Tidak seperti biasanya, tahun ini, Abu Husain al-Darraj pergi haji sendirian. Alasannya adalah karena ia ingin tidak repot. Pasalnya, jika berangkat bersama para jamaah, ia pasti repot kerepotan mengurus mereka.
Dalam perjalanannya menuju tanah suci, tempat pertama yang ia singgahi adalah daerah bernama Qadisiah. Di sebuah masjid yang ia singgahi, ia melihat ada seorang yang sakit kusta dan keadaannya sangat memprihatinkan. Sebut saja namanya Fulan.
Fulan menyapa, “Wahai Abu Husain, apakah engkau tahun ini akan berangkat haji seorang diri?”.
“Iya,” jawab Abu Husain singkat.
Fulan lantas meminta izin kepadanya untuk bisa ikut berangkat haji bersamanya. Namun, karena tekadnya sudah bulat, Abu Husian menolak.
“Bagaimana ini, saya menghindar dari membersamai orang-orang sehat, namun malah ada orang sakit yang mau ikut. Betapa repotnya saya nanti,” Abu Husian membatin.
Fulan tetap memaksa. Namun Abu Husian juga tetap keukeuh menolak. Fulan lantas berkata, “Bukankah jika Allah SWT berkehendak, Dia akan menolong yang lemah, hingga membuat orang yang kuat merasa heran?”.
Abu Husain membenarkan kalimat itu dan segera meninggalkan Fulan. Sore itu, ia melanjutkan perjalanan menuju Mughitsah dan baru sampai keesokan siangnya. Tanpa diduga, ada seseorang menyapa Abu Husain dan ternyata itu adalah adalah si Fulan, orang yang tidak diizinkan pergi bersamanya.
“Allah akan menolong orang yang lemah, hingga membuat orang yang kuat merasa heran,” kata Fulan mengulangi kalimat yang ia ucapkan tempo hari.
Melihat keajaiban itu, Abu Husian mulai merasa heran. Ia melanjutkan perjalanan lagi. Hingga akhirnya ia sampai di daerah Qara’a pada waktu subuh. Ia sesegera mungkin mencari masjid. Lagi-lagi, Fulan sudah ada di sana.
“Allah akan menolong orang yang lemah, hingga membuat orang yang kuat merasa heran,” kata Fulan mengulangi kalimat yang sama.
Merasa bahwa Fulan adalah bukan orang sembarangan, Abu Husian pun mendekatinya dan berkata, “Saya sungguh meminta maaf kepada Allah dan kepada engkau.”
“Permintaan maaf? Atas kesalahan apa?,” Fulan menjawab.
Abu Husian menjelaskan, permintaan maaf itu atas kesalahan yang ia lakukan karena tidak mengizinkan Fulan ikut berangkat haji bersamanya. Fulan pun menjawab, “Saya tidak ingin membuatmu melanggar sumpahmu sendiri. Bukankah engkau telah bersumpah untuk tidak mengajak siapapun berangkat haji bersamamu?”.
“Akankah saya bisa melihat Anda lagi di setiap daerah yang saya singgahi nanti?,” tanya Abu Husain dan Fulan mengiyakan.
Kejadian hari itu ternyata membuat Abu Husain memiliki keinginan untuk segera sampai di daerah-daerah persinggahan, agar bisa bertemu Fulan. Bahkan, karena begitu kuatnya keinginan itu, Abu Husain sampai tak merasakan haus dan lapar. Benar saja, setiap singgah di suatu daerah, ia selalu bertemu dengan Fulan.
Singkat cerita, Abu Husain tiba di Madinah. Namun, kali itu, Fulan tidak menampakkan diri. Abu Husain pun pergi ke Mekah. Selain melaksanakan ritual berhaji, ia juga sowan kepada dua ulama kenamaan: Abu Bakar al-Kattani dan Abu Hasan al-Muzayyin.
Abu Husain menceritaan ihwal pertemuannya dengan Fulan.
Kedua ulama itu memberikan komentar pedas dan bahkan mengolok-oloknya. Pasalnya, ia dianggap telah menyia-nyiakan kebersamaan bersama Fulan, “Dasar bodoh, si Fulan yang kamu menemuimu itu adalah Abu Ja’far al-Majdzum, seorang wali papan atas. Kami sangat ingin bertemu dengannya. Kelak, kalau kamu bertemu dengannya lagi, tolong, jangan biarkan dia pergi, agar kami bisa menemuinya”.
“Iya,” kata Abu Husian merasa bersalah. .
Ketika berada di Mina dan Arafah, Fulan (Abu Ja’far al-Madzmum) tidak menemui Abu Husian dan baru muncul ketika ia melempar jumrah. Melihat Fulan, Abu Husian pun jatuh pingsan setelah sebelumnya menjerit sangat lantang.
Pada thawaf wada’, tiba-tiba Fulan muncul lagi. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu, Abu Husain pun meminta doa kepada Fulan. Fulan menyuruh Abu Husain untuk berdoa sendiri dan Fulan mengaminkan. Akhirnya, Abu Husain meminta kepada Allah SWT tentang tiga hal dan kesemuanya terkabul.
***
Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat. Lewat kisah ini kita bisa belajar, antara lain, tentang doa yang diaminkan oleh orang lain. Adalah suatu kebahagiaan jika doa yang kita panjatkan diaminkan oleh orang yang dekat dengan Allah. Hal demikian menjadi indikasi kuat bahwa doa itu akan segera terkabul.
Oleh karenanya, lewat kisah ini, kita diajari untuk sering-sering mengutarakan doa (dan atau meminta doa) kepada orang-orang yang dekat denganNya (para ulama, misalnya), dengan harapan mereka berkenan mendoakan atau mengaminkannya Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.