Agama Islam itu indah, tapi mengapa umatnya tidak seindah itu?
Apakah pertanyaan tersebut sering mengganggu batin kita sehari-hari? Atau bahkan kita sendiri adalah umat yang dimaksud? Jika iya, maka bersyukurlah karena kita masih diberi nurani untuk tetap berusaha menjaga agama Islam yang indah ini. Berbicara mengenai kedamaian, ia adalah salah satu dari nilai-nilai universal ajaran agama Islam. Ya, Islam mempunyai nilai-nilai universal yang dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk orang non-Muslim sekalipun.
Sehingga wajar saja jika kita sering melihat daerah mayoritas non-Muslim namun nilai-nilai Islam hidup di sana atau sebaliknya juga bisa terjadi di tempat yang mayoritas Muslim tapi gersang dari nilai ajaran Islam. Lihat saja, bagaimana beberapa negara Timur Tengah masih bergelut dengan perang dan masih jauh dari kata damai. Sedangkan negara-negara Barat pelan-pelan memulihkan diri dari wabah virus Covid-19.
Nilai Islam yang lain yang sama esensialnya dengan perdamaian adalah kebersihan. Kita langsung ambil contoh saja, misalnya kota-kota di Indonesia yang mendapatkan penghargaan Adipura dalam bidang kebersihan lingkungan, ternyata tingkat kebersihannya tidak lebih baik dari kota-kota di Australia. Contoh lainnya adalah di bidang pendidikan, sekolah kita banyak yang berlabel sekolah model, sekolah favorit, sekolah percontohan, sekolah binaan namun standar kualitasnya masih belum mengimbangi sekolah di negara-negara Skandinavia. Apalagi sekolah-sekolah kita yang tanpa label spesial yang ada di pelosok negeri ini.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, ungkapan Muhammad Abduh pada abad 19 silam sepertinya terasa relevan. Ia berkata, “Saya pergi ke negara Barat (non-Muslim), saya melihat Islam tapi tidak melihat orang Islam, saya pergi ke negara kaum Muslim, saya melihat orang Islam tapi tidak melihat Islam”.
Ungkapan Abduh di atas pernah dinilai kontroversial oleh banyak kalangan. Berbagai argumentasi pun disampaikan baik yang pro maupun yang kontra sebagai bentuk konsekuensi dari ungkapan tersebut. Bagi yang membantah ungkapan itu mengatakan bahwa Abduh terburu-buru mengambil kesimpulan, karena agama Islam itu sesuatu yang sempurna adapun orang Islam yang berbuat tidak Islami itu adalah oknum yang tidak bisa digeneralisasikan. Jika ingin mengkritisi Islam, lihat orang Islamnya jangan lihat ajarannya.
Adapun mereka yang mendukung ungkapan Abduh mereka mengatakan itu sesuatu yang terjadi secara nyata dan mudah dilihat bahwa konsep Islam itu justru diterapkan oleh non-Muslim seperti bidang pendidikan yang memadai, penegakan hukum yang tegas, perilaku ekonomi akuntabel dan transparan, komitmen kedisiplinan, menjaga kebersihan dan lain sebagainya.
Nah, mengapa nilai-nilai luhur Islam ini justru jarang ditemukan dalam diri pribadi-pribadi Muslim? Hemat penulis, setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari fenomena ini,
Pertama, umat Islam masih mengkotakkan ilmu pengetahuan antara ilmu agama di satu kotak, dan ilmu sains di kotak lain. Banyak yang beranggapan bahwa belajar agama itu hanya orang-orang tertentu seperti ustadz- ustadzah, santri-santri di pesantren, siswa-siswi di sekolah madrasah, sedangkan yang lainnya yang belajar ilmu umum cukup belajar agama seadanya. Padahal jelas dalam hadis disebutkan bahwa “menuntut ilmu itu diwajibkan bagi semua kaum Muslimin”. Ilmu dunia saja dianjurkan, apalagi ilmu agama. Jadi tidak ada kategori belajar agama hanya orang-orang tertentu.
Kedua, orang Islam yang tidak berperilaku islami mengira bahwa Islam itu hanya ibadah mahdhah atau yang terdapat dalam rukun Islam saja dan tidak ada hubungannya dengan muamalah lainnya. Banyak yang ber-syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, membayar zakat dan menunaikan haji sebagai rutinitas, sedangkan korupsi dilakukan, nepotisme tetap terjadi, orang miskin dibiarkan, kebersihan diabaikan, pendidikan hanya dinikmati sebagian orang, dan banyak lagi ketimpangan yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya dalam tulisan ini.
Padahal Islam mempunyai nilai-nilai yang luhur seperti peduli dan memberdayakan kaum yang lemah, menganjurkan kebersihan, mendorong masyarakat agar menjadi terdidik, mencintai kedamaian dan keberagaman, mendambakan lingkungan (negara) yang penuh kebaikan dan di bawah ampunan Allah.
Bukankah menjadi orang Islam tidak boleh hanya sebagian saja, namun harus menjalankan ajaran agama secara menyeluruh? Allah juga sudah menegaskan dalam QS. al-Baqarah: 208
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً . . . .
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh . . “
Artinya bahwa orang Islam jangan hanya diidentifikasi dari identitas KTP saja, namun harus dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, beberapa hal yang perlu dilakukan orang Islam agar dapat berperilaku islami di antaranya adalah belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh, karena dengan memahami ajaran agama secara komprehensif akan memberi wawasan keagamaan yang luas.
Menuju surga tidak cukup hanya dengan membawa identitas Islam saja, tapi disertai dengan perilaku islami. Islam tidak mengenal istilah numpang lewat menuju Surga. Terakhir, memperbanyak ibadah dan amal saleh dalam artian menjalin hubungan baik dengan Allah dan makhluknya di alam semesta secara seimbang. Seberapapun rajin beribadah, kalau tidak peka dengan kondisi manusia dan alam sekitarnya maka tidak akan membawa kemaslahatan, demikian juga sebaliknya.
Perlu dicatat juga bahwa banyak keridhaan Allah yang tercurah akibat perilaku-perilaku saleh manusia kepada sesama. Nilai agama Islam yang indah antara lain beragama dengan manusiawi, sayang binatang, menjaga ekosistem alam, dan menghormati sesama makhluk. Hal-hal itu adalah tugas seorang khalifah secara individu seperti yang diamanatkan Allah dalam al-Qur’an. Bagaimana kita bisa mendapat ridha dari Allah, sedangkan amanah khalifah dari-Nya saja kita salahgunakan?!
Naudzubillah min dzalik!