Virus Corona jenis baru atau Covid-19 masih menghantui publik hingga saat ini. Kabar terbaru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah resmi mengumumkan Corona sebagai pandemi.
Sejak awal kemunculannya, respon terhadap virus yang muasal dari Wuhan ini sungguh beragam. Ia tidak saja dibuat lucu-lucuan (yang haqqul yaqin sebetulnya sangat tidak lucu!!), tetapi juga menciptakan kepanikan massal. Jumlah korban terdampak masih bertambah. Sedikitnya 81.000 orang di dunia telah terinfeksi Covid-19 yang juga menyebabkan hampir 3.000 kematian.
Indonesia tidak ketinggalan. Segera setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua WNI resmi terdampak Covid-19 pada Senin (2/03/2020), publik menjadi histeris. Sampai artikel ini ditulis, telah terdapat 34 kasus pasien positif Corona di Indonesia (detikcom, 11/03/2020)
Meski begitu, temuan ini sekaligus mengkonfirmasi keraguan sebagian peneliti atas kondisi belum ditemukannya kasus Covid-19 di Indonesia—termasuk kajian Harvard—di tengah menjamurnya sejumlah kasus yang terpapar penyakit ini di dunia. Saat itu, salah satu tanda tanya besar yang menggentayangi para peneliti adalah kemampuan Indonesia dalam mendeteksi virus Corona dan potensi risiko penyebarannya.
Bagi saya, kepanikan massal menyikapi Covid-19 di Indonesia—yang dirayakan dengan, salah duanya, “pengucilan” warga tedampak, dan lonjakan harga masker yang kelewat tidak wajar— itu menjadi masuk akal. Ada beberapa alasan yang akan saya ajukan di sini.
Pertama, lemahnya disiplin privasi. Menyadur Harian Kompas (03/03/2020), kecemasan publik segera meledak menyusul pengumuman Presiden Jokowi tentang WNI positif Covid-19. Bahkan, Ketua RW tempat pasien berdomisili, Teguh Prawiro, dikabarkan menyesalkan cara komunikasi pemerintah terkait Covid-19. Pasalnya, pasien yang bersangkutan baru menyadari kalau dirinya tertular virus setelah pengumuman resmi Presiden Jokowi. Alhasil, dengan kebesaran hati, si pasien mengizinkan status kesehatan dirinya diumumkan kepada warga setempat, semata untuk alasan kebaikan bersama.
Celakanya, warga kelewat beringas. Identitas lengkap si pasien justru disebarkan kepada khalayak lebih luas lewat media sosial, bil khusus melalui grup-grup percakapan daring. Psikologis pasien tentu saja dipertaruhkan. Sudah begitu, sebagian pewarta dari sejumlah media ikut-ikutan memamerkan identitas korban, seolah-olah pasien yang bersangkutan adalah kriminal yang paling dicari.
Korban pemerkosaan kena stigma, pasien HIV dikucilkan, sekarang yg kena COVID-19 juga dipermalukan. Jadi apa yg salah? Yang salah narasi dan storytelling nya. Kalian para jurnalis punya andil, berhentilah mengcapture korban dan pasien layaknya monster
— Shela Putri Sundawa (@oxfara) March 4, 2020
Kedua, tidak dimungkiri jika kita terkadang mengidap “rasa penasaran yang tinggi”. Sayang, ini tidak diikuti oleh hasrat belajar yang tinggi pula. Akibatnya, kita cenderung menjadi manusia yang parsial, pasif, gegabah, dan berujung pada misinformasi yang terus direproduksi.
Serupa dengan itu saya jadi teringat pada serial Netflix berjudul Sex Education. Ceritanya, penyakit klamidia dikabarkan mewabah di sebuah sekolah menengah favorit. Situasi menjadi semakin parah ketika kabar tersebut kadung menyebar secara serampangan serta menyebabkan kegaduhan publik.
Dan, ya, semua menjadi panik. Di tengah kepanikan itu, seorang siswa menyebar kabar bahwa klamidia dapat menular lewat udara. Tak butuh waktu lama masker pun ludes dalam sekejap, meski harganya tak lagi masuk akal.
Maka, sewaktu diselenggarakan rapat sekolah, seorang wali murid yang kebetulan mempunyai cukup pengetahuan soal klamidia memberi interupsi. Begini kira-kira verbatimnya:
“I believe what we’re dealing with here is an outbreak of STI hysteria, rather than an outbreak of chlamydia. You can not catch this disease through breathing. It is spread through genital fluids exchanged during unprotected sex. However, it is the misinformation about the disease that’s hugely problematic. It comes shrouded in shame and misunderstanding. And, it is precisely how this kind of hysteria is spread.”
“Aku percaya yang kita hadapi di sini adalah wabah histeris stadium kronis, alih-alih klamidia. Klamidia tidak bisa menular lewat pernapasan, melainkan disebabkan oleh hubungan seksual dengan penderita. Bagaimanapun, kesalahpahaman soal penyakitlah yang jadi inti masalahnya. Masalah tersebut jadi tertutup oleh rasa malu dan salahpaham. Dan justru begitulah histeria semacam ini menyebar.”
Betapapun, Menkes Terawan ada benarnya. Kendatipun harus diakui kalau ia memang sempat kena bully habis-habisan di media sosial sewaktu menganjurkan untuk tidak memakai masker bagi kita-kita yang sehat.
Memakai masker, dengan demikian, tidaklah dianjurkan bagi yang merasa sehat. Kabarnya, WHO sendiri yang bilang begitu. Sebaliknya, masker hanya diperuntukan untuk yang sakit dan siapa saja yang sedang berinteraksi dengan pasien. Jadi, apakah histeria publik yang mengakibatkan pemborongan masker beberapa waktu lalu itu adalah sikap berlebihan?
Bisa jadi, iya. Namun, ini pun bisa dimaklumi. Mengapa?
“However, it is the misinformation about the disease that’s hugely problematic. It comes shrouded in shame and misunderstanding. And, it is precisely how this kind of hysteria is spread”, begitu, sekali lagi, kata Dr. Milburn.
Dan, misinformasi itu akan semakin paripurna ketika dibumbui oleh sebuah misunderstanding yang semula bermaksud heroik, padahal sebetulnya merugikan. Beruntung, masih banyak pihak yang memiliki kewarasan berpikir untuk meluruskan kesalahpahaman itu.
Pak, "kasus 25" itu sebutan untuk pasiennya, karena tidak bisa menyebut nama. Jadi itu yang meninggal 1 pasien, yakni pasien "kasus 25", bukan 25 pasien 🙂🙏🏻 https://t.co/SYLRxm64WC
— Cania Citta (@cania_citta) March 12, 2020
Ketiga, tafsir keagamaan yang serampangan dan tendensius. Jadi, ada semacam kelatahan atau kecenderungan masyarakat, muslim garis genit khususnya, untuk buru-buru mengidentifikasi suatu bencana sebagai azab. Nasib Corona pun tidak lebih baik dari gempa atau tsunami di beberapa daerah yang oleh sejumlah dai populis masa kini dipandang sebagai murka Tuhan.
Adalah Ustaz Abdus Shomad (UAS) yang waktu itu sempat bilang bahwa virus Corona sebagai balatentara Allah. Ceramahnya pun viral. Belakangan UAS menambahkan kalau dirinya sedang menafsir Q.S. al-Fīl: 1-5, tentang kepongahan Raja Abrahah yang diruntuhkan oleh burung Ababil.
Sungguhpun demikian, ini tidak bisa dibenarkan. Artinya, kendati UAS mengucapkannya sebagai salah satu kemungkinan tafsir—yang konon diadaptasi dari Muhammad Abduh, seorang tokoh mufasir revolusioner Mesir—, ia jelas sekali menganalogikan Corona laksana Ababil, dan Pemerintah China, dengan demikian, adalah Abrahah yang hendak menghancurkan “Ka’bah”, atau Muslim Uyghur.
Namun, sekali lagi, metafora itu kelewat kacau. Menyebut Covid-19 sebagai azab itu sungguh mengada-ada, mengingat pesebarannya dalam skala global saat ini begitu cepat, tidak peduli warna kulit dan agama. Buktinya, Indonesia yang seringkali mengklaim dirinya sebagai negeri yang paling Muslim ketimbang muslim itu sendiri senyatanya juga terdampak.
Oh, kalau begitu berarti ini adalah ujian. Ya, benar sekali. Covid-19 merupakan ujian bagi kita semua, tidak peduli Anda mengimani Tuhan yang mana. Demikian juga bagi tenaga medis, bagi pewarta, bagi pendakwah, bagi rakyat biasa, dan tentu saja bagi penyelenggara negara agar lebih serius merapatkan barisan (ukhuwah) melawan sebuah virus yang sialannya sempat dikait-kaitkan dengan buku iqra’ oleh warga +62.