Diskursus tentang krisis lingkungan rupanya masih menjadi perdebatan di berbagai lapisan masyarakat. Ada sebagian orang yang tidak mempercayai bahwa alam sedang tidak baik-baik saja. Mungkin hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena pemahamannya hanya terbatas pada pandangan yang sempit.
Banyak dari mereka yang masih tinggal di tempat yang subur dan sejuk sehingga terbutakan dari masalah lingkungan yang sebenarnya terjadi di belahan bumi lain. Pun tidak sedikit di antara kita yang menganggap bahwa perubahan iklim termasuk es yang mencair di Kutub Utara, kenaikan suhu 2 derajat, emisi karbon yang menyebabkan kekeringan, kemarau panjang, dan kesulitan air bersih hanyalah omong kosong karena apa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari tidak demikian.
Malahan, akibat dari berbagai teori konspirasi yang beredar, ada pula yang menganggap bahwa krisis tersebut dibuat dsengan sengaja oleh pihak tertentu demi kepentingan terselubung mereka. Lagi pula, sebagai seorang Muslim, tidak seharusnya kita dengan mudah menuduh apabila tidak memiliki bukti yang kuat. Selain itu, dalam hal keimanan, kita dapat mempercayai sesuatu meskipun kita tidak mampu melihatnya. Hal tersebut berlaku pula pada masalah lingkungan, ketika kita tidak melihatnya secara langsung, bukan berarti hal itu tidak ada atau tidak terjadi.
Barangkali, untuk menyadarkan kita bahwa bumi yang kita tempati ini sedang tidak baik-baik saja adalah dengan membuka kembali Al-Quran yang sudah berdebu, tersimpan rapi di rak buku, dan tidak kita baca selama beberapa waktu.
Allah SWT berfirman di Surah Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Sangat wajar bagi manusia untuk mengelak dari kenyataan yang pahit bahwa krisis ekologis benar-benar terjadi. Setidaknya akan menjadi pembenaran bagi mereka kalau mereka tidak ‘merasa’ melakukan kerusakan pada lingkungan. Sejatinya, Allah menciptakan manusia dengan segala ketidaksempurnaanya, termasuk sifat congkak, tamak, dan merusak. Dalam etika lingkungan, hal ini dikenal dengan istilah ‘antroposentrisme’ di mana manusia menganggap dirinya sebagai pusat dari alam semesta dan dapat berbuat apapun terhadap bumi dan seisinya.
Sifat congkak membuat manusia merasa paling tinggi kedudukannya dibanding semua makhluk, sehingga berkuasa untuk berbuat semena-mena terhadap ciptaan Allah yang lain. Sifat tamak membuat manusia tidak pernah puas, selalu ingin mendapat lebih dan lebih sehingga mengeksploitasi alam terus-menerus untuk memuaskan nafsunya. Baik secara sadar atau tidak, sifat merusak melekat juga pada diri manusia. Kecongkakan dan ketamakan membuat manusia lupa untuk bertanggung jawab mengembalikan kepada alam atas apa yang telah diambil olehnya. Sering kali manusia enggan untuk melakukan tugasnya yang sederhana, yakni merawat dan melestarikan lingkungan.
Alam memang mampu untuk menyembuhkan dirinya. Akan tetapi, jika manusia terus-menerus mengutamakan kepuasan syahwatnya dengan melupakan tanggung jawab, tentu kerusakan tidak dapat dihindari.
Mengutip Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, bahwa peradaban modern cenderung mengekspresikan diri dengan berusaha menantang alam daripada bekerja sama dengannya, mencerminkan adanya ketidakseimbangan total antara manusia modern dengan alam. Dalam hal ini, alam hanya dijadikan obyek oleh manusia untuk memenuhi semua kebutuhannya.
Dalam Al-Quran, cukup jelas disebutkan bahwa Allah melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Walaupun Allah menyediakan bumi dan seisinya untuk keperluan manusia, terdapat pula amanah yang disematkan kepada manusia, yakni menjadi khilafah. Manusia sebagai pemimpin di muka bumi seharusnya dapat melakukuan tugas yang dapat memberikan kebermanfaatan bukan hanya bagi sesama manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Maka dari itu, penting bagi manusia untuk merenungkan kembali bagaimana perlakuannya terhadap alam selama ini. Dengan melihat dampak yang terjadi atau kondisi terkini di bumi yang sedang kita tempati, semoga kita dapat membuka mata untuk melihat apa-apa yang telah kita lakukan terhadap alam dan lingkungan sekitar. Allah tidak menciptakan hujan agar terjadi banjir, tidak pula menciptakan tanah agar terjadi longsor. Tangan-tangan kita inilah yang berkontribusi pada terjadinya bencana-bencana alam tersebut.
Pada dasarnya, sifat-sifat buruk tadi yang menyebabkan kita secara tidak langsung merasakan dampak dari perbuatan kita sendiri. Hubungan kita dengan alam terputus, yang menyebabkan hubungan kita dengan Sang Pencipta juga merenggang. Kita menjadi abai pada perintah-Nya untuk menjaga alam dan lebih asyik untuk memberi makan ego kita dengan terus berbuat kerusakan.
Penyelesaian termudah untuk masalah ini adalah dengan ‘setidaknya menyadari’ bahwa kita ini hanya sekadar ciptaan-Nya. Manusia tidak ada bedanya dengan koloni gajah yang sedang mandi di sungai, atau bahkan dengan barisan pohon pinus di perbukitan.
Lantas, mengapa kita masih congkak dan tamak? Sedangkan ada Allah yang Maha Menguasai segalanya. Terakhir, kita adalah bagian dari ciptaan, dari alam. Apabila kita merusak alam, maka secara perlahan kita sedang mempersiapkan kehancuran diri kita sendiri. Bukankah yang terakhir itu berarti kita sama saja sedang melarisi jualan para ustaz dengan narasi konspirasi akhir zaman?