Dewasa ini, karena alasan kepraktisan dan dalam rangka mobilitas sehari-hari, banyak kaum hawa memilih menggunakan pakaian yang didesain berupa celana. Kadang celana itu terbuat dari bahan jeans, katun dan sejenisnya. Kadang juga, celana ini terbuat dengan jenis celana pensil / press body. Kebiasaan ini mau tidak mau mengundang pertanyaan: bolehkah memakai pakaian semacam bagi mereka? Untuk inilah, maka kami hadirkan sedikit kajian tentang aurat, persoalan menutup aurat dan batasan pakaian untuk bisa masuk kategori menutup aurat dan terakhir khususnya dikaitkan dengan beberpa mode celana yang didesain untuk perempuan di atas.
Pengertian Aurat dan Dalil Menutup Aurat
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan aurat, adalah:
مَا يَحْرُمُ كَشْفُهُ مِنَ الْجِسْمِ سَوَاءٌ مِنَ الرَّجُل أَوِ الْمَرْأَةِ، أَوْ هِيَ مَا يَجِبُ سِتْرُهُ وَعَدَمُ إِظْهَارِهِ مِنَ الْجِسْمِ، وَحَدُّهَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الْجِنْسِ وَبِاخْتِلاَفِ الْعُمْرِ، كَمَا يَخْتَلِفُ مِنَ الْمَرْأَةِ بِالنِّسْبَةِ لِلْمَحْرَمِ وَغَيْرِ الْمَحْرَمِ
Artinya:
“[Aurat adalah suatu ] bagian dari badan yang haram dibuka, berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain aurat adalah bagian dari badan yang wajib ditutup bersama ketiadaan menampakkannya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Kementerian Koordinator Bidang Wakaf dan Agama Islam Kuwait, tt.: Juz 31, halaman 44)
Walhasil hukum menutup aurat menurut definisi di atas, adalah wajib. Dasar kewajiban ini adalah nash. Pertama, berdasarkan Surat an-Nur [24] ayat 31, yang mana Allah SWT berfirman:
وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِہِنَّۖ
Artinya:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (Q.S. an-Nur [24]: 31)
Kedua, berdasarkan Surat al-Ahzab [33] ayat 59, Allah SWT juga berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ
Artinya:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (Q.S. al-Ahzab [33]: 59)
Bagian Tubuh yang wajib ditutup karena Aurat serta kriteria penutupnya
Pada dasarnya hukum menutup aurat ini berlaku atas seluruh tubuh wanita. Namun, berdasar Surat al-Nur [24] ayat 31 di atas, ada bagian anggota tubuh yang dikecualikan oleh ayat sehingga tidak wajib menutupnya. Demikian ini menurut pemahaman para ahli tafsir, seperti a-Thabari, al-Suyuthy dan al-Qurthuby serta banyak ahli tafsir lainnya. Bagian tubuh tersebut adalah bagian wajah dan telapak tangan.
Ayat di atas juga menyinggung mengenai kriteria khumur. Khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang berarti kain kerudung. Sementara juyub merupakan bentuk plural dari jayb, yang bermakna kerah baju (bagian leher). Dengan kata lain, Allah SWT memerintahkan agar mengulurkan kerudung itu hingga menutupi kerah baju.
Surat al-Ahzab [33] ayat 59, menjelaskan mengenai kriteria jalabib. Jalabib merupakan bentuk shighat muntahal jumu’ dari jilbab yang bermakna ‘baju kurung.’ Dengan demikian, lafadh yudniina min jalabibihinna memiliki makna agar kaum perempuan mengulurkan baju kurung mereka sehingga menutup seluruh tubuh mereka.
Ketentuan Baju untuk menutup aurat bagi perempuan
Dengan mencermati illat dalil di atas, maka pakaian disebut menutup aurat itu bilamana memenuhi kategori sebagai berikut:
- Pertama, berkerudung sehingga menutup bagian kerah baju
- Kedua, pakaian terbuat dari bahan yang tidak menampakkan warna kulit (wa laa yubdina zinatahunna)
- Ketiga, baju tersebut berukuran longgar (mengambil illat dari longgarnya khumur (baju kurung).
- Keempat, aman dari fitnah (mengambil illat dari khumur).
Pandangan Ulama terkait dengan kriteria baju untuk kaum perempuan
Tujuan utama (muqtadha al-sya-ri’) dari perintah menjulurkan baju kurung (jalabib) bukan bersifat muqayyad (terbatas) dengan menggunakan baju kurung, melainkan bersifat muthlaq, yakni bisa dengan menggunakan baju/busana yang menempati derajat baju kurung (ma yaqumu maqaman jalabib).
Dengan demikian, perempuan yang memakai celana pun juga diperbolehkan oleh syariat asalkan seluruh badan bisa tertutupi dan tidak menampakkan warna kulit atau press body. Batas maksimal dari baju perempuan disebut menutup aurat adalah keamanan dirinya dari fitnah. Baju yang press body, lebih condong kepada ketidakamanan dari fitnah. Apalagi di era sekarang.
Untuk wajah saja yang dari sisi dzahir teks syariatnya dibolehkan untuk ditampakkan, akan tetapi karena pertimbangan adanya kemungkinan membuka peluang bagi timbulnya fitnah, hukum memakai niqab bisa berubah menjadi wajib. Sebaliknya, jika tidak sampai menimbulkan fitnah, maka hukum tidak memakai niqab adalah mubah. Hal ini bisa ketahui sekilas dari pandangan Sayyed Abu Bakar ibn Syatha’ sebagai berikut:
قال في فتح الجواد: ولا ينافيه، أي ما حكاه الإمام من اتفاق المسلمين على المنع، ما نقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال غض البصر لأن منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بل لأن فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة
Artinya:
“Pengarang Fath al-Jawad mengatakan, “Apa yang diceritakan oleh al-Imam bahwa sepakat kaum muslimin atas terlarangnya (terlarang wanita keluar dengan terbuka wajah) tidak berlawanan dengan yang dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh dari ulama bahwa tidak wajib atas wanita menutup wajahnya pada jalan, yang demikian itu hanya sunnah dan hanyasanya atas laki-laki wajib memicing pandangannya, karena terlarang wanita yang demikian itu bukan karena wajib menutup wajah atas mereka, tetapi karena di situ ada maslahah yang umum dengan menutup pintu fitnah.” (Sayyed al-Bakri al-Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258-259)
Pendapat senada juga bisa diketahui pada pernyataan Syeikh Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad Al-Hushny dalam Kifayatu al-Akhyar, berikut ini:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
Artinya:
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat, kecuali jika di masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab” (Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, Kifayatuul Akhyar, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 144)
Menggunakan niqab saat shalat hukum asalnya adalah makruh. Sifat makruh ini berubah menjadi wajib tatkala sifat tidak amannya perempuan dari fitnah timbul karena kehadiran laki-laki lain saat ia sedang shalat. Berangkat dari sini kita mengambil qiyas aulawi untuk kategori baju berupa celana. Jika untuk niqab saja bisa berubah hukumnya menjadi wajib disebabkan ketidakamanan dari fitnah, maka apalagi untuk kategori celana dan baju atasan lainnya yang harus menutup bagian aurat kubra, yaitu aurat yang wajib ditutup berdasarkan nash. Tentu lebih diperketat lagi soal hukumnya.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa batas ideal-nya baju untuk perempuan adalah keamanan itu, yaitu “longgarnya baju” yang dipergunakan, tanpa memandang model baju itu seperti apa. Adapun batas minimal-nya, adalah baju yang mampu menghadirkan rasa aman dari fitnah dan tidak “menampakkan” atau “menggambarkan” anggota badan yang wajib ditutup (‘adamu idzhariha). Bagaimana dengan celana jeans anda? Sudah masuk kriteria ini apa belum? Mari kita sama-sama introspeksi.