Tanpa curiga apalagi sikap sinis, nenek itu memberi sesuatu yang diminta seorang pemuda: sejumput nasi dan sebotol air untuk berbuka puasa sore itu. Dari penampilan pemuda itu tentu bukan orang susah macam si nenek. Wajahnya bersih, bajunya tak lusuh, tubuhnya juga masih sehat. Pokoknya tak kelihatan mirip gelandangan. Singkatnya, pemuda itu bukan orang yang “layak” dibantu.
Si pemuda memang bukan gelandangan beneran. Tapi, salah satu kru program TV yang tengah berpura-pura minta tolong pada si nenek. Ini reality show di salah satu stasiun televisi yang mencari orang-orang yang berjiwa sosial. Mereka yang menolong atau membantu secara ikhlas akan diberi imbalan rupiah, termasuk si nenek yang mendapat seratus ribu rupiah.
Bagi kebanyakan orang di kota metropolitan ini, sikap si nenek kelihatannya jadi barang langka. Jangankan mau membantu, tak dicurigai maling saja sudah syukur. Sebab kata orang hidup di Jakarta itu harus hati-hati alias curiga. Antara orang baik dan jahat juga tak jelas bedanya. Begitulah wajah Jakarta bukan?
Tapi, saya terharu. Meski ia sendiri bukan orang yang serba kecukupan, si nenek masih bisa menolong tanpa pamrih dan pandang bulu. Rasanya untuk makan saja ia masih kesulitan. Mungkin sehari makan, sehari berpuasa. Si nenek tak punya pekerjaan. Bersama sang suami yang renta, mereka menempati gubuk reot beratap tenda biru di tepi jalan, di seberang gedung-gedung pencakar langit, tempat orang-orang yang acapkali lebih merasa miskin dibanding mereka berdua.
Dan saya semakin yakin, mereka yang katanya miskin nyatanya lebih kaya ketimbang mereka yang betul-betul kaya itu. Seorang kawan juga pernah bercerita. Dulu, saat ada pendataan orang-orang miskin di kampungnya, tak banyak orang mengaku miskin. Tapi, saat tahu akan ada bantuan dana bagi si miskin, eh… tiba-tiba banyak yang lantas jatuh miskin. Sampai-sampai, pejabat-pejabat pemerintah daerah pun ngaku-ngaku miskin.
Jadi, kemiskinan ini memang hal yang relatif. Orang yang miskin bukan berarti orang yang tak punya harta. Tak sedikit orang yang betul-betul kaya itu malah yang merasa sangat miskin. Coba dipikir, kurang apa sebenarnya para koruptor itu! Punya mobil mewah, rumah mewah, perabotan mewah, dan baju serba mewah. Tapi, ya itu tadi, nyatanya mereka masih merasa kurang sampai harus mengkorup milik jutaan si miskin.
Soal kemiskinan juga soal ketidakseimbangan. Orang bisa dikatakan miskin karena memang ada di situasi yang tak seimbang antara kemiskinan material dan spiritual. Mereka yang miskin spiritual biasanya kaya secara material. Sebaliknya, mereka yang kaya spiritual biasanya miskin secara material.
Dua model kemiskinan ini sama-sama punya sisi negatif. Tapi, memiliki takaran yang berbeda. Kata Nabi, yang miskin materi itu lebih dekat pada kekufuran. Yang kaya materi apalagi, cenderung mengubah perangai orang jadi Qarun yang tamak seperti dikisahkan Al-Quran.
Dengan begitu, maka kekayaan itu berarti sebuah pencapaian menuju keseimbangan antara kekayaan material dan spiritual. Dan di sinilah fungsi penting agama: penyeimbang dan spirit menuju keseimbangan. Banyak ayat dan ajaran tentang ini. “Capailah duniamu, tapi jangan lupakan akhiratmu”. Ini keseimbangan. Juga pesan di balik susunan kata Al-Quran antara shalat dan zakat yang ditegaskan berulang-ulang: dirikan shalat dan tunaikan zakat.
Jika shalat jadi sarana pencapaian spiritual, dan karena dianjurkan hanya untuk mereka yang berkecukupan, maka zakat adalah simbol kekayaaan material. Dan penyandingan kata shalat dan zakat tidakkah menjadi pesan untuk mencapai keseimbangan antara yang spiritual dan material?