiknya, ia menyangkal adanya Covid-19.
Menurut dokter kecantikan yang tak pernah menangani pasien corona ini, 66 ribu kematian dalam 1,5 tahun terakhir terjadi karena interaksi obat dalam penanganan covid, alih-alih disebabkan virus itu sendiri. Dengan dalih itu, Lois menolak untuk percaya terhadap keberadan virus corona.
***
Dua fenomena di atas secara jelas menunjukkan adanya ekstasi komunikasi. Ekstasi komunikasi merupakan konsep Jean Baudrillard (1987) untuk menggambarkan situasi batin masyarakat yang dijejali berbagai tanda, kode, dan simbol dalam proses komunikasinya. Akibatnya, kondisi perasaan dan emosi masyarakat cenderung menjadi berlebihan bahkan di luar kontrol.
Bagi industri media, Lois adalah komoditas yang bisa mendatangkan profit. Bagi orang seperti Lois, informasi yang dia bagikan adalah exercise of power dari kuasa pengetahuan untuk memuaskan dahaga eksistensi. Padahal, hanya karena seseorang bergelar dokter, bukan berarti ia akan akurat bicara Covid-19.
Di luar sana, di puskesmas-puskesmas, di RS-RS rujukan, dan di banyak tempat lainnya, segenap tenaga medis dan relawan semakin kewalahan menghadapi pandemi. Di saat yang sama, aktivitas orang mulai terbatas. Ada pedagang pecel lele yang mulai ngos-ngosan berjibaku dengan satpol PP. Atau loper koran yang penghasilannya semakin menipis, seiring perkembangan media baru dan sepinya perempatan. Atau, manusia silver, penjajak pulsa, dan pedagang kaki lima yang kesehatannya tidak dijamin BPJS.
Manusia butuh tidur, makan, beli buku, bayar token listrik, piknik, dan kebutuhan lifestyle lainnya. Lah, virus corona hanya butuh inang untuk inkubasi. Kok enak betul ada yang menganggap covid sebagai tidak ada, sambil diam-diam menikmati popularitas temporal.
Persis di titik inilah Lois merupakan agen dari apa yang Baudrillard sebut sebagai simulasi. Berbeda dengan TV atau film, dalam ruang bernama media sosial siapa saja bisa menghasilkan ‘karya’ yang secara langsung dapat dinikmati orang lain. Siapa saja secara tiba-tiba bisa menjadi “kepala suku” untuk para pengikut (followers) yang setia dan pada derajat tertentu kelewat militan.
Dalam mekanisme simulasi, manusia terjebak di dalam satu ruang yang dianggap nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Di sini, identitas tidak lagi ditentukan dari dalam diri seorang subjek. Identitas kini lebih ditentukan oleh cermin konstruksi relasi berbagai tanda, citra, dan kode yang membentuk hubungannya dengan orang lain.
Lewat media sosial, dunia simulasi tampil secara sempurna. Lois menyebarkan gagasannya (kalo masih bisa disebut gagasan) lewat cuitan di Twitter. Terdaftar menjadi pengguna Twitter sejak Desember 2020, akun @LsOwien telah memiliki pengikut sebanyak 23.1K. Lebih dari itu, Lois diundang untuk bicara oleh sejumlah kanal YouTube, dan juga mengisi acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi swasta.
Dan, here we are!!
Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi. Semuanya seolah telah melebur menjadi satu dalam sengkarut tanda. Perbedaan antara yang nyata dan yang fantasi, atau yang asli dan yang palsu menjadi semakin ngeblur. Sebuah pesan tidak lagi disampaikan sebagai informasi, tetapi lebih karena nilai-tanda dan nilai-simbol yang dibawanya. Akibatnya, informasi yang beredar dalam ruang simulakra-media cenderung berlebih, meledak-ledak, sekaligus banal dan miskin makna.
Kenyataannya, media sosial sebagai artefak kebudayaan adalah sama meyakinkannya dengan pelajaran sejarah atau khutbah keagamaan sebab mereka sama-sama menawarkan informasi yang membentuk pandangan serta gaya hidup manusia. Orang lalu menjadi bingung menghadapi pergumulan berbagai topik dan informasi yang saling berjalin-berkelindan sekaligus menunjukkan kontras.
Siapakah pihak yang benar di tengah krisis kesehatan, atau krisis ekonomi, atau krisis kepercayaan, atau krisis informasi ini? Atau, siapa yang lebih sahih antara dokter Lois dengan dokter Tirta? Siti Fadhilah Supari yang pernah korupsi atau Budi Gunadi yang sedang berjibaku mengentaskan krisis kesehatan? Jerinx atau Agus Mulyadi?
Memang, membuat orang jadi percaya kepada hal-hal yang tak kasat mata itu sepenuhnya butuh kesabaran dan effort yang tidak mudah. Buat umat Muslim, adalah sangat aneh jika mereka percaya hari akhir, tapi resisten terhadap virus corona.