Linimasa Twitter saya sedang penuh perbincangan animasi karya anak bangsa berjudul Nussa. Perbincangan ini dimulai dari sebuah tulisan berjudul “Sisi Lain Nussa-Rara, Menyaksikan ‘Islam Kaku’ Diajarkan via Layar Televisi Kita” oleh Supriansyah yang dimuat dalam situs Islami(dot)co. Kemudian muncul tulisan oleh Elam Sanurihim Ayatuna yang berjudul “Menjawab Kekakuan BerIslam Animasi Nussa-Rara: Bantahan Tulisan Supriansyah” dan dilanjutkan tulisan dengan pendekatan discourse-nya “Nussa Rara Episode “Bukan Mahram”: Menarik tapi Rawan Reduksi” oleh Anwar Kurniawan.
Ketiga tulisan tadi sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan bahan untuk diskusi bersama. Namun dalam diskusi ini saya harap tidak ada pihak yang disalahkan maupun dibenarkan, karena seperti yang kita ketahui, hal ini merupakan sesuatu yang sensitif untuk dibahas, jadi jangan sampai hal ini justru menjadi ajang untuk perang ayat dan hadis, mari kita menjadikan kesempatan ini untuk sama-sama belajar dengan kerendahan hati.
Saya sendiri juga jadi belajar untuk memahami masing-masing pendapat dari kedua sisi yang berbeda itu (tulisan Supriansyah dan tulisan Elam Sanurihim Ayatuna). Dan dari tulisan-tulisan itu, ada beberapa hal yang saya setuju dan tidak setuju.
Pertama, dalam tulisan Supriansyah menyinggung episode “Bukan Mahram” dan “Toleransi” yang memuat isu salam-bersalaman dalam Islam. Hal ini (Nussa-Rara yang tidak bersalaman dengan orang yang bukan mahram-nya) menurut saya tidak masalah untuk ditampilkan. Seperti yang diutarakan Elam Sanurihim Ayatuna, bahwa dalam Islam ada berbagai macam fikih yang dianut.
Jika dalam dua episode tersebut ingin menampilkan keluarga Nussa yang tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, maka sah-sah saja. Namun, hemat saya, jika dalam situasi/episode lain tidak menampilkan adanya keberagaman karakter muslim, maka hal ini juga bisa dinilai sebagai sebuah propaganda.
Dengan kata lain, dalam kartun Nussa membutuhkan adanya karakter muslim lain yang juga mau bersalaman dengan siapa saja. Sama halnya dengan pakaian (ex: jilbab, gamis, koko, kopiah) dalam serial animasi ini tentu akan terlihat berlebihan jika semua sosok muslim dengan serempak memakai kopiah. Untuk itu, dibutuhkan juga adanya keberagaman karakter muslim dalam dunia Nussa yang tetap salaman namun tetap menjalankan akhlak Islami. Saya rasa dengan menampilkan keberagaman inilah adik-adik penonton setia Nussa dapat belajar dengan sesungguhnya. Tentunya dengan didampingi para orang tua, mereka jadi bisa membuka ruang diskusi untuk belajar agama, moral, dan sosial dalam kehidupan nyata.
Kedua, seperti Elam Sanurihim Ayatuna saya pun sependapat dengan terpilihnya serial animasi Nussa untuk menemani adik-adik di waktu sahur dan berbuka puasa, karena Nussa memiliki banyak ajaran-ajaran positif mengenai kehidupan tolong-menolong, keikhlasan, persaudaraan, ajaran-ajaran dalam Islam, dan lain-lain. Sedangkan untuk persoalan yang dikhawatirkan Supriansyah mengenai hilangnya unsur kejailan khas anak-anak sehingga Nussa menjadi kurang realistis, saya rasa hal itu bukan masalah besar. Pada sosok “Rara” kita masih bisa melihat keluguan, keisengan, sifat manja yang biasa melekat pada kepribadian anak-anak, jadi hal ini tidak perlu dipermasalahkan menurut saya.
Ketiga, saya pun sepakat dengan pendapat Anwar Kurniawan yang mengatakan, “Harus saya akui bahwa menyebut animasi Nussa-Rara sebagai representasi “Islam Kaku” adalah kelewat keras. Meski begitu, menyebut animasi itu sebagai dakwah Islam “rahmatan lil ‘alamin” juga sepertinya nanti dulu. Saya mendapati banyak reduksi di sana”.
Anwar membawa analisis wacana ke dalam ruang diskusi ini. Memang benar bahwa setiap karya (tulisan, film, puisi, lagu, komik, dan sebagainya) pasti mengandung wacana, tujuan, maksud tertentu. Sehingga menjadi hal yang sulit untuk memisahkan sebuah karya dengan penciptanya, latar belakangnya, objektivitasnya. Oleh karena itu saya berharap tim Nussa dapat lebih bijaksana dalam proses kreatif mereka untuk menciptakan konten-konten Nussa. Saya sadar Nussa adalah serial animasi bertema Islami, tapi perlu diingat juga bahwa keislaman masyarakat Indonesia sangat beragam. Jangan sampai melalui Nussa ini, adik-adik penerus bangsa justru tumbuh merasa paling superior dari orang lain yang berbeda/tidak selaras dengan mereka.
Terakhir, perlu kita ingat bahwa karya sastra adalah cerminan sosial dari kehidupan nyata. Untuk itu, saya berharap Nussa bisa sedekat mungkin dengan realitas kehidupan masyarakat kita; kehidupan yang penuh keberagaman, tidak ada yang sama, dan tidak perlu semuanya menjadi sama. Agama, pemahaman, dan pendapat kita boleh berbeda tapi dalam kehidupan bersosial kita harus selalu rukun dan tidak perlu saling menyalahkan.