Tepuk anak soleh
Aku anak soleh
Rajin Ngaji
Rajin sholat
Orang tua, dihormati
Cinta Islam, sampai mati
Lailaha illallah Muhammadur Rosulullah
Islam, Islam Yes …
Kafir, kafir No …
Tepuk itu menggema pada suatu sore saat latihan Pramuka di SDN Timuran kota Yogyakarta. Peserta kegiatan KML (Kursus Mahir Lanjutan) untuk calon pembina yang memimpin tepuk yang dikenal dengan Tepuk anak soleh dihadapan anak didik Pramuka di SD tersebut, menjadi viral karena postingan di status Whatsapp salah satu wali murid yang keberatan atas kalimat kalimat terkahir dari tepuk terebut, Kafir.. kafir … No!!
Sebenarnya polemik tentang yel-yel tersebut sudah pernah ramai tahun 2017 lalu, tepatnya di Banyumas tepatnya. Waktu itu ramai dipersoalkan karena diajarkan di TK dan kegiatan belajar Pra Sekolah, dan bahkan sudah lama di nyanyikan di TK Aisyiah dan TK Al Irsyad.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Pak Muhadjir Effendi, bahkan juga memberi tanggapan, “Sudah benar (Tepuk tangan itu-red) dan tidak Intoleran.”
Tentu saja, kita bisa mendebat. Mari kita bahas sedikit, sebenarnya lagunya bagus, pesannya juga positif, mengajarkan tentang cinta Islam, rajin Sholat, mengaji, cinta pada orang tua, namun ketika ada kalimat, Islam yes, Kafir No kemudian yang dikhawatirkan nanti menjadi preseden buruk bagi toleransi keberagaman anak-anak kita.
Anak-anak TK dan SD pada posisi masih belum bisa menelaah secara logis apa yang mereka nyanyikan, mereka hanya paham bahwa Islam Yes, dan kafir No, kafir adalah yang tak Islam, dan harus No, harus tidak. Bagaimana jika kemudian anak muslim tak mau berkawan dengan temannya yang Non muslim? Kenapa tak mau berteman? Kan dilagu tepuk anak soleh, Islam Yes, Kafir No, dia kafir, jadi saya No berteman dengan dia. Sekali lagi, ini sangat berbahaya.
https://twitter.com/kumparan/status/1216721925961064450
Kenapa pada Kafir harus No? kenapa harus ada sekat iya dan tidak, harus ada sekat benar dan salah, agama Islam dan agama lainnya juga, saya yakin tak mengajarkan tentang eklusivitas dalam berkehidupan, apalagi seperti di Indonesia dengan pemeluk agama yang beragam. Jika semaian sekat antara muslim dan kafir sudah diperuncing pada masa kanak-kanak mereka, kita bisa bayangkan, kelak bagaimana ketika mereka dewasa?
Toleransi adalah sikap yang harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak kita. Kelak ketika dewasa, mereka akan berada dalam kehidupan yang beragam, jangan kemudian sebaliknya, diajarkan menjadi eklusif. Efeknya, menjadikan makna muslim dan kafir sempit dan di level tertentu membuat intoleransi semakin subur.
Kecintaan pada agama, tak harus menyalahkan agama orang lain bukan?
Dalam kasus ini, saya tidak sependapat dengan Statement Pak Muhadjir di atas tersebut. Entah, saya tidak tahu kalau menteri sekarang. Yang jelas, untuk menjadikan anak-anak kita soleh, tak perlu dengan meneriakkan kafir, kafir No… untuk apa?
Kita barangkali sudah jengah atas ulah kelompok-kelompok Islam ultra konservatif dan tekstual yang beragama dengan kaku, jangan tambah lagi dengan semaian intoleransi pada anak-anak kita walaupun itu hanya yel-yel untuk penyemangat mereka. Toh masih ada ribuan yel-yel lain yang bagus dengan tidak menjelekkan mereka yang tak sama iman dengan kita.
Anak-kita adalah masa depan peradaban Indonesia, keberagaman iman adalah keniscayaan bangsa ini, jangan robek tenun indah kebhinekaan ini dengan memperlebar sekat perbedaan iman. Kita masih ingin melihat anak cucu kita menghirup udara damai dalam kebersamaan di pertiwi tercinta ini.