Seorang pejabat kota Kuffah yang terkenal cerdas melakukan kunjungan kerja ke kota Bashrah. Saat itu, ia diterima oleh Abu Hatim Sahal bun Muhammad al-Sijistani. Dalam kesempatan saat itu, sang pejabat langsung mengajukan pertanyaan tentang siapa saja ulama yang ada di Bashrah.
“Wahai Abu Hatim, siapa saja ulama yang ada di Bashrah?,” tanya sang pejabat.
Ia pun menyebut satu persatu nama ulama-ulama lengkap dengan spesialisasi keilmuan yang dimiliki, tak terkecuali dirinya, “Saya ahli ilmu Al-Qur’an dan Al-Mazini ahli bahasa dan gramatikal Arab. Selain itu, masih ada Ibn al-Kalbi yang ahli tulis menulis surat; Al-Syadzakuni ahli dalam bidang hadis; Hilal al-Ra’yi memiliki spesialisasi ilmu fikih; dan al-Ziyadi yang ahli dalam ilmu al-Ashma’i.”
Sang pejabat, setelah mendengar penjelasan Abu Hatim itu, akhirnya memintanya untuk mengumpulkan ulama-ulama yang barusan disebut itu keesokan harinya. Sang pejabat ingin bertemu dengan mereka.
Hari esok pun tiba. Kini, sang pejabat telah berkumpul dengan para ulama Bashrah. Pertemuan itu ia menfaatkan untuk beranya kepada masing-masing dari mereka. Namun pertanyaan yang diajukan di luar bidang ilmu yang menjadi spesialisasi mereka.
Pertama yang ditanya adalah al-Mazini, “Apakah diperbolehkan membayar kafarat Zihar dengan memerdekakan budak yang matanya buta sebelah?”
Merasa bukan bidangnya, ia dengan besar hati berkata sejujurnya dan menolak menjawab pertanyaan itu, “Maaf, saya ahli bahasa Arab, bukan ahli fikih”.
Sang pejabat pun beralih untuk bertanya kepada al-Ziyadi. Pertanyaan yang ia ajukan adalah tentang bagaimana sikap al-Ziyadi, ketika ada seorang istri yang meng-khulu’ (menggugat cerai) suaminya dengan tebusan sepertiga dari mahar sang suami.
Sama seperti al-Mazini, ia tidak menjawab karena memang bukan keahliannya, “Itu bidang Hilal al-Ra’yi. Bukan bidang saya”
Begitu seterusnya. Sang pejabat bertanya kepada mereka terkait bidang ilmu yang memang bukan spesialisasi mereka. Ia bertanya masalah hadis kepada Hilal al-Ra’yi; bertanya permasalahan qira’at kepada Al-Syadzakuni; dan bertanya balagah dan tulis menulis kepada Abu Hatim.
Ketiga ulama ini pun sama: sama-sama tidak menjawab pertanyaan itu karena merasa memang bukan bidang keahliannya. Karena tidak mendapat pertanyaan dari orang-orang yang ditanya, sang pejabat pun akhirnya berujar:
“Sungguh menyedihkan sekali ada orang yang belajar dalam waktu lama namun hanya menguasai satu bidang ilmu. Hal ini berdampak kepada ketidakmampuannya menjawab pertanyaan yang di luar bidang ilmu tersebut. Berbeda denagn di di Kuffah. Di sana ada al-Kisa’i yang menguasai banyak disiplin ilmu. Jika pertanyaan-pertanyaan itu tadi diajukan kepadanya, dia pasti bisa menjawab”.
Kisah yang ditulis Ibnu Jauzi dalam ‘Uyun al-Hikayat di atas mengajari kita banyak hal. Terbaca di sana, bahwa tingkat kecerdasan (atau hal-hal yang lain) itu beragam dan memiliki beberapa tingkatan.
Juga, apa yang dilakukan sang gubernur agaknya bisa diterima. Dalam arti, apa yang dilakukan sang pejabat dengan membanding-bandingkan ulama Bashrah dengan ulama Kuffah itu bisa jadi dalam rangka untuk memotivasi agar bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, tindakan membanding-bandingkan ulama itu adalah hal yang kurang etis.
Terlepas dari kedua hal di atas, satu hal yang menjadi perhatian penulis, adalah tentang kebesaran hati para ulama Bashrah untuk menyatakan ketidaktahuan mereka terhadap hal-hal yang memang di luar bidang yang mereka kuasai.
Sikap “mengukur diri” ini perlu dimiliki oleh semua orang, terlebih di zaman milenial sekarang ini, dimana dengan mudah setiap orang bisa mengekspresikan diri dalam berpendapat, misalnya dengan membuat tulisan atau rekaman audio/video, dan kemudian menyebarkannya.
Tidak semua pertanyaan yang diajukan kepada kita harus kita jawab. Kalau memang tidak menguasai bidang itu, alangkah lebih bijaksananya kita berdiam diri dan menganjurkan si penanya untuk bertanya kepada orang yang memang menguasai. Ketidakmampuan kita dalam segala hal adalah wajar, karena sebagaimana disebutkan di atas, tingkat kecerdasan setiap orang itu berbeda.
Walhasil, kemampuan mengukur diri adalah hal istimewa yang hendaknya dimiliki seseorang. Dengan demikian, ia tidak serakah dalam menjawab pertanyaan yang memang tidak dia kuasai.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya!” (HR. al-Bukhari)
Sumber:
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. al-Jami’ al-Shahih. Kairo: Dar al-Sya’b, 1987.
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.