Selain bertujuan melaksanakan ajaran agama dan menghindarkan diri dari zina, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan. Karena dengan terus terjaganya keturunan umat Islam, menandakan terjaganya Islam hingga hari di mana Allah memanggil semua makhluk kembali menghadap-Nya. Adapun keturunan secara sah hanya bisa ditempuh melalui wasilah hubungan badan atau jimak antara suami dan istri. istri dilaknat
Sebagian masyarakat kita lebih sering disuguhi narasi yang terkesan menyudutkan perempuan dari pada narasi yang mengurai dari dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang laki-laki sekaligus sudut pandang perempuan. Anehnya, kita tetap saja egois mengonsumsinya tanpa mencari pembandingnya. Perilaku terlalu mengunggulkan laki-laki dari pada perempuan inilah yang kemudian disebut dengan patriarki.
Misalnya, ketika mengurai tentang penolakan untuk berhubungan badan atau jimak antara suami dan istri, hadis yang lebih sering dikutip ialah hadis-hadis yang mendukung keinginan suami. Mulai dari yang menjelaskan bahwa istri tak boleh menolak ajakan suaminya untuk berhubungan badan meski istri sedang sibuk di dapur, hingga menerangkan bahwa istri yang menolak ajakan suaminya untuk berhubungan badan akan dilaknat malaikat sampai subuh tiba.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke ranjangnya, lalu istri enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat malaikat hingga pagi tiba.” (HR. al-Bukhori)
Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah bersabda,“Apabila suami mengajak istrinya (berhubungan badan) hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (H.R. Tirmizi)
Nah, penjelasan lebih lengkap terkait istri yang dilaknat karena menolak ajakan suaminya ini bisa dibaca secara lengkap di sini: Benarkah Istri Dilaknat Malaikat Jika Menolak Permintaan Jimak dari Suaminya?
Sayangnya hadis-hadis tersebut tak jarang justru dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menguasai istri sebagai objek semata. Selain itu, tak semua orang berusaha untuk memahami atau sekadar mencari tahu bagaimana seandainya yang menolak ajakan adalah suami. Perlu disadari juga, bagaimana pendengar akan memahami dari dua sisi, jika yang bertugas menyampaikan kebenaran justru kurang berkenan menyampaikan hukum pembandingnya.
Seorang suami sejatinya juga memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah batin kepada istri, dalam artian melayani istrinya. Bukan hanya istri yang harus memenuhi hajat suaminya, tetapi suami juga harus memenuhi hajat istrinya. Saling melayani dan saling memenuhi.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam kitab beliau yang berjudul Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menjelaskan:
الاستمتاع واجب على الرجل للمرأة إذا انتفى العذر، بما يحقق الإعفاف والصون عن الحرام.
“Bersenggama hukumnya wajib bagi suami terhadap istri ketika tanpa adanya udzur. Untuk memastikan diri terhindar dari dosa dan membentengi diri dari keharaman”.
Memahami redaksi di atas, jelas bahwa suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah batin kepada istrinya. Apabila tidak dipenuhi tanpa ada udzur syar’i, apa konsekuensinya? Syekh Abdul Qadir Al-Jilany menjawabnya dalam kitab yang disusun beliau, Al-Gunyah li Tholibi Thoriqil Haqq:
وإذا دعا امرأته للجماع فأبت عليه كانت عاصية لله تعالى، وعليها وزر، قال النبي- صلى الله عليه وسلم- في حديث أبي هريرة رضي الله عنه: (أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَنَعَتْ زَوْجَهَا حَاجَتَهُ كَانَ عَلَيْهَا قِيْرَاطَانِ مِنَ الأصْرِ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مَنَعَ امْرَأَتَهُ حَاجَتَهَا كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الأصْرِ قِيْرَاطٌ).
Ketika (suami) mengajak istrinya untuk berjimak, lantas istri menolak maka ia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah, dan ialah atas istri sebuah dosa. Nabi Muhammad Saw., bersabda, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah: (Setiap istri yang enggan melayani hajat suaminya, maka atas istri itu dua qirath dosa. Dan setiap suami yang enggan melayani hajat istrinya, maka atas suami itu satu qirath dosa).
Redaksi teks yang baru saja disebutkan di atas, secara gamblang menjelaskan konsekuensi bagi suami maupun istri apabila menolak ajakan tanpa adanya udzur syar’i. Selain karena alasan kredibilitas sumbernya, harus diakui bahwa redaksi di atas memang jauh kalah populer jika dibandingkan dengan hadis tentang laknat malaikat dan meninggalkan kesibukan dapur.
Padahal Islam memberkan jaminan yang sama kepada seluruh pemeluknya. Islam juga memberikan konsekuensi secara adil, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Jadi jika merujuk hukum Islam secara benar, tak akan suami merugikan istri atau istri merugikan suami.
Jika cara pandang sudah terbuka dari kedua sisi, baik dari suami maupun istri, semoga dapat diartikan sebagai upaya penyelarasan diri dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 19.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
Wa ‘asyiruhunna bil ma’ruf.
“Dan pergalilah mereka dengan cara yang patut.” [Q.S. An-Nisa (4): 19]
Ayat tersebut seakan memang hanya memuat sebuah perintah terhadap suami untuk menggauli istri dengan baik. Tetapi redaksi dalam ayat tersebut secara tidak langsung menunjukkan atas sebuah perintah untuk menjalin hubungan dengan asas kesalingan.
Dalam disiplin ilmu morfologi (sharf), lafal “asyiru” menunjukkan musyarakah baina itsnaini (perkongsian antara dua unsur). Suami dan istri diperintahkan untuk saling menggauli pasangannya dengan baik. Dari redaksi ini dapat dimengerti bahwa baik pihak suami maupun istri mempunyai peluang yang sama untuk menjadi subjek maupun objek sekaligus.
Inilah alasan mengapa redaksi yang digunakan dalam tulisan ini adalah “suami dan istri”. Bukan “suami terhadap istri” maupun “istri terhadap suami”. Hal ini dipilih demi terciptanya hubungan yang berlandaskan pada asas kesalingan. Kesalingan dalam hubungan antara suami dan istri ini sering kali diistilahkan dengan mubadalah. Lebih lanjut tentang mubadalah dapat dibaca buku Qirāah Mubādalah karya Faqihuddin Abdul Qodir.
Sebagai pengingat bersama, ada yang perlu dijadikan sebagai sebuah catatan penting dari pembahasan ini. Bahwasanya baik suami maupun istri harus sama-sama respons untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, baik kebutuhan zahir maupun kebutuhan batin. Dalam kasus ini yaitu apabila suami mengajak istrinya ke ranjang, maupun apabila istri yang mengajak.
Adapun membawa-bawa dalil yang terkesan memaksa istri untuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya, sebaiknya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk mengingatkan istri, apabila memang istri menolak ajakan tanpa adanya uzur. Bukan diperalat sebagai senjata andalan yang selalu ditodongkan untuk menakut-nakuti istrinya. Dengan begitu, baik suami maupun istri akan berusaha memenuhi kewajibannya dan memenuhi hak pasangannya. (AN)
Wallahu a’lam.