Kalau benar terjadi, para pasien Covid-19 (dengan segala kemungkinan kondisi kesehatannya) akan nyoblos mengambil peran menjadi pemilih dalam pilkada, maka saya benar-benar menyarankan pada masyarakat Indonesia, siapa pun dia, untuk bersyukur semaksimal mungkin. Bersyukurlah dengan berlipat-lipat, sak pol-pol-e, sak jebole!!
Bukan karena Negara ini telah benar-benar dewasa menyelenggarakan demokrasi, hingga tak mau kehilangan barang satu pun suara rakyat. Juga bukan karena inisiatif pemerintah hingga jajaran KPU yang sangat kreatif memikirkan mekanisme pencoblosan pilkada sekalipun penuh resiko dan bahaya, melainkan lebih karena posisi pemetaan, antara njenengan sebagai manusia Indonesia dengan negara atau minimal pemerintah Indonesia semakin tampak jelas.
Dalam setiap hubungan, termasuk dalam hubungan sosial masyarakat misalnya, setiap pihak memiliki posisi koordinatnya masing-masing yang seringkali tidak jelas subyek-obyeknya, siapa membutuhkan siapa.
Jika ada anak kecil yang terus menerus merengek pada orang tuanya karena ingin ini itu, maka hal tersebut adalah kewajaran yang lumrah dalam hubungan antarmanusia. Sebagai orang tua, memang sudah sewajarnya direpoti oleh anak. Dan, dalam dinamika hubungan itu, saya senang-senang saja direpoti dan dimintai anak saya. Bahkan, saya tahu betul rasa bahagianya ketika bisa memenuhi keinginan anak, meskipun sesederhana permintaan permen Yupi.
Kalau ada orang tua yang tidak memenuhi permintaan anak, boleh jadi ada alasan-alasan teknis, semisal keterbatasan biaya, alasan kesehatan, sampai misalnya alasan ideologis semacam pola asuh atau motif-motif pendidikan yang ingin diterapkan pada si anak.
Namun jelas, orang tua adalah fasilitator anak. Orang tua wajib mengayomi anak. Subyek obyek hubungan anak orang tua dalam hal kebutuhannya, cukup mudah kita cerna.
Sama halnya dengan suami yang tak boleh lelah memahami kebutuhan isteri, setidakjelas apa pun tanda-tanda permintaannya. Kalau pasangan Anda dirumah bilang “Mas lapar nggak? Nggak ada makanan e..”, lalu Anda pulang kerumah dengan tangan kosong dan jujur-jujuran bilang, “Aman sayang, habis makan sate”, maka bersiaplah dengan kesuraman hati dan pikiran dalam beberapa hari kedepan karena dicemberutin dan dicuekin isteri.
Kewajiban lelaki, terutama sebagai suami, untuk mengerti wanitanya. Seperti halnya wajibnya orang tua mengayomi dan menggendong anak karena mereka-merekalah manusia lemah yang wajib dikasihi oleh Anda yang lebih dewasa, matang, dan lebih kuat pastinya. Dan berbahagialah jika Anda seorang ayah atau suami yang masih dibutuhkan oleh isteri dan anak. Serepot apa pun konsekuensinya.
Lalu mengambil konteks pilkada di masa pandemi covid-19 ini, kira-kira siapa pihak yang dibutuhkan dan siapa pihak yang membutuhkan? Siapa subyek dan obyek dalam struktur sosial bernegara?
Apakah rakyat untuk pemerintah, ataukah pemerintah untuk rakyat? Apakah negara untuk bangsa, ataukah bangsa untuk negara? Magrong-magrongnya istana, struktur birokrasi pemerintahan pusat hingga daerah, sampai satuan-satuan kepolisian dan militer, berikut seluruh pasal-pasal hukum dan perundangan, semuanya itu terselenggara untuk subyek yang mana?
Karena disadari atau tidak, negara sering diposisikan sebagai entitas yang terlalu ampuh. Posisinya tak terkalahkan, dan hampir-hampir tak mungkin pernah salah, apalagi kalah.
Seorang tetangga pernah mengeluh, dua harian tandon airnya tidak tersaluri air PDAM karena ada perbaikan pada beberapa titik. Ia terima saja dua hari berbau kecut karena nggak mandi. Tapi lain waktu, ketika dia telat bayar tagihan air cuma sehari saja, lalu dikenai denda, tetangga saya itu ngomelnya nggak habis-habis.
“Lha yo, kalau air mandek boleh seenaknya. Tapi soal nagih bayaran air, mintanya sat set!”
Apakah mungkin tetangga saya marah-marah kepada pihak perusahaan pemerintah itu? Ya mungkin saja, tapi lantas apa? Apakah omelan tetangga itu mampu merubah kebijakan perusahaan milik rakyat yang berarti sejatinya adalah juga miliknya? Jangankan diposisikan sebagai pemilik yang didengarkan, ini air mati aja nggak ada minta maaf, apalagi klarifikasi. Udah gitu masih bayar lagi! Pemilik yang bagaimana coba yang bisa berperilaku sebaik masyarakat Indonesia?
Jadi ada kalanya kebesaran nama republik, magrong-magrong-nya gedung pemerintahan, pegawai-pegawai yang necis dan intelek, sistem manajemen yang rapi dan termutakhir, tata kelola perusahaan hingga negara, juga kelengkapan administratif birokratif yang tampak rumit dan njlimet itu dilihat dari kacamata goblog-goblokan: ini semua ada buat siapa? Atau bahkan mungkin bisa juga dipertanyakan dengan lebih mendasar, lagi ngapain sih kita ini?
Maka, fenomena pasien Covid-19 yang harus nyoblos di masa Pilkada, dengan dalih apapun, menunjukkan pemandangan dengan lebih jernih dan presisi di mana koordinat pemerintah, rakyat, dan negara. Siapa ada dimana, berbuat apa, dan barangkali, untuk siapa.
Andalah Bapak untuk pemerintah yang terus menerus merengek. Andalah sang suami untuk negara yang makin hari makin nggak jelas permintaannya namun sangat bergantung hidupnya pada Anda. Maka, sekali lagi, berbahagialah manusia Indonesia, keberadaan Anda sangat dibutuhkan demi keberlangsungan negara yang barangkali tak jelas juntrungannya buat Anda sendiri!
Kelak, ketika Anda sudah renta, jika anak Anda –naudzubillah– secara kurang ajar meminta tanda tangan surat waris atau balik nama sertifikat tanah, saya berdo’a semoga ketika itu Anda masih punya keberanian dan harga diri untuk menampar mulut anak kurang ajar itu. Tapi, pada soal negara yang terus menerus menodong sampai menjelang mampusnya rakyat begini, jontor siapa yang bisa kita tampar?