Begini Alasan Kenapa Sertifikasi Halal untuk Barang Elektronik Itu Penting

Begini Alasan Kenapa Sertifikasi Halal untuk Barang Elektronik Itu Penting

Lembar sertifikasi halal menjadi jaminan suatu produk atau barang agar tidak terkontaminasi unsur najis yang terdapat di dalam proses pembuatannya.

Begini Alasan Kenapa Sertifikasi Halal untuk Barang Elektronik Itu Penting
Kulkas Halal muncul, bagaimana sih kita bersikap?

Pernahkah kamu bertanya-tanya kenapa barang daya guna seperti kulkas, rice cooker, alat makan, dan masih banyak lagi perlu mendapat sertifikasi halal?

Jujur, awalnya saya juga sempat meremehkan kebutuhan sertifikasi halal untuk barang-barang tersebut. Tapi, setelah mempelajari lebih lanjut, saya mencoba memahami itu dengan perspektif lain.

Jadi, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, produk obat-obatan, kosmetik, dan barang gunaan juga harus bersertifikat halal. Dari sini, muncul-lah sertifikasi halal untuk barang daya guna yang mungkin terdengar nyeleneh, seperti sandal, kerudung, dan aksesori lainnya.

Lalu, apa sih alasan di balik gencarnya sertifikasi halal ini?

Tentu saja, tujuannya adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia. Kita ingin memberikan jaminan bahwa produk-produk kita adalah suci dan terbebas dari unsur-unsur yang dapat mengubah dzat dan sifat barang tersebut menjadi najis.

Nah, di dalam literatur fikih ada istilah “istihalah” yang bermakna perubahan sifat benda karena adanya perubahan wujud atau dzat benda tersebut.

Sebagai contoh, perasan anggur pada awalnya bersifat suci baik wujud maupun dzatnya. Tapi, ketika perasan anggur tersebut berubah dzatnya menjadi arak yang bersifat najis, maka sifat perasan anggur tersebut juga berubah menjadi najis.

Hal itu juga berlaku pada barang perabot rumah tangga. Misalnya, keramik/porselen Fine Bone bikinan Cina yang salah satu komposisi pembuatannya menggunakan tulang babi.

Keramik/porselen tersebut pada awalnya memang bersifat suci, tapi setelah terkontaminasi unsur tulang babi, sifatnya pun berubah menjadi najis.

Menurut fikih mazhab Imam Syafi’i, istihalah tidak dapat mengubah dzat yang pada mulanya najis menjadi suci, kecuali dalam beberapa kondisi seperti bangkai yang disamak (selain babi dan anjing), arak yang berubah menjadi cuka secara alami, dan darah rusa yang berubah menjadi minyak misik.

Jadi, bisa dibayangkan jika ada sebuah produk daya-guna yang dalam proses produksinya terkontaminasi oleh hal-hal yang bersifat najis seperti babi dan anjing. Tentu saja, sifat produk tersebut akan berubah mengikuti sifat dari hal-hal najis tersebut.

Nah, setidaknya inilah satu alasan mengapa sertifikasi halal untuk barang daya guna sangat penting. Dengan adanya sertifikasi halal, kita bisa memastikan bahwa produk-produk tersebut bebas dari unsur-unsur yang bersifat najis dan aman digunakan oleh umat muslim.

Jadi kita harus jeli dan waspada terhadap hal-hal yang bisa mengubah dzat dan sifat barang menjadi najis.

Apalagi bagi seorang muslim, najis adalah hal yang (harus) dihindari. Hal ini setidaknya karena dua alasan: makanan dan salat.

Makanan yang terkena najis (atau dihukumi najis) memiliki status haram dikonsumsi, sementara salat tidak sah jika terdapat najis pada badan, pakaian, atau tempat salat.

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan hukum menghindari najis:

ولا يجب اجتناب النجس في غير الصلاة، ومحله في غير التضمخ به في بدن أو ثوب فهو حرام بلا حاجة

Maknanya kurang lebih: seseorang tidak diwajibkan untuk menghindari najis kecuali ketika salat, dan tidak diperbolehkan seorang individu sengaja menyentuhkan badan atau pakaian mereka dengan najis tanpa adanya tujuan yang dilegalkan oleh Syariat.

Dasar-dasar itulah yang kemudian menjadi urgensi sertifikasi dan standarisasi halal untuk produk barang daya guna. Sebab, lembar sertifikasi halal itulah yang menjadi jaminan suatu produk tidak mengalami istihalah (dari suci jadi najis) lantaran kontaminasi unsur najis yang terdapat di dalam proses pembuatannya.

BPJH selaku perpanjangan tangan dari pemerintah berhak menyertakan barang daya guna masuk ke dalam produk yang harus punya lisensi halal, sebagai langkah preventif untuk mengamankan produk dari kontaminasi unsur najis yang mengistihalahi benda tersebut.

Apalagi, saat ini Indonesia sedang ada di tengah misi untuk menjadi pusat produk halal dunia, yang kemungkinan besar (akan) membuka kran pemasaran produk halal itu ke luar negeri. Tentunya, sertifikasi dan standarisasi halal barang daya guna jadi hal yang (memang) dibutuhkan sebagai asuransi produk halal untuk pasar muslim di negara minoritas Islam.

Memang, urgensi sertifikasi halal produk daya guna tidak begitu tampak di negara mayoritas muslim terbesar dunia. Seolah produk atau barang yang diedarkan dan dijual (selalu) halal dan bebas dari istihalah. Tapi, benarkah demikian?