Sejarah Karbala yang tragis memberikan luka yang mendalam dan tidak dapat dihapuskan dalam rekaman sejarah agama Islam. Namun, jika hanya terus berduka tanpa melakukan langkah-langkah yang bermanfaat, tragedi ini hanya akan menyisakan tragedi untuk selamanya.
Umat muslim bisa jadi terjerambab ke persoalan yang sama, senantiasa terpecah-belah dan nyawa para orang-orang terkasih Nabi ini akan terkorbankan sia-sia. Tentunya banyak sekali pelajaran-pelajaran penting yang dapat kita petik dari peristiwa ini, berikut di antaranya:
Pertama, pentingnya menjaga persatuan. Peristiwa Karbala mengajarkan kepada kita semua bahwa menjaga persatuan merupakan suatu hal yang urgen, terlebih dalam suatu kelompok yang memiliki tujuan dan misi bersama. Tujuan akan sulit dicapai jika bagian-bagian dari kelompok senantiasa bertikai.
Adanya konflik dalam kelompok merupakan suatu hal yang baik, jika konflik tersebut membawa pada perbaikan dan tidak memberikan kerusakan pada segala aspek. Pertikaian dan permusuhan yang berlarut-larut tidak akan menghasilkan apa-apa selain penyesalan dan kemudaratan secara fisik dan psikis.
Rasulullah Saw. pernah berkata (HR. Abu Dawud) bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu al-Jamaah. Biarlah 73 golongan itu hanya dapat ditemui di masa lampau, cukuplah kita menjadi satu golongan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Menjadi satu golongan yang secara berjamaah menjaga persatuan, dengan tidak saling merasa paling benar atau menyalahkan yang lainnya. Karena perpecahan dan persatuan keduanya dapat terjadi tergantung dari pribadi kita masing-masing, dan hubungan bagaimana yang kita kehendaki dan inginkan.
Mengingat nasihat Kanjeng Nabi yang artinya, “perumpamaan kaum muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas (HR. Bukhori dan Muslim). Persatuan itu erat dengan rasa kasih sayang, dan perpecahan itu erat dengan kebencian.
Menjaga persatuan tidak saja dalam konteks sesama Muslim, namun pada aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti dalam keluarga; dalam lingkungan bertetangga lintas agama dan suku budaya; dalam lingkungan kerja dan pendidikan; lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara; dan kelompok lainnya. Persatuan yang terwujud akan memberikan dampak pada kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan semua anggota kelompok tertentu dalam menjalani kehidupan dan mencapai tujuan bersama.
baca: sejarah perang karbala
Kedua, kekuasaan yang abadi hanya milik Allah. Peristiwa Karbala merupakan pengingat bagi kita semua, bahwa tidak ada kekuasaan dan jabatan yang kekal, semuanya akan berakhir seiring dengan usaha tangan-tangan lain yang menginginkannya.
Oleh karena itu, selama kita berada dan memiliki suatu kekuasaan, hendaknya kekuasaan tersebut dijadikan wadah untuk dapat beramal baik sebanyak-banyaknya kepada sesama, bukan justru memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi semata. Apabila menjadi seorang suami atau istri, bagaimana hendaknya menjadi diri yang bertanggungjawab dan mengayomi semua anggota keluarga.
Saat menjadi pimpinan dalam sebuah lembaga, bagaimana selayaknya dapat memimpin tim dalam mencapai target bersama; ketika menjadi pejabat dan pemimpin, bagaimana seharusnya dapat mensejahterakan rakyatnya. Semua itu hanyalah sebuah wadah yang tidak akan berlaku dalam waktu yang lama jika kita senantiasa berlaku tidak adil dan semena-mena.
baca juga: kisah terbunuhnya Sayyidina Husein
Oleh karena itu, sekecil apapun peran yang kita miliki, namun kita harus semaksimal mungkin memberikan manfaat atasnya, karena sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya: “ setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinanmu.”
Ketiga, manusia harus dapat mengontrol jiwa malaikat, setan, dan binatang yang ada dalam dirinya. Manusia, sebagaimana disampaikan Al-Ghazali dalam Kimia al-sa’adah, merupakan makhluk yang dalam dirinya terdapat unsur malaikat, setan, dan binatang, oleh karena itu manusia dikatakan makhluk yang paling sempurna. Dikatakan sempurna apabila ketiga sifat ini dapat seimbang dan dikontrol sesuai dengan syara’.
Berbeda jika manusia tidak dapat mengontrol bagian-bagian dari tiga hal tersebut, seperti dalam peristiwa Karbala, manusia yang dapat mengontrol jiwa setan dan binatang dalam dirinya sangat mustahil melakukan penyerangan, pembunuhan, dan pembantaian kepada Sayyiduna Husein beserta keluarga dan pengikutnya.
Maka dari itu, masing-masing dari kita sudah selayaknya dapat mengontrol tiga jiwa ini untuk kemaslahatan hidup bersama. Kita boleh memiliki nafsu binatang yang senantiasa memikirkan perut, namun kita control sebatas pemenuhan kebutuhan tubuh untuk dapat beribadah.
Kita juga perlu jiwa kebinatangan untuk melestarikan generasi dengan melakukan hubungan seks, namun dengan relasi yang dihalalkan. Bagaimana dengan sifat setan? Kita perlu untuk memiliki rasa iri, tetapi iri yang diperbolehkan, yakni iri terhadap ahli ibadah dan ahli ilmu yang senantiasa memperbaiki diri, iri tehadap orang kaya yang dengan harta bendanya dapat berbagi terhadap sesama.
Iri yang demikian sangat dianjurkan untuk dapat memotivasi diri menjadi lebih baik. Jiwa malaikat dalam diri pun ahrus kita kontrol, tidak selalu kita melakukan ritual salat selama 24 jam, karena kita juga butuh waktu untuk berinteraksi sosial dengan sesama. Dengan demikian, kehidupan dapat lebih teratur dan terjamin ketentramannya.
Keempat, perdamaian itu lebih indah dan menentramkan dan semuanya dapat diwujudkan dengan di mulai dari diri sendiri. Tidak ada makhluk yang tidak menginginkan ketentraman dan kedamaian, bahkan semut sekalipun merasa terganggu saat rombongan Nabi Sulaiman as. akan melintasi mereka yang sedang mencari makan.
Oleh karena itu, dengan semangat awal tahun Hijriyah, mari menciptakan kemaslahatan bersama dalam mewujudkan perdamaian, yakni dengan jalan menjalin persatuan dan perbaikan diri sebagai resolusi jihad bersama.