Suatu hari saya sedang asyik menikmati panorama dari dalam bus. Seorang pengemis terminal setelah selesai membawakan sebuah lagu untuk para penumpang, duduk di sebelah saya. Mukanya terlihat masih segar, berambut panjang, dan bersuara lumayan merdu. “Adik santri Ma’had Aly Sukorejo?”, katanya membuka perbincangan. Inilah awal pembicaraan saya untuk membahas tentang mengapa umat Islam beribadah menghadap Ka’bah.
Saya tidak heran, karena siapapun pasti kenal dengan almamater berlogo ma’had aly yang saya pakai. “Iya mas, ada yang bisa saya bantu?” jawabku singkat. Terlihat pengemis begitu antusias menyimak pengakuan saya barusan. “Menurut adik, kenapa umat Islam ketika beribadah menghadap Ka’bah?”
Saya terkejut atas pertanyaan sepontan itu. Saya berfikir keras tentang jawaban apa yang cocok baginya. Sebab pertanyaan semacam itu rentan menggelincirkan akidah orang awam bila dijawab gegabah.
Sekitar sepuluh menit merenung, akhirnya saya mendapatkan semacam ilham. Saya mulai menerangkan kepada pengemis bahwa umat Islam yang beribadah menghadap kepada Ka’bah bukan lantas dipahami menyembah dzat Ka’bah itu sendiri. Ibadah yang dilakukan umat Islam jelas berbeda dengan ibadah agama lain. Umat Islam saat beribadah menyembah kepada Allah. Surat al-Baqarah ayat 21 telah gamblang dan tegas memberitakan, manusia harus menyembah kepada sang Maha Pencipta (Allah);
ياأيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Wahai manusia, sembahlah oleh kalian kepada Tuhan yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Surat ini menggunakan redaksi amar (perintah), “u’buduu”. Dalam kajian usul fikih terkenal kaidah “Al-Amru Lil Wujub,” kalimat perintah menunjukkan kewajiban. Sementara setelah amar terdapat redaksi “Rabbakum”. Yang dalam kamus bahasa Arab memiliki arti Tuhan. Kata “rabb” yaitu Allah bukan kiblat. Maksud kiblat di sini adalah Ka’bah. Adapun keterangan terkait mengahadap Ka’bah adalah intruksi Allah SWT untuk menghadap saja bukan menyembah. Sejalan dengan penjelasan kanjeng Nabi Muhammad yang pernah menerangkan kepada para sahabat.
Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syata’ ad-Dimyati al-Syafi’i dalam kitab Hasyiah Ianatut Thalibin menjelaskan bahwa Ka’bah merupakan kiblat saat shalat.
Hal lain yang agak serupa adalah doa. Saat kita berdoa kepada Allah, telapak tangan bagian dalam kita menghadap ke langit. Kejadian berdoa dengan cara menengadahkan tangan ke langit bila dipahami meminta kepada langit, bisa berpotensi salah atau bisa menyebabkan kufur. Jika dimaknai Allah berada di langit, juga salah. Karena Allah tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Lantas bagaimana yang benar?
Mari kita pahami lebih dalam kalimat “Laisa kamitslihi syaiun”. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain menerangkan bahwa huruf kaf (kamistslihi) adalah huruf zaidah (tambahan), sehingga bunyi lafadnya “Laisa mitslihi syaiun”, yang bermakna tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allah.
Sebagaimana penjelasan dalam ilmu nahwu bahwa huruf zaidah tidak punya makna. Kemudian, di dalam Tafsir Ibnu Abbas diterangkan bahwa ketidaksamaan Allah dengan mahluk apapun mencakup sifat, pengetahuan, kekuasaan, dan pengaturan (tadbiir).
Jadi, jika kita selaku manusia memiliki tempat untuk berpijak, berarti Allah tidak. Jika kita hidup terkungkung dengan ruang lingkup waktu, berarti Allah tidak. Intinya Allah tidak sama dengan apapun yang ada di dunia ini. Allah yang Maha Tahu atas segala rahasia-rahasia-Nya.
Akhirnya, cerita ini bisa menjadi motivator bagi kita supaya mengerti esensi ibadah kepada-Nya. Dan yang paling penting adalah ibadah menghadap Ka’bah bukan bermaksud menyembah kepada bangunan Ka’bah. Namun menyembah hanya kepada Allah Sang Pemilik alam semesta. (AN)