Di suatu zaman, hidup seseorang bernama Hamid al-Lafaf. Pada suatu hari Jum’at, ia mendapat tiga masalah/musibah. Pertama, keledainya hilang lari entah kemana. Kedua, tepung yang ada di sebuah tempat penggilingan, yang sedianya akan segera ia ambil, ternyata juga hilang. Hal ketiga yang semakin membuatnya lengkap kegalauannya adalah sebentar lagi ia harus berangkat menunaikan ibadah shalat Jum’at, namun di saat yang sama pekerjaan menyirami tanah telah juga menunggunya.
Saat itu, ia benar-benar berpikir untuk memilih mana yang harus dikerjakan: berangkat shalat Jum’at atau menyirami tanah.
“Aku harus berangkat ke masjid. Namun aku juga memiliki pekerjaan yang harus segera dikerjakan. Namun, bukankah pekerjaan ukhrawi harus lebih didahulukan?,” kata Hamid dalam hati.
Ia memutuskan untuk memilih dan mendahulukan shalat Jum’at. Ia berangkat ke masjid. Sepulangnya dari shalat Jum’at, di rumah, ia mendapati tiga keajaiban tentang tiga masalah yang sebelumnya ia hadapi dan membuatnya bingung. Urusan keledai, tepung, pekerjaan menyirami tanah kini telah selesai.
Selain membuatnya merasa lega, namun hal ini juga membuatnya bertanya-tanya. “Kok bisa?”, kira-kira begitu katanya dalam hati. Untuk mendapat jawaban, ia bertanya langsung kepada sang istri.
Sang istri pun mulai menjelaskan.
Ketika suaminya, Hamid, berangkat melaksanakan shalat Jum’at itu, ia mendengar suara ketukan dari balik pintu rumahnya. Ia mengintip siapa yang ada di sana. Ternyata yang ia lihat adalah keledai miliknya sedang dikejar-kejar harimau.
“Aku segera membuka pintu dan ia (keledai) masuk ke dalam rumah,” kata sang istri tercinta.
Selanjutnya, sang istri buka suara tentang siapa/apa yang telah menyirami tanahnya. Ia mengatakan, pohon nangka yang ada di sekitar rumah mereka ternyata ingin tanah tempatnya tumbuh disirami. Oleh karenanya, pohon nangka itu tiba-tiba memancarkan air dan menyirami dirinya sendiri. Aneh bin ajaib.
“Air itu akhirnya juga membahasahi tanah kita,” sang istri menjelaskan.
Terakhir, tentang tepung. Ternyata tepung miliknya itu tidak hilang. Hanya saja diambil tetangganya tanpa sengaja. Ceritanya, si tetangga juga memiliki tepung yang hendak digiling di tempat penggilingan. Setelah tepung selesai digiling, ternyata ia salah ambil tepung milik Hamid.
Ketika sampai rumah, si tetangga sadar bahwa tepung yang ia bawa bukan miliknya. Sesegera mungkin, si tetangga itu pergi mengembalikannya ke rumah Hamid.
Mendengar cerita ajaib itu, Hamid pun berkata sembari mengangkat tangan, “Ya Allah, aku telah melaksanakan kewajiban ibadah. Kini, engkau telah mencukupi tiga kebutuhanku sekaligus. Alhamdulillah.”
Kisah ini termaktub dalam kitab an-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin al-Qalyubi. Lewat kisah ini, kita bisa menjadi paham bahwa urusan akhirat harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2-3)
Janji Allah SWT tentang “jalan keluar” pada ayat di atas, menurut Jalaluddin al-Mahalli, adalah berupa jalan keluar dari segala derita, kesusahan, dan kesedihan baik di dunia atau di akhirat.
Sehingga dapat dipahami bahwa ketakwaan dan kebahagiaan seseorang adalah dua hal yang berbanding lurus. Ketika seseorang semakin takwa, maka ia akan semakin bahagia. Begitu sebaliknya.
Walhasil, segala hal yang ada di seluruh alam raya ini adalah milik Allah SWT. Jika seseorang ingin mendapat kebahagiaan, maka hendaknya ia selalu mendekat kepadaNya, yakni dengan bertakwa: melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
Al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. an-Nawadir. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th.
As-Suyuti, Jalaluddin dan Jalaluddin al-Mahalli. Tafsir Jalalain. Kairo: Dar al-Hadis, t.th.