Salah seorang Badui, sebut saja Ahmad, sedang melakukan perjalanan dengan menunggang unta. Ia melewati sebuah padang pasir yang luas. Saat malam, ia bingung akan bermalam dimana. Hingga ia menemukan sebuah tenda. Saat itu, tenda kosong. Ia memasukinya.
Tak lama, seorang perempuan datang. Sebut saja Fulanah. Ia adalah pemilik tenda.
Merasa ada orang asing di tendanya, ia bertanya, “Siapa Anda?.”
Ahmad pun menjelaskan siapa dirinya dan apa yang sedang alami. Fulanah memaklumi. Ia lantas mengizinkan Ahmad berada di tendanya. Sejurus kemudian, Fulanah membuat roti. Namun, sayang, roti itu ternyata roti untuk dimakan sendiri. Bukan untuk tamu.
Beberapa waktu setelah itu, suami Fulanah tiba (sebut sajan namanya Atif). Ia langsung terlibat pembicaraan dengan Ahmad. Sekadar menanyakan identitas. Atif tak keberatan dengan kehadiran Ahmad untuk bermalam di tendanya.
Berbeda jauh dengan sikap Fulanah, Atif justru sangat friendly kepada Ahmad. Ia langsung menyuguhkan segelas susu untuk Ahmad.
“Anda sepertinya belum makan sama sekali?,” tanya Atif.
“Iya, saya belum makan sama sekali,” jawab Ahmad jujur.
Atif masuk kamar menemui istrinya, Fulanah. Karena Fulanah terbukti tak menghormati tamu dan sama sekali tak menyuguhinya makanan, Atif pun marah. “Kamu ini bagaimana, masak ada tamu dibiarkan begitu saja!,” kata Atif.
Namun Fulanah merasa biasa saja saja dan merasa tak bersalah. Bahkan, ia menyatakan tak akan memberikan makanan olahannya kepada sang tamu, Ahmad.
Akhirnya, dengan niatan ingin menghormati tamu, Atif segera keluar rumah dan mencari apa yang bisa disuguhkan kepada tamu dengan segera. Kebetulan, saat itu ada unta milik Ahmad. Oleh Atif, unta itu kemudian disembelih dan dagingnya dipanggang. Atif dan Ahmad pun makan bersama.
“Sungguh aku tak bisa membiarkan tamuku tidur dalam kelaparan,” kata Atif sembari menyantap sate unta. (Agaknya, maksud lain dari kalimat itu, “Karena saya butuh cepat, maka saya terpaksa meminjam untamu untuk aku sembelih dan dagingnya saya gunakan sebagai suguhan kepadamu”).
Setelah selesai menyantap sate unta, Atif kemudian pergi meninggalkan Ahmad. Tak lama setelah itu, ia kembali dengan membawa unta yang sangat bagus. “Aku ganti untamu tadi dengan unta ini,” kata Atif.
Keesokan harinya, Ahmad melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya, ia mengalami keadaan seperti sebelumnya: harus numpang bermalam di tenda orang. Saat itu, sang pemilik tenda sudah ada di dalam. Sebut saja namanya Atifah (perempuan).
“Siapa Adan dan apa tujuan Anda ke sini?,” tanya Atifah.
Ahmad menginformasikan identitasnya. Setelah mendengar penjelasan dari Ahmad, Atifah pun memasak roti dan menghidangkannya. Tak disangka, tiba-tiba suami Atifa datang (sebut saja Fulan). Setelah ngobrol sebentar dengan Ahmad, ia masuk kamar menemui Atifah.
“Makananku mana?,” tanyanya kepada Atifah.
Kata Atifah, makanannya habis disajikan kepada Ahmad. Fulan marah. Cekcok antara mereka berdua didengar oleh Ahmad yang ada di luar. Ahmad tertawa. Tawa Ahmad membuat Fulan bertanya-tanya.
Ia lantas menemui Ahmad dan menanyakan apa yang membuatnya tertawa.
Ahmad menceritakan hal yang alami sebelumnya. Yakni pengalaman yang “hampir” sama dengan yang kali ini ia alami. Bedanya, kalau yang pertama, suami dermawan-istri pelit, kali ini sebaliknya, suami pelit-istri dermawan.
Keterangan Ahmad membuat Fulan buka suara tentang adanya hubungan keluarganya dengan Atif-Fulanah. Ia mengatakan, “Fulanah itu saudara perempuanku. Sedang Atif adalah saudara laki-laki istriku”. Hal ini membuat Ahmad semakin takjub.
Kisah ini terdapat dalam kitab an-Nawadir karya al-Qalyubi. Kesamaan sifat antara Atif-Atifah yang dermawan dan Fulan-Fulanah yang pelit agaknya menjadi bukti kuat adanya faktor keturunan yang mempengaruhi. Itu merupakan cermin dari orangtua mereka masing-masing. Entah dalam hal doa, cara didik, atau yang lainnya.
Hal ini tidak mutlak, tapi nyaris. Kebanyakan begitu. Ini pula yang agaknya melatarbelakangi perintah Nabi kepada umatnya untuk selektif dalam memilih pasangan (yakni, yang paling penting adalah orang yang memiliki ketaatan terhadap agama)
Dikatakan demikian, salah satunya, adalah karena seorang yang baik biasanya akan juga melahirkan atau memiliki keturunan yang baik pula. Peribahasa kita menyebut, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. an-Nawadir. Kairo: Musthafa al-Babiy, 1955.