Ini cerita tentang tujuh penderes nira istimewa dari dusun kecil di Banyumas. Sekilas mereka sama dengan penderes lainnya. Pagi dan sore hari memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira dengan bertaruh risiko bertaruh nyawa. Namun istimewanya: mereka masih sempat istiqomah mengkaji kitab klasik Islam Nusantara demi menjaga tradisi dan ajaran Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Untuk bisa ‘ngaji’ kitab klasik ulama Nusantara kepada sang kyai, mereka harus merayapi malam. Tiga desa dilewati dengan risiko cuaca terang, hujan atau sepeda motor butut mereka mati. Tapi hal itu seperti tak menjadi masalah. Sudah bertahun-tahun lelaki dengan usia kepala empat dan lima itu melakoni itu.
Ya, selama dua tahun terakhir ini pengajian khusus ini telah berjalan. Para penderes bersongkok ‘njepluk’ dan bersarung ‘nglinting’ itu rampung mengaji selambatnya pukul sebelas malam. Mereka seringkali tak langsung pulang, karena usai ‘ngaji’ mereka akan bercakap dulu tentang kehidupan ekonomi dan agama termasuk masjid yang baru saja mereka dirikan swadaya.
“Dulu ada masjid di situ yang mereka ramaikan. Ternyata setelah hadir segolongan pendatang, masjid itu berubah. Katanya tak sesuai dengan ajaran dan paham yang mereka anut, akhirnya mereka harus mendirikan lagi. Entah karena kalah atau mengalah,” kata Sang Kyai.
Ya, sebagai kaum tradisionalis, para penderes ini memang selalu berprinsip selalu manut taklid apa kata kyai mereka. Dari dulu, kehidupan pedesaan dengan para kyai kampung panutan mereka selalu tenteram. Tidak ada yang keberatan ketika ada selamatan atau ritual agama lainnya.
Sebagian dari kampung penderes ini berekonomi pas-pasan (untuk tidak menyebut berkekurangan), mereka rela mengupayakan suguhan selamatan, sesederhana apapun. Bagi mereka selamatan adalah cara berbagi kepada yang hidup dan berbagi doa keselamatan yang telah mendahului.
Tradisi itu berjalan bertahun-tahun tanpa harus dipermasalahkan, pernah dilakukan kanjeng nabi atau tidak. Namun sejak tradisi itu dipertanyakan dasarnya, dusun kecil itu mulai berubah. Sejumlah orang yang sebelumnya turut serta dalam tradisi kyai desa dulu kini berubah dan meninggalkan.
“Makanya kami akhirnya membangun masjid lagi di pojok dusun kami. Meski sederhana kami harus menghidupi, meramaikannya. Makanya saya sowan ke sini lagi untuk menguatkan pemahaman lagi. Karena banyak pemuda yang telah berubah mengikuti mereka dan gemar bertanya soal agama kepada kami yang renta ini,” kata salah satu penderes itu kepada sang kyai.
Usai menjelaskan itu, pandangan sang kyai itu seperti menerawang jauh. Bisa diterka apa yang dipikirkan sang kyai. Betapa niat, tekad dan upaya yang dilaksanakan ‘wong cilik dan ndesa’ itu terlalu besar untuk dibayangkan sekarang. Apalagi di dunia digital sekarang, banyak anak muda belajar ngaji lewat internet.
Mereka mungkin tak kenal bahkan tak pernah memang ponsel pintar. Jemari mereka tentu lebih akrab dengan arit tajam yang dipergunakan untuk mengiris kerasnya ‘manggar’ atau bunga kelapa penghasil nira. Hidup mereka mungkin terbilang sederhana, bisa makan, membiayai sekolah dan beribadah dengan nyaman di musala yang beberapa tahun lalu mereka bangun secara swadaya.
Karena wilayah mereka tinggal banyak penderes yang berstatus sebagai penderes penyewa. Untuk menyewa pohon, mereka biasa memberikan uang atau gula kelapa. Kalau tidak keduanya, maka penderes akan memberikan nira kelapa yang disadapnya beberapa hari dikirim langsung kepada pemilik kebun, selebihnya untuk dimasak mereka.
“Apa kalian tak lelah, bukankah kalian setiap hari harus memanjat pohon kelapa ini,” kata sang kyai mengulangi pertanyaan kepada para penderes usai pengajian khusus membacakan kitab fikih, tauhid dan tasawuf itu.
Sang kyai sangat paham kehidupan para penderes di dusun miskin itu. Para penderes harus bekerja pagi dan sore, memanjat pohon kelapa yang tingginya dari 7 hingga 14 meter. Untuk mendapatkan nafkah mereka harus bertaruh agar tak jatuh menjadi cacat atau meninggal dunia. Padahal harga gula adalah hak tengkulak yang lebih sering mengabarkan harga turun dibandingkan harga naik.
“Dengan saling berboncengan sepeda motor butut, mereka datang sekitar pukul delapan malam. Mereka akan ‘mentas’ ngaji sekitar pukul sebelas malam. Ya, seperti itu setiap kali ngaji. Sungguh istimewa. Mungkin memang benar, istiqomah itu lebih utama ketimbang seribu karomah,” kata Sang Kyai menyudahi kisahnya.