Bashrah, Kota Metropolis Pusat Intelektual Islam di Irak

Bashrah, Kota Metropolis Pusat Intelektual Islam di Irak

Sebelum dihancurkan oleh tentara Mongol, pimpinan Hulaghu Khan, kota Bashrah memiliki peradaban yang besar.

Bashrah, Kota Metropolis Pusat Intelektual Islam di Irak

Bashrah merupakan kota terbesar kedua di negara Irak setelah Baghdad, juga kota pertama kali yang dibangun oleh umat Islam di luar Jazirah Arab. Kota ini memiliki peranan penting dalam sejarah awal agama Islam.

Sebelum berada di bawah kendali pemerintahan Islam, Bashrah berada di bawah kendali kekuasaan Dinasti Sasanid yang waktu itu memang menguasai dataran Persia. Di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab tepatnya pada tahun 14 Hijriyah, pasukan Islam dibawah komando Utbah bin Ghazwan mulai melakukan ekspansi dan penaklukan kota Bashrah, dan berhasil mengambil alih kota tersebut dari Dinasti Sasanid.

Sejak itulah, Bashrah menjadi daerah basis pertahanan militer pasukan Islam dalam melawan Imperium Sasanid dalam penaklukan kota-kota lain seperti al-Ubulah, Maisan, Ahwaz dan dataran Persia lainnya.

Nama Bashrah sendiri dalam bahasa Arab mempunyai arti mengawasi atau memantau, sedangkan dalam bahasa Persia Bashrah berarti batu kerikil hitam. Letak strategis Bashrah yang berada di Teluk Persia, dan berada di sebelah selatan Sungai Eufrat dan sungai Tigris menjadi alasan kota ini begitu penting bagi umat Islam dalam menaklukan kota-kota lainnya.

Setelah berada di bawah kekuasaan Islam, Bashrah semakin berkembang. Di bawah kepemimpinan gubernur Utbah bin Ghuzwan yang sebelumnya menjadi komandan penaklukan Bashrah, banyak dibangun masjid dan sarana pemukiman penduduk dari rumput ilalang. Namun pembangunan yang dilakukan oleh Utbah bin Ghazwan itu pernah luluh lantah, ketika Bashrah dilanda kebakaran besar.

Di masa kepemimpinan gubernur Abu Musa Al-Asy’ari, Bashrah kembali dibangun dengan persetujuan Khalifah Umar bin Khattab pada waktu itu. Abu Musa Al-asy’ari meminta kepada khalifah untuk mengirimkan bantuan guna membangun kembali kota Bashrah.

Dari tahun ke tahun, Bashrah tumbuh menjadi kota besar. Di masa pemerintahan gubernur Ziyad bin Abi Sufyan tepatnya pada tahun 771 M, Bashrah mulai berkembang menjadi kota besar dan metropolis. Ketika Baghdad menjadi pusat peradaban dunia di zaman Dinasti Abbasiyah, Bashrah menjadi pusat perdagangan tersohor tepatnya pada abad ke-8 M.

Selain menjadi pusat intelektual Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan, Bashrah juga menjadi kota metropolis besar. Kota yang dulu terkenal dengan mata pencaharian pertanian itu, mempunyai  tujuh pelabuhan besar dan menjadi tempat persinggahan para saudagar dan kapal-kapal besar.

Menurut Ibnu Hawqal, Bashrah mempunyai 100 ribu kanal pada abad ke-10 M, sebanyak 20 ribu kanal bisa dilalui oleh kapal besar. Salah satu kanal yang pernah dibangun oleh sahabat Rasulullah SAW adalah Nahr Ma’kil, yang dibangun oleh Ma’kil bin Yasar. Dengan banyaknya kanal tersebut, kota ini pernah dijuluki sebagai Venesianya Timur Tengah.

Sebagai pusat intelektual Islam, Bashrah melahirkan banyak ilmuwan-ilmuwan besar Islam dalam berbagai disiplin keilmuan. Misalnya Ibnu Sirrin yang ahli tafsir mimpi, Sibawaih dan al-Khalil bin Ahmad yang merupakan ilmuwan dalam bidang tata bahasa Arab, Abu Amr bin al-A’la, Abu Ubaida, al-Asma’i dan Abu Hasan al-Madani yang merupakan para sejarawan terkemuka dalam Islam. Ada juga para sastrawan besar Islam yang lahir dari kejayaan Islam di Bashrah yaitu al-Hijaz, Ibn al-Mukaffa, dan Sahl bin Harun.

Selain itu, tokoh-tokoh besar intelektual muslim juga lahir dari kota yang dikenal dengan Venesia Timur Tengah ini, misalnya Hasan Al-Bashri yang merupakan salah satu tokoh utama dalam dunia tasawuf dan ahli tafsir, dan Washil bin Atto’ yang merupakan tokoh pendiri Mu’tazilah.

Bashrah tidak hanya melahirkan para ilmuwan-ilmuwan yang hanya mahir di bidang keislaman saja, tetapi juga melahirkan banyak ilmuwan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, seperti Abdul Malik bin Quraib al-Asma’i yang merupakan ahli ziologi, Abu Bakar bin al-Hasan bin Duraid yang ahli geografi, al-Jahiz  sastrawan Islam klasik, dan Ibnu Haitham yang merupakan ahli fisika.

Dinamika pemikiran para intelektual Islam di Bashrah menjadikan kota ini menjadi menarik dan menjadi salah satu tujuan para pencari ilmu pada waktu itu.  Tak heran jika Bashrah bersaing dengan Baghdad di masa kejayaan Islam sebagai pusat intelektual Islam.

Selain letaknya yang strategis, kota ini juga kerap menjadi pusat revolusi politik dan intelektual. Misalnya revolusi kaum Khawarij, revolusi kelompok Zanj (257 H/871 M), revolusi gerakan Qaramitah (311 H/923 M) dan juga kemunculan kelompok Asy’ariyah.

Kota ini juga mempunyai peranan penting dalam perkembangan sastra dan tata bahasa Arab, karena di masa lalu, dinamika keilmuan di Bashrah sangat berkembang.

Di tempat seperti masjid dan pasar, para kabilah yang ada di Bashrah saling adu syair. Dua nama pasar yang masih ada sebagai wahana adu syair para kabilah di Bashrah adalah Mirbad dan ‘Ukadh.  Adanya budaya beropini dan berpolemik melalui syair ini telah memberikan kontribusi besar dalam ilmu tata bahasa Arab bagi madrasah Bashrah dan Peradaban Islam. Syair-syair jahiliyah yang mereka ciptakan saat itu sangat dibutuhkan oleh para ahli tafsir, ahli fikih dan ahli hadis dalam upaya mempertahankan pendapatnya.

Akan tetapi pesonan Bashrah sebagai salah satu obor peradaban mulai pudar ketika diserang oleh sekte Qarmathian pada tahun 953 M. Serangan itu mengakibatkan Bashrah hancur dan melemah.

Meskipun Bashrah perlahan mulai membaik, namun serangan tentara Mongol kembali memporak-porandakan kota ini. Pasukan Mongol pimpinan Hullagu Khan, menyerang dan membumi hanguskan Baghdad pada tahun 656 H/1258 M, Bashrah pun ikut hancur lebur karena serangan yang dilakukan oleh pasukan mongol tersebut.

Wallahu A’lam.