Dalam rangkaian satu abad Qudsiyyah digelar acara “Mendaulat Shalawat Asnawiyyah sebagai Shalawat Kebangsaan” oleh Cak Nun bersama Kyai Kandjeng (3/8/2016). Pada hakikatnya acara itu adalah penegasan kembali tentang keberadaan shalawat Asnawiyyah yang sangat memiliki nilai cinta bangsa dan do’a abadi kedamaian Indonesia. Sebelum Cak Nun, Habib Syekh sudah membawa shalawat Aswiyyah dikumandangkan setiap majelis shalawat, baik di dalam negeri atau luar negeri.
Dan jauh sebelum itu, para kyai dan santri KHR Asnawi juga sudah mengenalkan dan mempopulerkan shalawat karya Mbah Asnawi ini. Buktinya nyata, bahwa di pesantren berbasis NU sangat mengenal bait-bait shalawat Asnawiyyah tersebut. Lagu dan nada pelantunannya memang berbeda-beda sesuai dengan selera dimana shalawat itu dikumandangkang.
Bagi generasi masa sekarang, memang sangat perlu penegasan kembali eksistensi shalawat ini. Tepat jika momentum satu abad menjadi pijakan untuk mendaulat shalawat Asnawiyyah sebagai shalawat kebangsaan. Dan pasca mendaulat, masih banyak PR yang harus dilakukan. Sebab jika hanya didaulat saja, maka akan sepi dari makna aslinya. Sebab shalawat itu adalah kalimat yang perlu dilafadzkan, bukan hanya didaulat.
Maka yang paling penting hari ini adalah mencetak generasi shalawat, kader yang cinta shalawat dengan membaca shalawat Asnawiyyah. Akan lebih mulia jika pembacaan shalawat Asnawiyyah dijam’iyyahkan dan dirutinkan. Maka jam’iyyah seperti Rebana Al Mubarok Qudsiyyah menjadi salah satu garda depan penjaga eksistensi shalawat Asnawiyyah. Sudah 11 album yang dikeluarkan oleh Al Mubarok selalu mengumandangkan shalawat Asnawiyyah.
Bagaimana isi dari shalawat Asnawiyyah sehingga layak disebut shalawat kebangsaan? Pertanyaan ini selalu saya terima dari banyak kawan yang masih belum paham secara detail isi dari shalawat itu. Maka ada tanggung jawab akademik yang harus dijelaskan. Penulis dengan segala kekurangan berikhtiyar membaca hermeneutika shalawat Asnawiyyah.
Sang pencipta shalawat Asnawiyyah bernama KHR Asnawi yang hidup di abad 19. Sosok Kyai Asnawi dikenal sebagai pejuang kemerdekaan dan penjaga garis Islam ahlussunnah wal jama’ah. Kiprahnya tidak hanya di lingkup lokal Kota Kudus, tetapi kiprah di level nasional dan internasional. Dalam bidang karya tulis, Mbah Asnawi juga melahirkan banyak karya: Fashalatan, Mu’taqad Seket, Fiqhun Nisa’ dan Syi’ir-Syi’ran Nasehat. Yang paling khas dikenal dari karya Mbah Asnawi adalah shalawat Asnawiyyah.
Dalam hal karya tulis, Mbah Asnawi memiliki karakter seperti gurunya KH Muhammad Sholih bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat). Dua tokoh ini meninggalkan karya-karya yang menggunakan bahasa Jawa dengan huruf pegon al-Marikiyyah. Dalam hal ketegasan menolak penjajah, pengaruh Mbah Sholeh Darat dalam pribadi Mbah Asnawi sangat kuat. Terbukti Mbah Asnawi sangat menolak dasi, celana dan pakaian yang menyerupai Belanda.
Sikap itu juga dimiliki oleh Mbah Sholeh Darat yang ditulis dalam Kitab Majmu’atus Syari’ah halaman 25: “Sopo wonge nganggo penganggone liyani ahli Islam kaya klambi jas, topi utowo dasi, moko dadi murtad rusak Islame senadyan atine ora demen” (barang siapa yang memakai pakaian yang bukan milik Islam seperti jas, topi dan dasi, maka ia menjadi murtad dan Islamnya rusak. Walaupun hatinya tidak suka).
Dari profil singkat itu dapat diketahui, bahwa rasa kebangsaan yang dimiliki oleh Mbah Asnawi memang didasarkan ajaran-ajaran gurunya, termasuk meniru Rasulullah dalam memperjuangkan agama Islam. KHR Asnawi paham betul bahwa Indonesia saat itu sangat membutuhkan kekuatan Islam dengan model damai. Shalawat Asnawiyyah yang diciptakan itu menandakan bahwa pribadi Mbah Asnawi adalah pribadi ulama yang sangat kuat cinta bangsanya.
Isi dari shalawat ini adalah sebagai berikut:
يَا رَبِّ صَلِّ عَلَى الرَّسُوْ * لِ مُـحَمَّدٍ سِرِّ العُلَا
وَالأَنْبِيَا وَالـمُرْسَلِيْــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ * نَ الغُرِّ خَتْمًا أَوَّلَا
يَا رَبِّ نَوِّرْ قَلْبَنَـــــــــــــــــــــــــــــــــا * بِنُوْرِ قُرْأَنٍ جَلَا
وَافْتَحْ لَــنَــــــــــــــــــا بِدَرْسِ أَوْ * قِرَاءَةٍ تُرَتـَّـــــــــــــــــــــــلَا
وَارْزُقْ بِفَهْمِ الأَنْبِيَـــــــــــــــا * لَنَا وَأَيَّ مَنْ تَلَا
ثَبِّتْ بِهِ إِيْـــمَانَـــنـَـــــــــــــــــــــــا * دُنْيَا وَأُخْرَى كَامِلَا
أمان أمان أمان أمان * بِانْدُنْسِيَا رَايَا أَمَانْ
أمين أمين أمين أمين * يَا رَبِّ رَبَّ العَالـَمِيْن
أمين أمين أمين أمين * وَيَا مُـجِيْبَ السَّائِلِيْن
Dari sebelas bait shalawat Asnawiyyah ini memang terkandung makna yang sangat luar biasa. Ruh yang paling inti adalah pujian kepada Rasulullah Saw. Sebab esensi dari shalawat adalah sanjungan kepada Nabi Muhammad Saw yang memiliki rahasia kehidupan. Do’a untuk penyinar hati juga disanjungkan dengan tuntunan al-Qur’an. Rasa cinta kepada al-Qur’an juga diaktualisasikan dengan mahirnya dalam membaca dan mengaji secara tartil. Dan itulah rizki yang sangat dinanti. Penguatan keimanan dan keselamatan dunia sangat dinanti. Do’a yang dipanjatkan setelah itu adalah keamanan bagi bangsa Indonesia. Kalimat qabul disandarkan pada Allah Swt.
Itulah hebatnya shalawat Asnawiyyah yang jika dibedah memiliki lima dimensi yang tidak bisa dipisahkan: Pertama, dimensi ketuhanan. Bahwa semua orang yang hidup selalu bergantung pada kekuasaan Allah. Kedua, dimensi kenabian. Bahwa Rasulullah Saw adalah figur idola yang sangat dinantikan syafa’atnya. Ketiga, dimensi Qur’ani. Untuk memahami Islam yang perlu dipegang adalah al-Qur’an dengan membaca isinya (paham bahasa Arab dan tafsir) dan ahli tarlil (paham tajwid dan ilmu al-Qur’an). Keempat, dimensi teologi. Penegasan keimanan dalam agama Islam itu menjadi sangat penting sebagai bekal selamat di akhirat. Dan kelima, dimensi kebangsaan. Mbah Asnawi memberi pesan bahwa empat dimensi yang terkandung dalam isi shalawat itu tidak akan mudah diwujudkan jika negara dalam kondisi tidak aman. Maka do’a untuk Indonesia aman, damai, gemah ripah loh jinawe itu yang dimaksudkan dari isi shalawat ini.
Jadi sangat mulia sekali isi shalawat ini. Dan perlu ditegaskan bahwa karya Mbah Asnawi yang berisi tentang nilai kebangsaan tidak hanya berupa shalawat Asnawiyyah ini. Hampir semua sya’ir-sya’ir yang dikaryakan selalu menyinggung tentang pentingnya cinta agama dan cinta bangsa Indonesia. Maka tepat jika, KH Musthofa Bisri menyebut bahwa KHR Asnawi adalah orang ‘alim yang sangat Indonesia, bukan kearab-araban walaupun lama di Arab. Maka sudah saatnya kita mempopulerkan shalawat Asnawiyyah sebagai shalawat kebangsaan. Wallahu a’lam.[]
Rikza Chamami adalah Alumni Qudsiyyah 2000, Dosen UIN Walisongo & Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang.