Di tengah pandemi Covid-19, pemberitaan media tentang pembatalan beberapa pernikahan mungkin adalah sebagian kecil dari total jumlah acara nikah yang dibatalkan. Munculnya Covid-19 tentu meninggalkan kekecewaan yang tak terlupakan bagi calon-calon pengantin yang harus dirundung ketidak-pastian waktu. Penundaan pernikahan di masa Covid-19—besar kemungkinan—akan menimbulkan ledakan jumlah pernikahan di masa pasca-Covid-19.
Tidak hanya itu, konon kabarnya setelah Covid-19 reda akan terjadi ledakan populasi karena banyak orang hamil (ataupun dihamili) saat di masa-masa karantina. Bahkan, selama masa Covid-19 ini, telah terjadi peningkatan kasus KDRT.
Bagi kalangan kelas menengah, khususnya usia produktif, dan lebih khususnya lagi anak muda, meskipun kondisi ekonomi mereka terpukul masa karantina, tapi dibalik kondisi itu, kegabutan yang menyelimuti ranah domestik mereka boleh jadi malah menjadi salah satu faktor yang mendorong praktik reproduksi. Karena dugaan ini jauh dari kata ‘layak’ untuk dijadikan generalisasi, maka tinjauan lapangan lebih jauh sepertinya perlu dilakukan. Tapi, tulisan ini tidak bertujuan untuk itu. Tulisan ini hanya bertujuan untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang mengitari semangat pernikahan di kalangan anak muda.
Ekonomi kalangan kelas menengah ataupun kelas bawah, keduanya sama-sama terpukul tapi memiliki intensitas kerentanan yang berbeda. Dan karena intensitas ini, tidak sedikit kelas menengah yang terancam turun kelas. Selain itu, intensitas ini juga kerap memicu dinamika negatif bagi keberlangsungan pasangan. Ada banyak khazanah (khususnya dari sosiologi, gender, ataupun psikologi) yang mampu menjelaskan sebab-akibat-nya.
Naturalis, misalnya, menganggap: laki-laki cenderung berkompetisi untuk mendapatkan pasangan. Sedangkan perempuan berkompetisi untuk mendapatkan daya topang hidup dirinya (social capital, akses sumber daya pangan ataupun tempat berteduh). Pandemi Covid-19 mendisrupsi klaim naturalis tersebut sehingga kelanggengan pasangan terkena dampaknya. Namun bukan hanya itu masalahnya. Disrupsi tersebut juga memantik krisis eksistensial, baik itu secara fisik ataupun mental.
Kedua belah pihak dihadapkan pada ancaman hidup (kehilangan kapital dan ancaman ditinggal pasangan). Pada tataran ini, krisis eksistensial seperti kekecewaan, rasa khawatir, stres, marah, kebuntuan dan depresi tumbuh. Ketika krisis ini bergesekan dengan konstruksi gender, kekerasan kerap sulit dihindarkan. Sebab, agresi ataupun agresifitas karena kehilangan kapital sering kali berkaitan erat dengan konstruksi insecurity dan ‘kehormatan’ masing-masing gender.
Keberagaman cara dalam menyikapi masalah-masalah tersebut tidak lepas dari faktor usia, pendidikan dan iklim tenaga kerja di Indonesia. Per-tahun 2019, ada 64,19 Juta pemuda (usia 16-30 tahun). Angka ini tentu punya keberagaman imajinasi cara menyikapi masalah eksistensial karena perbedaan konstruk dan kesenjangan.
Soal pendidikan, data statistik pemuda BPS 2019 misalnya, menunjukkan bahwa sebagian besar pemuda tidak bisa mengakses perguruan tinggi. Di samping itu, iklim tenaga kerja kita yang dominan dipengaruhi industri berbasis investasi asing juga menjadi catatan tersendiri. Hal ini menandakan masih terbatasnya pendidikan untuk menunjang kenaikan kelas sosial pemuda, dan menandakan adanya kualifikasi yang ‘berjarak’ antara yang diinginkan oleh investasi asing, tantangan hidup dan yang dibutuhkan daerah.
Himpitan faktor-faktor itu biasanya berkaitan erat dengan pernikahan/perceraian dini dan pengangguran pemuda. Beban ini biasanya membayangi pemuda dengan latar belakang penghasilan harian. Sementara itu, pemuda dengan latar belakang yang lebih beruntung, khususnya yang mengenyam perguruan tinggi, mereka tidak terkecuali dari tren nikah muda. Dan meskipun belum ada datanya, tapi saya melihat adanya tren langsung menikah setelah lulus kuliah tanpa meninggalkan kenang-kenangan masa lajang yang bermanfaat.
Pengalaman pada jenjang pendidikan tinggi tentu membuka peluang pekerjaan/pengabdian yang lebih besar dari sekedar pekerjaan yang seharusnya menjadi pekerjaan non-pendidikan tinggi. Meskipun tidak dipungkiri juga bahwa ada banyak, faktor dan pertimbangan yang melatar belakangi hal itu, tapi pekerjaan yang digeluti (khususnya bagi perempuan) kerap tidak berkaitan dengan konsentrasi pendidikan terkahirnya, atau bahkan, sering kali tetap jatuh di ranah domestik. Dengan kata lain, salah satu penyebab kenapa non-pendidikan tinggi sulit mendapat pekerjaan dan resiko afek depresifnya tinggi adalah karena pekerjaan yang seharusnya milik mereka justru dicaplok oleh kalangan pendidikan tinggi.
Meskipun hal itu perlu diteliti lebih jauh, tapi saya membayangkan, apakah pola ini menandakan murni inkompetensi individu? Atau menandakan ekstrimnya keberjarakan antara pendidikan, realitas kehidupan dan kebutuhan pasar? Atau apa?
Jika pertanyaan hipotetik ini benar, maka bukankah ini akan menjadi bom waktu di masa depan? Jika iya, apakah pemuda hari ini siap menghadapi krisis eksistensial yang kental kemalangan dan keputus-asaan di masa depan?
Ekonomi dan pendidikan Indonesia masih sangat sedikit memberi kepastian nasib. Uniknya, ada sebagian yang merespon ketidak-pastian ini dengan gerakan nikah muda syar’i. Pasangan yang tidak matang sering kali difasilitasi menikah sedini mungkin dengan argumen dosa berzina dan agumen kepastian perbaikan ekonomi dari Tuhan sebagai modal pelarian dari pahitnya kenyataan demografi. Sampai pada batas apa fasilitas ini mampu menyelamatkan si pasangan dari letupan fenomena ‘luar biasa’ di masa depan yang sering kali membutuhkan format cara berpikir yang menembus paten konvensional?
Selain ekonomi dan pendidikan, desakan sosial juga menghimpit anak muda. Faktanya, orang Indonesia sangat obsesif terhadap pernikahan, dan pernikahan dianggap sebagai parameter kesuksesan dan kedewasaan seseorang. Desakan ini kerap langgengkan oleh orang tua, kerabat ataupun tetangga sekitar, sehingga beresiko mendorong terjadinya pernikahan yang ditunggangi kepentingan partisan. Di samping itu, jagat media juga turut berkontribusi dalam menjepit anak muda lewat narasi utopia yang sering kali tak terjangkau dan cenderung menyamarkan orientasi panjat sosial dengan topeng puitika ketulusan semu.
Himpitan sosial kerap memberikan afek depresif bagi anak muda. Anak muda memang punya gaya hidupnya sendiri dan tidak akan pernah lepas dari persoalan seksualitas. Saya melihat adanya pola bahwa anak muda saat ini cenderung membedakan mana lawan jenis untuk orientasi hasrat, dan mana lawan jenis untuk kenyamanan. Jika pola ini telah menjadi norma berpasangan, maka bukankah ini adalah bom waktu lain bagi masa depan?
Anak muda punya dua pilihan: melangsungkan pesta nikah karena desakan? atau nikah muda karena kesadaran masa depan? Sayangnya, banyak kanal sosial—media, agama, keluarga, dll—diarahkan untuk membungkam pilihan kedua.