Benarkah Suami Boleh Memukul Istri? Ini Jawaban Al-Quran dan Hadis

Benarkah Suami Boleh Memukul Istri? Ini Jawaban Al-Quran dan Hadis

Benarkah Suami Boleh Memukul Istri? Ini Jawaban Al-Quran dan Hadis

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, ranah kekerasan tertinggi kepada perempuan terjadi pada ranah personal. Pada tahun 2021 tercatat 2.527 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan. Dari 2000-an kasus lebih tersebut, 771 di antaranya kekerasan terhadap istri. Mirisnya, sebagian umat muslim masih menganggap wajar seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya. Seringkali ayat Al-Qur’an dijadikan legitimasi. Namun benarkah ajaran Islam seorang suami boleh memukul istri atau melakukan kekerasan yang lain?

Ayat yang sering dijadikan dalil kebolehan suami melakukan kekerasan terhadap istri adalah surat an-Nisa ayat 34 :

 اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasehat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu), pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa [4] : 34)

Selain dijadikan dalil legitimasi kekerasan, ayat di atas juga sering menjadi rujukan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. (اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ). Padahal, jika menelusuri kitab-kitab tafsir, ayat di atas justru mengingatkan laki-laki atas tanggung jawabnya sebagai suami.

Dalam Tafsir at-Thabari dijelaskan, alasan laki-laki disebut unggul/pemimpin bagi perempuan adalah karena laki-laki memberi mahar, nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kemudian dalam tafsir al-Qurthubi dinyatakan ketika laki-laki tidak memberi nafkah, maka laki-laki tidak menjadi lebih unggul. Tidak heran Al-Qur’an Kementrian Agama menerjemahkan kata Qawwam sebagai penanggungjawab perempuan.

Kemudian terkait perintah Al-Qur’an soal memukul istri, para ulama menerangkan hal tersebut boleh dilakukan setelah sebelumnya suami menasehati dan melakukan pisah ranjang. Pukulan tersebut menurut Ibnu Abbas seperti dikutip dalam tafsir at-Thabari adalah pukulan yang tidak menimbulkan bekas luka.

Bahkan Ibnu Abbas berkata, pukulan tersebut hendaknya menggunakan kayu siwak dan semacamnya. Hal ini bisa dipahami bahwa maksud dari pukulan tersebut bukan untuk menyakiti istri. Melainkan “pukulan sayang” sebagai isyarat untuk memperlihatkan bahwa suami tidak senang dengan perbuatan istri. Namun, meski demikian, menurut Imam as-Syafi’i yang dikutip Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, lebih baik untuk tidak memukul istri.

Lebih jauh, perlu diketahui Rasulullah SAW sepanjang hidup tidak  pernah memukul istrinya. Seperti diterangkan dalam hadis riwayat Aisyah :

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Rasulullah sama sekali tidak pernah memukul  siapa pun dengan tangannya, baik itu perempuan maupun pelayan, kecuali saat berjihad di jalan Allah (HR. Muslim no. 2328).

Malah, dalam riwayat lain, Nabi SAW menyindir laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap istrinya :

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ

Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti ia memukul seorang budak, sedangkan di penghujung hari ia pun menggaulinya (HR. Bukhari no. 5204).

Tidak berhenti di sana, dalam riwayat lain pula, Rasulullah SAW melarang seorang suami memukul istrinya :

مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقُلْتُ مَا تَقُولُ فِي نِسَائِنَا قَالَ أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ

Mu’awiyah Al Qusyairi mengisahkan bahwa ia datang kepada Rasulullah lalu berkata, Bagaimana pendapat engkau mengenai isteri-isteri kami? Beliau bersabda: “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai, dan janganlah kalian memukul mereka serta menjelek-jelekkan mereka (dengan perkataan dan cacian).” (Hadis ini shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Thabrani dari Mu’awiyah al-Qusyairi)

Rasulullah SAW. juga bersabda :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Dari Aisyah dia berkata; Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku” (Hadis ini shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah al-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Aisyah)

Kenyataan dari hadis-hadis Nabi di atas memaksa ulama kontemporer menafsirkan ulang surat an-Nisa ayat 34. Abdul Majid Ahmad misalnya, dalam kitabnya Dlarbul Mar’ah Wasilatun lihillil Khilafatuz Zaujiyyah halaman 35 memaknai kata Dlaraba sebagai menjauh, setelah ia meneliti dari 58 pengulangan kata Dlaraba dalam Al-Qur’an. Seperti diketahui, kata Dlaraba dalam bahasa Arab tidak memiliki makna tunggal, tidak hanya berarti memukul.

Misalnya firman Allah, wa idza dlarabtum fil ardl, kata dlaraba pada ayat ini berarti berjalan. Tidak heran jika Abdul Majid Ahmad berpendapat seperti di atas. Walau pendapatnya ini terkesan berbeda dengan kebanyakan ulama klasik, penafsirannya tersebut layak diapresiasi dan patut dipertimbangkan. Kiranya, penafsirannya cukup relevan di zaman sekarang di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlindungan terhadap perempuan. (AN)

Wallahu A’lam.