Tidak ada keraguan di antara kita bahwa shalat Jumat itu wajib. Fardhu ‘ain. Kecuali bagi lima golongan yang boleh meninggalkan shalat Jumat berjamaah dan cukup menggantinya dengan shalat Dhuhur biasa. Yakni budak, wanita, anak kecil, orang sakit, dan musafir. Anda bisa menemukannya dalam hadis riwayat Abu Dawud.
Sepintas saja, kita bisa mengerti dengan mudah bahwa pandemi Corona yang mengguncang dunia akhir-akhir ini dapat digolongkan kepada kelompok “orang sakit”. Mungkin Anda akan bertanya: lantas bagaimana dengan orang yang tidak sakit alias tidak/belum terbukti secara medis positif terinfeksi virus Corona?
Sebelum mengulas hal tersebut, saya ingin mengulik sisi lain perihal syarat-syarat wajib menjalankan shalat Jumat berjamaah ini pada dua aspek yang unik, yang jarang kita cermati. Yakni berapa jumlah jamaah sah shalat Jumat dan tempat apa yang sah jadi lokasi shalat Jumat?
Saya menemukan keterangan jeli dan unik dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd. Kita tahu kitab ini memuat kajian perbandingan antarfiqh, antarmazhab. Sejenislah dengan kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah az-Zuhaili.
Pertama, tentang jumlah sah jamaah shalat Jumat.
Pendangan Imam ath-Thabari sungguh mengejutkan: jamaah minimalnya ialah seorang imam dan seorang jamaah. Imam Abu Hanifah mengatakan minimal tiga makmum dan satu imam. Imam Syafii dan Imam Ahmad sama pendapatnya, yakni minimal 40 makmum dan satu imam. Imam Malik mengatakan minimal 30 makmum dan satu imam.
Mengapa mereka bisa begitu luas berbeda pendapat “hanya” soal jumlah jamaah sah shalat Jumat?
Ini bagian menariknya untuk kita jadikan pelajaran sekaligus timbangan-timbangan pemahaman terhadap jawaban “lingkup orang sakit” nantinya.
Ulama yang mengatakan sah jumlah jamaah shalat Jumat adalah satu imam dan satu makmum saja berdasar pada pemahaman bahwa shalatnya dua orang secara berjamaah telah memenuhi syarat berjamaah, sebagaimana shalat-shalat fardhu berjamaah lainnya.
Ulama yang mengatakan minimal dua makmum dan satu imam berdasar pada pemahaman bahwa imam tidak termasuk dalam bagian jamaah. Karenanya, satu imam harus minimal diikuti oleh dua makmum dan dua makmum inilah yang menyebabkan kondisi tersebut sah disebut shalat berjamaah. Begitupun ulama yang mengatakan minimal makmum adalah tiga orang dengan satu imam, mereka berdasar pada pemahaman bahwa jamaah itu adalah tiga orang dan imam tidak termasuk ke dalam hitungan jamaah. Dalam ilmu Nahwu, kita mengenal istilah jama’ itu berjumlah minimal tiga, bukan dua, dan nampaknya inilah dasar landasannya. Dan terus begitu rupa.
Imam Malik memiliki pendapat yang lebih kontekstual di sini. Beliau mengandaikan jamaah adalah sebuah perkampungan. Tentulah suatu perkampungan takkan dihuni oleh dua atau tiga atau empat orang saja. Beliau lalu “mengestimasikan” secara ijtihadi keumuman perkampungan-perkampungan di angka 30 orang makmum dan satu imam. Tetapi tepat di waktu yang sama, beliau pun menoleransi pandangan bahwa jumlah makmum tak harus 30 orang, tetapi pula tidak boleh sesedikit dua, tiga, empat, dan sekitarnya. Inilah dasar penyimpulan beliau kepada komposisi jamaah dengan estimasi penduduk suatu kampung. Sejumlah ulama lain tidak menyeratakan angka tertentu, tetapi relatif sama dengan pandangan Imam Malik ini, yakni “cukup banyak”, bukan hanya dua, tiga, empat, dan sekitarnya.
Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatakan minimal 40 makmum dan satu imam, dengan berdasarkan pada keterangan dari Abu Dawud (hadisnya berstatus hasan) bahwa dalam jumlah inilah untuk pertama kalinya shalat Jumat dijalankan oleh Rasulullag Saw.
Dalam hal tempat digelarnya shalat Jumat, para ulama juga berbeda pendapat. Abu Hanifah mewajibkan shalat Jumat dilaksanakan di kota atau wilayah kekuasaan. Karena dalih ini, musafir tidak dikenakan wajib shalat Jumat –berbeda dengan Mazhab Zhahiri yang mewajibkan shalat Jumat kepada musafir.
Imam Malik mengatakan bahwa shalat Jumat tak harus dijalankan di kota, karena hal itu tidak sesuai dengan keadaan asal (atau sifat asal) diwajibkannya shalat (yang tak mengenal batasan tempat). Lebih luas lagi, sejumlah murid Imam Malik sampai pada diskusi panjang perihal apakah shalat Jumat disyaratkan dilakukan di masjid saja dan (bahkan) apakah masjid tersebut harus memiliki atap atau tidak. Dan seterusnya.
Seluruh sumber perbedaan pendapat di antara para ulama terkemuka itu dikarenakan berbedanya mereka dalam memahami “syarat sah atau syarat kewajiban” shalat Jumat. Ada yang memisahkannya dengan tersendiri, ada pula yang menggabungkannya.
Rasulullah Saw hanya menjalankan shalat Jumat dengan berjamaah di kota dan di masjid. Ini contoh sumbernya.
Maka pertanyaan apakah “menjalankan shalat Jumat dengan berjamaah di kota dan di masjid” itu termasuk syarat sah atau syarat kewajiban shalat Jumat sama sekali tak sederhana dampaknya kepada penyimpulan hukum fiqhnya kemudian. Para ulama yang menjadikan segala apa yang dijalankan oleh Rasulullah Saw sebagai syarat sah, mereka menyatakan bahwa shalat Jumat harus dilakukan berjamaah di kota dan di masjid. Tetapi ada pula berbilang ulama yang hanya menggunakan sebagiannya sebagai syarat sahnya, bukan semuanya, sehingga mereka menyimpulkan shalat Jumat harus dijalankan dengan berjamaah di masjid tetapi tidak harus di kota. Inilah yang dianut oleh Imam Malik.
Lantas ada pula ulama lain yang mengambil aspek kewajiban shalat Jumat berjamaahnya saja, sehingga bagi mereka boleh menjalankan shalat Jumat di tempat selain masjid, baik di dalam kota atau tidak. Hari ini kita menyaksikan praktik ini di pelbagai gedung perkantoran di kota-kota besar. Saya pribadi pernah ikut shalat Jumat ala begini di sebuah gedung kantor di wilayah Senen, Jakarta.
Dengan nada “agak bercanda”, Ibnu Rusyd mengomentari seluruh karagaman pendapat ulama ini: “Semua syarat tersebut barangkali akan mempersulit. Padahal sejatinya agama Allah Swt itu mudah. Boleh jadi ada orang yang mengatakan kalau semua itu merupakan syarat-syarat sahnya shalat Jumat, tentu Nab Saw takkan tinggal diam, melainkan sudah beliau jelaskan.”
Ibnu Rusyd lalu menukil ayat-ayat berikut ini untuk mengukuhkan argumennya:
- An-Nahl ayat 44: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini melainkan agar engkau memberikan penjelasan kepada mereka tentang apa yang mereka perselisihkan itu.”
- An-Nahl ayat 64: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”
Kini saatnya untuk saya tambahkan berbagai keterangan naqli di titik ini.
Surat Maryam ayat 97: “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an dengan bahasamu agar kamu dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.”
- Al-Haj ayat 78: “Dan Kami tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan/keberatan apa pun bagimu.”
- Ash-Sharh ayat 5-6: “Karena sesungguhnya bersama (sesudah) kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh bersama (seudah) kesulitan itu ada kemudahan.”
Surat al-Baqarah ayat 185: “Allah Swt selalu menghendaki kepada kalian kemudahan dan tidak menghendaki kepada kalian kesulitan.”
Surat al-Baqarah ayat 286: “Allah Swt tidak akan membebankan kewajiban pada manusia kecuali dalam kadar kemampuannya.”
Surat at-Taghabun ayat 16: “Bertakwalah kepada Allah Swt menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahilah dirimu dengan nafkah yang baik.”
Hadis Rasul Saw dari riwayat Abu Hurairah: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang akan memperberat agama melainkan akan dikalahkan dan (dalam beramal) hendaklah bersikap pertengahan (yakni tidak melebihi atau mengurangi), dan bergembiralah kalian serta mohonlah pertolongan kepada Allah Swt dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat.”
Lalu Rasul Saw bersabda: “Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah dan jangan berselisih.” (HR Bukhari Muslim).
Dan Rasul Saw juga bersabda: “Mudahkanlah, jangan mempersulit, berilah kabar yang menggembirakan dan jangan membuat manusia lari (dari kebenaran).”
Cukup, ya. Kalau diteruskan cutatan dalil-dalilnya, niscaya akan ruah bagai bah bagian ini.
Sekarang mari kita kaji perihal “orang sakit” sebagai unsur kebolehan (ulangi dan catat tebal: kebolehan) tidak menjalankan shalat Jumat berjamaah dan cukup menggantinya dengan shalat Dhuhur biasa di rumah.
Jika kepada unsur yang terang dalilnya begitu (sharih) kita akan bisa mudah betul menyimpulkan pemahaman hukumnya, sebagaimana pula ditegaskan jumhur ulama, kini bagaimana dengan status pandemi Corona yang membuat bergidik semua kita?
Orang yang telah positif dinyatakan terinfeksi Corona, lalu diisolasi, jelas sharih statusnya. Bagaimana dengan orang-orang yang sehat walafiat tetapi secara ilmu kesehatan berisiko terpapar virus tersebut? Apakah ia pun boleh meninggalkan shalat Jumat berjamaah itu?
Kalau Anda bersandar pada hadis riwayat Imam Dawud tadi secara tekstual, sontak benderang Anda akan mengatakan tetap wajib. Anda tak salah, karena bunyi teksnya memang sebatas demikian. Tak salah secara tekstualistik.
Tetapi sebelum pandangan tekstual tersebut dilayar-kelindankan selaut-lautnya sebagai takwil tunggal, mari bersikap terbuka dulu kepada kemungkinan-kemungkinan pemahaman keilmuan yang lebih luas. Dan tepat di titik inilah operasi metode Ushul Fiqh akan sangat berperan luar biasa.
Shalat Jumat berjamaah adalah wajib. Oke, ini hukum pertama. Menjaga kesehatan dan kemaslahatan diri dan orang lain adalah wajib. Oke, ini hukum lainnya lagi. Agama Islam adalah agama yang tidak memberatkan, merumitkan, menyusahkan, apalagi mencelakakan. Oke, ini hukum lainnya lagi.
Narasi-narasi hukum tersebut bisa terus kita jembarkan dan gempalkan. Tetapi cukup dengan tiga tamsil hukum tersebut, kini kita bagai sedang berhadapan dengan tiga bentuk hukum sharih yang terasa saling bertentangan.
“Shalat Jumat berjamaah wajib”, tetapi jika kondisi riilnya berisiko “memicu madharat kepada diri dan orang lain”, maka ia bisa menjadi uzur syariat (sadd al-dzariah) sehingga dibolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat berjamaah (diganti dengan shalat Dhuhur biasa di kediaman masing-masing). Pandnagan hukum ini selaras saja dengan asas “agama Islam tidak memberatkan, apalagi membahayakan”.
Al-masyaqqat tajlibu al-taisir (keberatan bisa menjadi sebab bagi suatu kemudahan). Begitu di antara kaidah Ushul Fiqhnya. Al-dhararu yuzal, suatu marabahaya harus ditinggalkan. Begitu kaidah lainnya. Ma ubuhu li al-dharurah yaqdiru biqadriha (apa yang dibolehkan karena suatu kedaruratan, maka ia hanya boleh sesuai dengan kadar kedarutannya). Ini kaidah lainnya lagi. Dll.
Adanya kondisi khusus riil yang berisiko memicu madharat kesehatan bagi diri dan orang lain di tengah pagebluk Corona, inilah yang diistilahkan ‘illat (sebab, konteks, kondisi) yang dengannya suatu hukum dipengaruhi secara signifikan dasar pemahaman dan bentuk fiqhnya. Maka dikatakan dalam tradisi Ushul Fiqh bahwa perubahan suatu ‘illat akan menyebabkan berubahnya pula bentuk hukumnya walau tetap berdasar pada dalil yang sama.
Mari kita ambil contoh pembanding. Di al-Qur’an tertera ayat tentang pergi berjihad ke medan perang. Ya, jihad dalam artian angkat senjata melawan kuffar yang menzalimi muslim. Allah Swt bahkan mengecam dalam berbagai ayat orang-orang yang dengan berbagai dalih menolak pergi ke medan perang itu. Tetapi nyatanya juga ada ayat yang mengatakan supaya tidak semua orang mukmin terjun ke medan perang; hendaknya ada sebagian dari mereka yang menghidupkan dakwah dan menyebarkan ilmu. Lihat at-Taubah 122.
Pertanyaan kritisnya bisa begini: bukankah tidak masuk akal untuk dikatakan bahwa derajat mujahid selalu lebih tinggi dibanding mereka yang memilih tidak bejihad bukan karena dalih-dalih kemunafikan tetapi semata untuk mengambil posisi menyebar agama dan ilmu tadi? Bukankah yang masuk akal ialah keduanya memiliki derajat yang sama karena keduanya sama-sama berbicara dalam konteks jihad. Jadi, dapat dikatakan, jihad tak serta merta melulu dengan perang bersenjata, tetapi pula dengan syiar agama dan ilmu, bukan?
Jika paparan ini kita qiyaskan kepada pagebluk Corona, menjad mudah bagi kita untuk memahami secara logis bahwa uzur syariat yang menyebabkan orang sakit boleh meninggalkan shalat Jumat berjamaah juga bisa diambil oleh orang yang tidak sakit tetapi berisiko tinggi terinfeksi Corona tersebut. Ilmu kesehatan mutakhir telah menerangkan bahwa di antara cara meminimalisir risiko infeksi virus tersebut ialah menjalankan social distancing, yakni menghindarkan titik-titik keramaian dan kerumunan orang –yang ini di antaranya terjadi pada shalat Jumat berjamaah.
Lebih lanjut ingin saya terangkan hal-hal prinsipil di sini bahwa, pertama, syariat Allah Swt mustahil diwajibkanNya untuk membuat kita sengsara, menderita, dan terancam marabahaya.
Kedua, dengan menukil pendapat Ibnu Rusyd di atas, segala detail peribadatan bila ia bersifat mutlak, niscaya dicontohkan langsung oleh Rasuullah Saw sedetail-detailnya. Contohnya, kaifiyat shalat dan haji. Itu artinya kepada hal-hal yang tidak ditegaskan detailnya oleh Rasulullah Saw sendiri pastilah ia memuat ruang luas untuk kita kaji, takwili, dan simpulkan bentuk-bentuk hukumnya secara dinamis dan kontekstual.
Ketika hadis riwayat Abu Dawud tadi dituturkan, dengan hanya menerakan “orang sakit” sebagai uzur syariat kebolehan tidak menjalankan shalat Jumat berjamaah, maka sangat dimungkinkan kini untuk mengambil pemahaman qiyashi yang setimbang kepada orang yang berisiko terinfeksi virus Corona melalui medium kerumuman jamaah shalat Jumat itu. Yang tampak cenderung sebagai prioritas hukumnya (‘illat al-hukmi) pada kasus Corona ini bukan lagi soal kewajiban hukum menjalankan shalat Jumat berjamaah itu, melainkan hukum uzur syariatnya akibat adanya ‘llat baru itu. Dan ‘illat al-hukmi baru ini diterima luas oleh para ulama Ushul Fiqh sejak dahulu kala bisa menjadi sebab bagi lahirnya pemahaman hukum baru.
Bukti-bukti dari kaidah Ushul Fiqh atas kecenderungan prioritas hukum itu, yang bisa ditintakan di sini, di antaranya: dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menghindarkan kemadharatan/marabahaya harus lebih diprioritaskan daripada mendulang kebaikan). Bisa juga ditambahkan: al-dharurat tubihu al-mahdhurat (suatu kondisi darurat membolehkan bagi diambilnya langkah/sikap yang mengatasi unsur-unsur kedaruratan itu). Sebutlah, tidak sesuai dengan aturan dalam kondisi normalnya. Bisa tambahkan lagi: idza ta’aradha mafsadah wa mashlahah qaddama daf’un, (jika bertemu antara potensi keburukan dan kebaikan, maka dahulukanlah menolak keburukan itu). Dan masih banyak lainnya.
Bahkan, ada satu kaidah Ushul Fiqh yang begitu tajam menunjam pada kasus sejenis Corona yang notabene mutlak kebak risiko madharat ini. Saya nukilkan dari kitab Al-Fawaid al-Janiyah fi Nadmi al-Qawaid al-Fiqhiyah karya Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (beliau keturunan Padang, salah satu guru besar terkemuka di Mekkah).
Idza ta’aradha al-‘urfu wa al-syar’u qaddama al-‘urfu in lam yata’allaq bi al-syar’i hukmun, jika bertemu antara suatu kondisi tertentu (khas, lokal) dengan suatu syara’ maka hendaknya dahulukan aspek suatu kondisi tertentu tersebut sepanjang belum ada hukum yang terkait dengan suatu syara’ tersebut. Ini salah satu landasan metodis atas ungkapan di atas bahwa suatu ‘illat memungkinkan bagi terjadinya perubahan bentuk suatu hukum.
Kita bisa analisis begini: shalat Jumat berjamaah jelas merupakan kewajiban syara’. Ketika kewajiban hukum ini bertemu dengan suatu konsisi khusus lokal dan khas macam ancaman Corona, bagaimana hukumnya? Tidak ada hukum pasti yang menerangkan status hukum Corona ini. Ketiadaan hukum pasti ini secara syara’ telah memenuhi prinsip lam yata’allaq bi al-syar’i hukmun, sehingga masuk akal untuk dikatakan qaddama al-urfu. Atas dasar analisis kaidah tersebut, adanya konteks ancaman Corona sebagai kondisi ‘urf kita kini boleh dibenarkan untuk didahulukan sebagai pilihan dalil aqli bagi mereka yang memilih meninggalkan shalat Jumat berjamaah. Ini tidak bisa dikatakan melanggar syariat kewajiban shalat Jumat berjamaah; justru inilah ruang takwil fiqh yang dibuka luas oleh kerahmatan Islam melalui tidak disediakannya penjelasan detail oleh Rasulullah Saw langsung.
Untuk lebih meyakinkan analisis ini, mari kita nukil perihal shalat khauf, yakni shalat dalam keadaan takut akibat suatu tekanan keadaaan, misal perang (ini pun setara dengan status ‘urf tadi). Shalat jelas mutlak wajib secara syariat dengan kaifiyat detail yang telah ditutunkan Rasulullah Saw. Ketika umat Islam berada dalam kondisi khusus (‘urf) perang, Rasul Saw menjalankan shalat dengan tidak biasa, dengan cara-cara khusus, dan ini kita kenal sebagai shalat khauf. ‘Illat khusus kondisi perang itulah yang membuktikan sekaligus melandasi statemen para Ushuliyyin perihal dimungkinkan berubahnya bangunan suatu hukum syara’ seiring dengan berubahnya kondisi tertentunya. Apalagi kepada suatu syara’ yang tidak ada keterangan hukumnya tadi.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu nampaknya menjadikan peristiwa sejarah shalat khauf ini sebagai rujukan elaborasi bagi uzur syariat yang membolehkan tidak ikut shalat Jumat berjamaah karena adanya rasa takut. Takut pada keselamatan diri, adanya ancaman, marabahaya, bencana, dan lainnya. Tentu, termasuk pagebluk Corona ini. Saya tak menemukan keterangan sejenis dalam Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd.
Pandangan di atas akan lebih kokoh lagi bila digunakan metode qiyas kepada hadis Rasul Saw berikut:
Nafi’ telah bercerita kepadaku, ia berkata: “Abdullah bin ‘Umar pernah mengumandangkan azan di malam yang dingin di Dhajnan, lalu ia mengumandangkan (azannya): shallu fi rhalikum (shalatlah kalian di kendaraan-kendaraan kalian). Ia lalu mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh muazin mengumandangkan azan lalu di akhir azan diserukan: shalatlah kalian di kendaraan-kendaran kalian. Ini terjadi pada malam (yang sangat dingin) atau hujan (yang sangat lebat) di suatu perjalanan.” (HR. Bukhari).
Bila kepada kondisi berat macam malam yang sangat dingin dan hujan yang sangat lebat begitu telah dikategorikan sebagai uzur syariat shalat berjamaah, apalagi kepada kasus pagebluk Corona yang benar-benar mengancam kesehatan dan keselatamatan semua kita. Tentulah derajat ‘illat pagebluk Corona telah ahsan dan ashlah (muqaddam, lebih diutamakan) dibanding malam yang sangat dingin atau hujan yang sangat lebat tersebut.
Penting berpagi-pagi saya sertakan di sini bahwa asas syariat Islam secara Ushul Fiqh selalu berdenyar dalam lingkup tiga pilar ini: dharuriyat (kedharuratan), hajiyat (kebutuhan), dan tahsiniyat (kebaikan, kemaslahatan, keindahan). Shalat Jumat berjamaah walau berstatus hukum yang terang bisa berubah kondisinya bila umpamanya berbenturan dengan pilar dharuriyat tersebut. Makan babi haram hukumnya secara syariat, tetapi bisa menjadi boleh bila berbenturan dengan pilar dharuriyat tersebut. Shalat lima waktu wajib hukumnya, tetapi bisa dijama’ dan diqashar bila berbenturan dengan hajiyat safar. Pun puasa Ramadhan yang wajib hukumnya bisa bergeser untuk diqadha’ bila berbenturan dengan hajiyat safar atau sakit.
Belum lagi bila dilindapkan pula di sini perihal lima prinsip dasar spirit hukum Islam (al-kulliyat al-khams) yang bertujuan (maqashid al-syariah) untuk (1) hifdz al-din (menjaga agama), (2) hifdz al-nafs (menjaga kehidupan), (3) hifdz al-‘aql (menjaga akal sehat), (4) hifdz al-nasl (menjaga keturunan), dan (5) hifdz al-mal (menjaga harta). Inilah dimensi-dimensi prinsipil sekaligus spirit Ushul Fiqh yang bisa dioperasikan secara kontekstual sesuai kahanan (‘urf, ‘illat) kekitaaan, kekinian, kedisinian, cum kemaslahatan kemanusiaan, yang diberikan ruang longgar (saya sering menyebutnya “exit door hukum Islam”) oleh syariat Islam untuk dipergunakan dengan adil, tulus, tepat, baik, dan tentu otoritatif; dan inilah kiranya cermin agung dari watak Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Lantas, sekarang, pertanyaan berikutnya, bagaimana hukum shalat fardhu berjamaah di masjid di musim pagebluk Corona begini?
Jawabannya jauh lebih sederhana: bila kepada kewajiban menjalankan shalat Jumat berjamaah yang statusnya fardhu a’in begitu dimungkinkan untuk meninggalkannya karena dharuriyat ancaman Corona, apalagi kepada status hukum di bawahnya seperti jamaah shalat lima waktu yang dikatakan oleh jumhur ulama sebagai sunnah.
Memang Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah lima waktu adalah wajib, fardhu a’in; tetapi Imam Syafii mengatakan hukumnya fardhu kifayah dan karenanya sunnah. Hadis tentang ini pun tertera jelas dan populer. Tak perlu saya nukil lagi di sini.
Segala kajian panjang ini tidak pernah saya maksudkan untuk menyepelekan, meremehkan, apalagi berkhianat kepada Allah Swt. Na’udzubiLlah min dzalik. Astaghfiruka ya Allah ‘Azza wa Jalla.
Kajian ini adalah murni kajian ilmu Ushul Fiqh yang notabene merupakan sebuah metodologi ilmiah otoritatif dalam menggali dan menyimpulkan hukum Islam (fiqh) yang notabene tak bisa dicerabut dari konteks-konteks khusus, khas, dan tertentu yang melingkupi kehidupan nyata setiap umat Islam.
Saya tidak juga berpretensi mengatakan bahwa Anda mutlak tidak boleh menjalankan shalat Jumat berjamaah di masjid sebagaimana biasanya –maupun shalat jamaah lima waktu. Ataupun mengumbulkan panji bahwa inilah pandangan terbenar, terbaik, tersahih buat umat Islam. Tidak. Sama sekali tidak.
Penyimpulan hukum sejenis kajian ini juga telah dipublikasikan dengan luas oleh lembaga-lembaga otoritas Islam di pelbagai negara Islam, misal Kuwait dan Qatar. Ikatan Ulama Besar Al-Azhar, Mesir, hingga Tarjih Muhammadiyah dan MUI juga telah merilis publikasi serupa. Juga banyak kalangan, pihak, dan komunitas muslim lainnya. Semua itu janganlah diinferiorisasi sebagai kesewenang-wenangan akal dan nalar terhadap syariat Allah Swt; tetapi justru mencerminkan ikhtiar rasional untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan fiqh terashlah, terelevan, dan terkondusif bagi kewaiban menjaga kualitas kehidupan semua kita.
Tentu saja Anda boleh setuju atau tidak; tetapi apa pun yang lalu Anda pahami dan yakini pada konteks ini, marilah pergunakan akal sehat dengan adil dan otoritatif. Akal sehat adalah karuniaNya Swt; tidak ada kepatutan untuk mencampakkannya begitu saja atas nama apa pun, seperti lalu-lalang di sosial media dalam ungkapan-ungkapan ahistoris macam: “Jangan takut Corona, takutlah kepada Allah Swt semata; hidup-mati kita mutlak di tanganNya, bukan Corona; hanya orang munafik yang meninggalkan masjid; berkah Corona ialah ditampakkanNya mereka yang mukmin dan mereka yang munafik; Corona adalah tentara Allah Swt bagai ababil yang dikirimNya menghancurkan pasukan Abrahah; mati karena Corona setara dengan matinya mujahid”. Tidak begitu. Mari pergunakan akal sehat sebaiknya, sebagai jalan ikhtiar kita, dengan seadilnya, setulusnya. Bukankah telah nyata dikatakan: al-dinu ‘aqlun la dina liman la aqla fih, agama adalah akal sehat, tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal sehatnya.
Semoga Allah Swt senantiasa menjaga dan melindungi kita semua dari pagebluk Corona ini. Semoga pandemi ini segera berlalu dan kehidupan ibadah dan muamalah kita bisa kembali berjalan normal.
Wal ‘afwu minkum, wallahu a’lam bish shawab.