Pakaian Perempuan pada Masa Rasulullah

Pakaian Perempuan pada Masa Rasulullah

Pakaian Perempuan pada Masa Rasulullah

“Bentuk pakaian laki-laki maupun perempuan yang digunakan di wilayah tertentu, pada kurun waktu tertentu, bagian dari cermin untuk mengukur tingkat peradaban masyarakatnya.”

Hal itu disampaikan oleh sejarawan asal Mesir Khalil ‘Abdul Karim (w. 2002) dalam karyanya, Syadw ar-Rababah bi Ahwal Mujtama‘ ash-Shahabah. Menurutnya, di dalam masyarakat yang belum maju atau masyarakat primitif (bada`iy), model pakaian yang berkembang bentuknya lebar (basithah) dan polos (sadzijah). (1997: II, 395).

Pakaian yang digunakan perempuan-perempuan Makkah dan Madinah sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini semuanya berbentuk lebar dan tidak bersimpul, yakni tidak ada ikatannya dan besar.

Berikut nama-nama pakaian perempuan pada masa Rasulullah Saw berdasarkan informasi dari hadis yang dihimpun oleh Khalil Abdul Karim.

  • Al-Marth

Al-marth ialah pakaian yang tidak dijahit atau semacam selendang besar. Dalam hadis diceritakan bahwa ‘Aisyah istri Nabi Muhammad mengatakan: “Ketika Rasulullah Saw hendak (mengimami) shalat Subuh maka perempuan-perempuan berangkat (ke masjid) dengan berselimut al-marth, mereka tidak dikenal karena petang.” (HR. Malik bin Anas).

Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat Subuh dalam keadaan langit masih gelap, yakni pada awal waktu.

Dalam tulisan ini, informasi dari ‘Aisyah dikutip untuk menunjukkan bahwa perempuan pada masa Rasulullah menggunakan “marth” atau selendang besar yang tidak dijahit.

Diinformasikan, Umar bin Khathab pernah membagikan marth (jamak: muruth) kepada perempuan-perempuan Madinah. (Ibnu Zanjawaih, 1986: 538). Bahan marth pada masa ini ada yang terbuat dari sutera (khazz), bulu domba (shuf), dan pohon rami (kattan). (Ibrahim, 2002: 464).

  • Ad-Dir‘

Ad-dir‘ yaitu kain yang tengahnya dilubangi dan yang lainnya dijahit kecuali sisi kanan dan kirinya untuk lengan, bentuknya menyerupai qamish. (Ibrahim, 2002: 170). Dalam hadis diinformasikan bahwa Samra` binti Nahik menggunakan dir‘ ketika menemui Rasulullah. (HR. Thabrani 785).

  • Qamish

Qamish bentuknya sama seperti ad-dir‘. Menurut Rajab Ibrahim dalam bukunya, al-Mu‘jam al-‘Arabi li Asma` al-Malabis, pakaian jenis ini masuk ke wilayah Arab melalui dua periode sejarah.

Pertama; dimulai pada masa yang sangat jauh, yakni ketika masyarakat Arab pra Islam berjumpa dengan orang-orang Romawi di Syam. Kata qamish sendiri berasal dari bahasa Romawi “camisia”. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggunakan kata ini.

Kedua; melalui Perancis pada masa belakangan. Dalam bahasa Perancis disebut “chemise”. Istilah qamish yang digunakan masyarakat Arab modern berasal dari kata Perancis “chemise” yang diarabkan (mu‘arrab). (2002: 404).

  • Al-Khimar

Al-khimar yaitu kain yang digunakan perempuan untuk menutup kepala. Pada masa Rasulullah ragam khimar ada dua macam, yaitu khimar atau penutup kepala yang polos (sadzij) dan khimar berwarna atau yang dicelup dengan warna atau minyak (mashbugh). Dalam hadis diceritakan bahwa ‘Aisyah pernah menggunakan khimar yang dicelup Za‘faran atau zaffron. (HR. Ibnu Majah 1973).

  • Al-Izar dan ar-Rida`

Al-Izar yaitu pakaian tidak dijahit yang dipakai untuk menutup bagian bawah tubuh, pasangannya yaitu ar-rida` yang digunakan untuk menutup bagian atasnya. Secara gramatika, kata rida` berasal dari kata radd yang berarti “menarik” dan “menyambung”. Dalam memakai rida` seseorang menarik sisa kain yang menutupi bagian bawah dan menyambungnya ke bagian atas.

Sebagian pakaian yang berkembang pada masa ini ada yang bermotif garis-garis dan ditenun. Pakaian jenis ini diproduksi oleh penduduk Yaman yang pada masa pra Islam peradabannya lebih maju daripada Makkah dan Madinah.

Di atas segalanya, pakaian atau busana tidak lebih dari produk kebudayaan tertentu yang terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Di dalam masyarakat manapun, termasuk di dalamnya masyarakat Arab pada masa Rasulullah, bentuk pakaian kerap disesuaikan dengan kebutuhan cuaca dan aktivitasnya atau lingkungan.

Selain itu kelas sosial juga turut mempengaruhinya, yakni pakaian yang digunakan oleh para penguasa dari sisi kualitas dan terkadang bentuknya berbeda dengan orang biasa, pakaian orang merdeka berbeda dengan para budak dan seterusnya. Agama hadir bukan untuk mendukung atau memunculkan model pakaian tertentu, tapi untuk memberikan nilai kepantasan di dalamnya, yakni perintah menutup bagian-bagian yang oleh masyarakat secara umum dirasa dapat membangkitkan libido atau disebut “aurat”.